Friday, January 04, 2008

Ingin Hamil dengan Pengobatan Alternatif

Masalah saya begini, saya sudah menikah hampir 4 tahun, dalam jangka waktu 2 tahun saya sudah hamil 2x, tapi dua-duanya keguguran dan pada 1 tahun terakhir saya berobat ke beberapa dokter, tapi belum berhasil hamil lagi. Saya sekarang sedang dalam pengobatan alternatif, dalam pengobatan tersebut saya menemui keanehan.Assalamu’alaikum wr. wb. Masalah saya begini, saya sudah menikah hampir 4 tahun, dalam jangka Di bawah ini saya berusaha untuk menceritakan secara singkat.
- Pada kedatangan pertama, saya hanya disuruh menyebutkan nama saya & suami, dan kami masing-masing dipegang urat nadinya. Setelah itu kami berdua disuruh minum jamu 1x setiap mau tidur.
- Pada kedatangan ketiga, saya sudah dibilang hamil padahal saya sedang menstruasi, dan sampai saat mengirimkan email ini, saya sudah masuk bln ke-7, dan saya masih menstruasi juga.
- Pantangan: tidak boleh di USG sebelum dia bilang boleh, dan beberapa hal yang masih umum (yang masih masuk akal), seperti tidak boleh makan nenas, dsb.
- Misalkan ada pasien yang nanya ini-itu yg berhubungan dengan keanehan2 mrk ke Pak Haji (sebutan utk yg ngobatin), kadang2 dia suka blg spt ini, kamu sbtulnya mau brobat sama saya atau tidak, kalo misalkan tdk mau ya sudah, kandungan kamu saya gugurkan saja (seolah2 dia bener2 bisa membuata kadungan itu ada dan tidak).
-Dalam 1 bulan terakhir ini saya dapat info dari beberapa orang yg sudah berhasil melahirkan sbb:
* mrk hamilnya tdk 9 bln melainkan 12-15 bln.
* pd hari kita mau melahirkan kita hrs minum air putih yg dikasih oleh pak Haji.
* ada bbrp org yg bandel, USG tanpa sepengetahuan dia, dan hasilnya: tdk ada bayi dlm kandungannya.
* dan info terakhir yg saya trima, 1 org sdh disuruh ke dokter, ternyata pas di USG tdk ada. Yg mau saya tanyakan, menurut Ustadz/Ustadzah, apakah jalan yg saya tempuh ini benar di jln Allah atau tidak? Apakah calon bayi yg saya kandung sekarang, Alloh yg memberikan atau??? Selama ini saya memang tdk yakin dg jln ini, tp guru ngaji saya dan Ibu saya mengatakan bhw yg bisa menciptakan manusia itu hanya Alloh SWT, kita hanya bisa berikhtiar saja dan jika saya memang mau ambil alternatif spt ini, halal-halal saja asal tdk disuruh melakukan hal2 atau disuruh bawa ini-itu (spt : ayam hitam, kemenyan, dsb).
Saya sangat mengharapkan jawaban dr Ustadz/Ustadzah sekalian, krn waktu nya sudah sangat mendesak. Dan jika ternyata jawaban nya saya harus meninggalkan jalan ini, mohon agar diberi petunjuk apa yg harus saya lakukan. Terimakasih banyak.
Wassalam.
Regards,
Mutmainah Hirsun

———
Jawab
——–
Tinjauan Medis: Wa alaikum salam wr wb, Ibu Mutmainah yang baik, Sayangnya anda tidak memberikan informasi umur anda juga penyebab anda mengalami abortus sebelumnya. Seseorang dapat dikatakan mengandung atau hamil salah satu tanda pastinya adalah berhentinya menstruasi. Hal ini terjadi karena ketika terjadi pembuahan/fertilisasi (bertemunya sel sperma dan sel telur) dan membentuk zygot yang akan tertanam pada dinding rahim (endometrium) yang disebut proses nidasi. Jika ibu tetap menstruasi maka secara medis ibu dapat dinyatakan “pasti” tidak hamil,karena menstruasi adalah peristiwa peluruhuan dinding endometrium akibat sel ovum yang tidak dibuahi.Sedangkan pernyataan ibu mengenai umur kehamilan dari ibu-ibu yang berobat ke dukun itu, secara medis hal itu mungkin saja, kami menyebutnya dengan posmatur, dimana kehamilan yg melewati masa 40 minggu usia kehamilan. Abortus yang anda alami 2 kali berturut-turut baiknya dikonsulkan kembali ke dokter kandungan anda untuk dicari penyebabnya. Anda belum dapat dikatakan mengalami abortus habitualis karena keguguran yg anda alami tdk lebih dari 3 kali dan jika anda mencoba konsul ke dokter kandungan anda dan dicari penyebabnya maka Insya Allah keadaan anda dapat ditangani secara medis. Demikian, semoga membantu. Wassalam. Lilya Wildhanie

******
Tinjauan Agama: Dalam Islam ada beberapa cara untuk mengobati orang sakit, diantaranya melalui medis dan yang lain yaitu dengan do’a-do’a (ruqya) yang biasanya di Indonesia dilakukan oleh orang-orang “pintar”. Ruqya adalah ucapan-ucapan yang kalau diucapkan bisa menolak bahaya, atau menyembuhkan penyakit. Tradisi ruqya dilakukan juga olah orang Arab sebelum datangnya Islam, kemudian tradisi tersebut diluruskan dengan keyakinan bahwa ungkapan-ungkapan tersebut tidak akan bisa bermanfaat kecuali atas kehendak Allah.
Pengobatan semacam ini diperbolehkan dalam Islam berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dikisahkan oleh Sayyidah Aisyah ra. bahwasannya Nabi ketika sakit, beliau meniup anggota tubuh yang sakit tersebut kemudian membaca surat Al-Falaq dan surat An-Naas. Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Daud dari Auf bin Malik berkata :”Kami melakukan pengobatan dengan do’a-do’a pada kaum jahiliyah, kemudian kami berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? beliau berkata: “Perlihatkan do’a-do’amu padaku, tidak apa-apa melakukan pengobatan dengan do’a-do’a yang tidak mengandung ungkapan syirik”
Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa kita boleh berobat pada tabib (dukun) yang diyakini bahwa dukun tersebut dekat dengan Allah dan tidak menggunakan media pengobatan yang menjurus pada syirik seperti meminta pertolongan pada selain Allah. Apabila dukun tersebut menggunakan media pengobatan yang menjurus pada syirik kepada Allah (ilmu hitam) maka hal ini tidak diperbolehkan. Ada beberapa syarat diperbolehkannnya pengobatan dengan do’a-do’a ini. Yang pertama adalah si tabib harus memulai pengobatan dengan kalam, nama-nama atau sifat-sifat-Nya. Kedua pengobatan tidak menjurus pada syirik kepada Allah dan yang terakhir, tabib dan pasien harus yakin bahwa Allah lah Sang Maha Penyembuh segala penyakit.
Sebagai Tambahan: Yang bisa memberikan keturunan hanyalah Allah dan manusia hanya berusaha dan ihtiar. Ihtiar terbaik tentunya melalui jalur medis yang telah dijamin legalitasnya. Ada baiknya juga melalui jalur alternatif dengan melihat ketentuan di atas. Semoga Allah memudahkan jalan Ibu.
Wassalam

Saat-Saat Terkabulnya Doa

Berdoa dianjurkan kapan saja. Tetapi ada saat-saat istimewa. Kapan?

1. Waktu sepertiga malam terakhir saat orang lain terlelap dalam tidurnya. Allah SWT berfirman:
“…Mereka (para muttaqin) sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).”(QS. Adz-Dzariyat: 18-19).

Rasulullah SAW bersabda:
“Rabb (Tuhan) kita turun di setiap malam ke langit yang terendah, yaitu saat sepertiga malam terakhir, maka Dia berfirman : Siapa yang berdoa kepadaKu maka Aku kabulkan, siapa yang meminta kepadaKu maka Aku berikan kepadanya, dan siapa yang meminta ampun kepadaKu maka Aku ampunkan untuknya”. (HR. Al-Bukhari no. 1145, 6321 dan Muslim no. 758).

Dan Amr bin Ibnu Abasah mendengar Nabi SAW bersabda:
“Tempat yang paling mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat ia dalam sujudnya dan jika ia bangun melaksanakan shalat pada sepertiga malam yang akhir. Karena itu, jika kamu mampu menjadi orang yang berdzikir kepada Allah pada saat itu maka jadilah.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad dan di-shahih-kan oleh At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan Al-Albani).

2. Waktu antara adzan dan iqamah, saat menunggu shalat berjama’ah. Sayangnya waktu mustajab ini sering disalahgunakan sebagian umat Islam yang kurang mengerti sunnah atau oleh orang yang kurang menghargai sunnah, sehingga diisi dengan hal-hal yang tidak baik dan tidak dianjurkan Islam, membicarakan urusan dunia, atau hal-hal lain yang tidak bernilai ibadah.

Hal-hal semacam ini sangat merugikan pelakunya karena tidak mengikuti sunnah Nabi SAW dengan sempurna.

Ketentuan waktu ini berdasarkan hadits Anas bin Malik RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Doa itu tidak ditolak antara adzan dan iqamah, maka berdoalah!” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan menurut Al-Arnauth dalam Jami’ul Ushul).

Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Amr Ibnul Ash RA, bahwa ada seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya para muadzin itu telah mengungguli kita”, maka Rasulullah SAW bersabda: “Ucap-kanlah seperti apa yang diucapkan oleh para muadzin itu dan jika kamu selesai (menjawab), maka memohonlah, kamu pasti diberi.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban, di-hasan-kan oleh Al-Arnauth dan Al-Albani).

3. Pada waktu sujud. Yaitu sujud dalam shalat atau sujud-sujud lain yang diajarkan Islam. Seperti sujud syukur, sujud tilawah dan sujud sahwi. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Keberadaan hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim).

Dan hadits Ibnu Abbas RA, ia berkata : “Rasulullah SAW membuka tabir (ketika beliau sakit), sementara orang-orang sedang berbaris (shalat) di belakang Abu Bakar RA, maka Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak tersisa dari mubasysyirat nubuwwah (kabar gembira lewat kenabian) kecuali mimpi bagus yang dilihat oleh seorang muslim atau diperlihatkan untuknya. Ingatlah bahwasanya aku dilarang untuk membaca Al-Qur’an ketika ruku’ atau ketika sujud. Adapun di dalam ruku’, maka agungkanlah Allah dan adapun di dalam sujud, maka giat-giatlah berdoa, sebab (hal itu) pantas dikabulkan bagi kalian.” (HR. Muslim).

4. Setelah shalat fardlu. Yaitu setelah melaksanakan shalat-shalat wajib yang lima waktu, termasuk sehabis shalat Jum’at. Allah berfirman:
“Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan selesai shalat.” (QS. Qaaf: 40).

Juga berdasarkan hadits Umamah Al-Bahili, ia berkata : “Rasulullah SAW ditanya tentang doa apa yang paling didengar (oleh Allah), maka beliau bersabda: “Tengah malam terakhir dan setelah shalat-shalat yang diwajibkan.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata: hadist ini hasan).

Karena itu Imam Syafi’i dan para pengikutnya berkata, dianjurkan bagi imam dan makmumnya serta orang-orang yang shalat sendirian memper-banyak dzkir, wirid dan doa setelah selesai shalat fardhu. Dan dianjurkan membaca dengan pelan, kecuali jika makmum belum mengerti maka imam boleh mengeraskan agar makmum menirukan. Setelah mereka mengerti, maka semua kembali pada hukum semula yaitu sirri (samar-samar). (Syarh Muhadzdzab, III/487).

5. Pada waktu-waktu khusus, tetapi tidak diketahui dengan pasti batasan-batasannya. yaitu sesaat di setiap malam dan sesaat setiap hari Jum’at. Hal ini berdasarkan hadist Jabir RA, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya di malam hari ada satu saat (yang mustajab), tidak ada seorang muslim pun yang bertepatan pada waktu itu meminta kepada Allah kebaikan urusan dunia dan akhirat melainkan Allah pasti memberi kepadanya.” (HR. Muslim).

Hadits Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW pernah menyebut hari Jum’at, beliau bersabda:
“Di dalamnya ada satu saat (yang mustajab) tidaklah seorang hamba muslim yang kebetulan waktu itu sedang mendirikan shalat (atau menunggu shalat) dan memohon kepada Allah sesuatu (hajat) melain-kan Allah pasti mengabulkan permo-honannya.” dan Nabi mengisyaratkan dengan tangannya akan sedikitnya saat mustajab itu. (HR. Al-Bukhari).

Di dalam hadist Muslim dan Abu Dawud dijelaskan: “Yaitu waktu antara duduknya imam (khatib) sampai selesainya shalat (Jum’at)”. Inilah riwayat yang paling shahih dalam hal ini. Sedangkan dalam hadist Abu Dawud yang lain Nabi memerintahkan agar kita mencarinya di akhir waktu Ashar.

An-Nawawi rahimmahullah menjelaskan bahwa para ulama berselisih dalam menentukan saat ijabah ini menjadi sebelas pendapat. Yang benar-benar saat ijabah adalah di antara mulai naiknya khatib ke atas mimbar sampai selesainya imam dari shalat Jum’at. Hal ini berdasarkan hadist yang sangat jelas dalam riwayat Muslim di atas.

Imam An-Nawawi rahimmahullah melanjutkan: “Adapun hadist yang berbunyi: ‘Carilah saat itu pada akhir sesudah Ashar’ (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan sanad shahih), maka hal ini memberi kemungkinan bahwa saat ijabah itu bisa berpindah-pindah, kadang-kadang di saat ini, kadang-kadang di saat itu seperti halnya lailatul qadar.”

Imam Ahmad rahimmahullah berkata: “Kebanyakan ahli hadits menyatakan saat itu adalah setelah Ashar dan diharapkan setelah tergelincirnya matahari.” Lain dengan Ibnu Qayyim. Beliau menjadikannya sebagai dua waktu ijabah yang berlainan. Dalam Kitab Al-Jawabul Kafi beliau berkata:

“(Pertama), jika doa itu disertai dengan hadirnya kalbu dan totalitasnya dalam berkonsentrasi terhadap apa yang diminta, dan bertepatan dengan salah satu dari waktu-waktu ijabah yang enam itu, yaitu :

  1. Sepertiga akhir dari waktu malam.
  2. Ketika adzan.
  3. Waktu antara adzan dan iqamah.
  4. Setelah shalat-shalat fardlu.
  5. Ketika imam naik ke atas mimbar pada hari Jum’at sampai selesainya shalat Jum’at pada hari itu.
  6. Waktu terakhir setelah Ashar”.

(Kedua), jika doa tadi bertepatan dengan kekhusyu’an hati, merendahkan diri di hadapan Sang Penguasa. Menghadap kiblat, berada dalam kondisi suci dari hadats, mengangkat kedua tangan, memulai dengan tahmid (puji-pujian), kemudian membaca shalawat atas Muhammad. Lalu bertobat dan beristighfar sebelum menyebutkan hajat. Kemudian menghadap kepada Allah, bersungguh-bersungguh dalam memohon dengan penuh kefaqiran, dibarengi dengan rasa harap dan cemas. Dan bertawassul dengan asma dan sifatNya serta mentauhidkanNya. Lalu ia dahului doanya itu dengan sedekah terlebih dahulu, maka doa seperti itu hampir tidak tertolak selamanya. Apalagi jika memakai doa-doa yang dikabarkan Nabi SAW sebagai doa yang mustajab atau yang mengandung Al-Ismul-A’zham (Nama Allah Yang Mahabesar).” Ya Allah, kabulkanlah doa-doa kami.

Sumber rujukan :
Syekh Muhammad Thariq Muhammad Shalih, A’malul Muslim filYaumi wal Lailah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fathul Bari 11/132.
An-Nawawi, Majmu’ IV/487 dan 548 -550.
Ibnu Qayyim, Al-Jawabul Kafi Hal 12.
Dan lain-lain.BawahUmum(”", “Saat-Saat Terkabulnya Doa”, “Abu Hamzah

IMAM AL-MAHDI, JANJI KEADILAN SEDUNIA

Hari Lahir

Imam Al-Mahdi as lahir pada 15 Sya’ban 255 H. Kelahiran beliau sungguh menghidupkan harapan di dalam jiwa-jiwa kaum tertindas di dunia.

Ayah Imam as adalah Imam Hasan Al-Askari as dan ibunya bernama Nargis, seorang wanita suci keturunan salah satu Hawariyyun (sahabat setia) Nabi Isa as, yaitu Sam’un Ash-Shafa.

Imam Mahdi as adalah Imam terakhir Ahlulbait as. Secara khusus, sang datuk, Rasulullah saw telah memberitakan kehadirannya dalam sejumlah hadis-hadis yang mutawatir, bahwa “Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah disesaki oleh kezaliman.”

Beliau dikenal dengan panggilan Abul Qasim, dan gelar mulia “Al-Mahdi”. Dengan demikian, beliau membawa nama sekaligus panggilan junjungan kita Muhammad saw, sebagaimana beliau pun membawa risalah agamanya, Islam.

Para penguasa zalim menjadi begitu awas dan senantiasa mengintai kelahiran Imam Mahdi as, sehingga mereka berupaya menggagalkannya. Persis dengan apa yang telah dilakukan Fir’aun; mengawasi setiap ibu yang hamil dan bayi yang lahir. Namun, mereka tidak sadar bahwa Fir’aun, meskipun mengerahkan segenap kekuatan raksasa yang dimilikinya sampai membunuh secara massal bayi-bayi yang baru lahir, usahanya itu mengalami kegagalan total.

Al-Mu’tamid, Khalifah Abbasiyah—sosok Fir’aun pada masanya—pun ingin melakukan hal yang sama. Ia pun mencoba mengikuti langkah Fir’aun berusaha mencegah kemunculan Sang Pembela Kebenaran yang akan merongrong kekuasaannya. Ia seketat mungkin mengawasi rumah Imam Hasan Al-Askari as.

Ketika Imam Hasan as diracun, beliau dibawa dalam keadaan lemah dari penjara ke rumahnya. Al-Mu’tamid menugaskan lima orang pengawal pergi menyertai Imam untuk mewaspadai dan berjaga-jaga di sekeliling rumah Imam jika ada peristiwa yang terjadi di rumah itu. Tidak hanya mengutus mata-mata, ia juga mengirim beberapa bidan ke rumah Imam untuk menjaga dan membantu proses kelahiran istri Imam as.

Kota Samarra berubah menjadi kota duka atas kematian Imam Hasan Al-Askari. Orang-orang menutup tempat kerja mereka untuk melayat ke rumah Imam. Penduduk kota itu mengusung jenazah suci Imam dengan tangan mereka sendiri dalam upacara penguburan yang kudus, agung, dan akbar.

Khalifah Abbasiyah sangat gusar dan kesal atas kerumunan massa yang datang melayat Imam. Ia berusaha keras untuk menutupi kejahatannya dan mengumumkan bahwa kematian Imam merupakan sebuah kejadian yang wajar dan alamiah.

Al-Mu’tamid mengutus saudaranya untuk menghadiri upacara pemakaman dan bersaksi bahwa tidak ada yang membunuh Imam. Di sisi lain, ia membagi-bagikan harta peninggalan Imam untuk menunjukkan bahwa Imam tidak meninggalkan anak yang dapat menunaikan shalat jenazah dan menjadi pewaris sah atas harta peninggalan beliau.

Namun, betapapun usaha untuk menutupi cahaya kebenaran, kehendak Allahlah yang tetap berlaku. Ketika Imam Al-Askari as dibunuh, putra beliau berusia lima tahun. Ia mencapai kedudukan imamah pada usia lima tahun, seperti Nabi Isa yang diangkat sebagai nabi ketika ia masih dalam buaian.

Ketika mereka meletakkan jenazah suci Imam Al-‘Askari as, saudara beliau—yang bukan orang baik-baik—hendak memimpin shalat jenazah. Namun, putra beliau, Imam Al-Mahdi ajf—yang masih belia—mendorongnya ke samping dan beliau sendiri maju ke depan memimpin shalat jenazah tersebut. Setelah selesai shalat jenazah, beliau menghilang dari pandangan mata.

Orang-orang Syiah telah melihat Imam Al-Mahdi di kediaman sang ayah, Imam Hasan Al-‘Askari yang saat itu masih hidup. Di kediaman itu pula mereka mendengarkan nasihat beliau tentang anaknya kepada mereka. Setelah syahadah Imam Hasan as, mereka tetap berhubungan dengan Imam Al-Mahdi hingga beberapa waktu lamanya.

Keadaan ketika Imam Al-Mahdi Lahir

Hakimah, bibi Imam berkata, “Aku pergi ke rumah anak saudaraku, pada hari Kamis bulan Sya’ban. Ketika aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, Imam berkata, ‘Wahai bibi, tinggallah malam ini bersama kami karena putra kami akan segera lahir.’

“Aku sangat bergembira dan berbahagia mendengarkan kabar itu dan pergi menjumpai Nargis (Ibunda Imam Al-Mahdi). Namun, aku tidak menemukan tanda-tanda kehamilan pada diri beliau. Aku terkejut dan bergumam, ‘Tidak melihat tanda-tanda kelahiran bayi padanya.’

“Pada saat-saat itu, Imam datang padaku dan berkata, ‘Duhai bibi, jangan bersedih. Nargis seperti ibunda Nabi Musa as, dan si bayi seperti Musa yang lahir secara tersembunyi dan tanpa tanda-tanda apa pun yang menyertai kelahirannya. Temuilah Nargis, dia akan segera melahirkan pada Shubuh hari.’

“Aku berbahagia menemani Nargis, sambil mengamati apa yang dikatakan oleh Imam bahwa tanda-tanda kelahiran Nargis muncul sebelum matahari terbit di ufuk timur. Seberkas cahaya membentang antara diriku dan dia sehingga aku tidak dapat melihat Nargis lagi. Aku ketakutan dan keluar dari bilik itu untuk menjumpai Imam dan melaporkan apa yang telah terjadi. Beliau tersenyum dan berkata, ‘Kembalilah, beberapa saat lagi engkau akan melihatnya.’

“Aku kembali ke kamar dan melihat seorang bayi baru lahir dan tengah melakukan sujud lalu ia mengangkat tangannya ke angkasa sembarai berzikir dan memuji Allah dengan segala kepemurahan-Nya, kebesaran-Nya, dan keesaan-Nya.”

Kisah Ibunda Nargis

Salah seorang budak Imam Hadi as, Busyr Al-Anshari menukil sebuah kisah sehubungan dengan kejadian itu:

Suatu hari, Imam Hadi as memanggilku dan berkata padaku, “Aku ingin memberikan sebuah pekerjaan untukmu. Pekerjaan ini akan menjadi sesuatu yang sangat berharga untukmu.” Beliau memberikan sebuah surat disertai dengan seikat kantong yang berisi 200 Dinar emas. Beliau berkata, “Ambillah kantong ini dan pergilah ke Baghdad. Nantikan kapal yang akan berlabuh besok harinya di sungai Furat (Eufrat). Di dalamnya terdapat banyak budak-budak yang dibawa untuk diperjualbelikan. Kebanyakan pembeli dan penjual itu berasal dari Bani Abbas dan beberapa pemuda dari suku bangsa yang lain.

“Di atas kapal itu, ada seorang wanita yang, ketika ia diminta untuk menampakkan dirinya, enggan memenuhi permintaan itu. Salah seorang pemuda maju ke depan dan berkata kepada tuannya, ‘Aku siap membeli wanita itu dengan harga 200 Dinar emas.’ Tetapi si wanita itu tidak setuju dengan tawaran pemuda itu. Lalu tuannya berkata, ‘Kamu tidak ada pilihan lain kecuali harus dijual. Kamu harus terima tawaran pemuda itu.’ Tapi ia menukas, ‘Tunggu sebentar! Pembeliku akan segera datang.’ Lalu kau maju ke depan berikan surat itu kepadanya, dan katakanlah ‘Jika wanita ini berhasrat kepada orang yang mengirim surat ini, aku akan membelinya.’ Setelah membaca surat yang disodorkan padanya, wanita itu merasa senang. Lalu bayarlah harganya dengan uang ini, dan serahkanlah kepada tuannya. Setelah itu, bawalah wanita itu kemari.”

Aku kerjakan apa yang diperintahkan Imam kepadaku. Aku beli wanita itu dari tuannya. Dalam perjalanan, ia menceritakan kepadaku sebuah cerita yang mengejutkan. Katanya, ‘Aku adalah putri Raja Romawi. Datukku adalah sahabat dekat Nabi Isa. Ayahku menginginkan agar aku menikah dengan keponakannya. Suatu hari, ia mengadakan sebuah pertemuan akbar di istana dan meminta kemenakannya duduk bersanding denganku di singgasana. Seluruh bangsawan Nasrani dan para pengawal kerajaan berkumpul untuk menikahkan aku dengannya. Tiba-tiba istana berguncang, yang membuat segala sesuatunya berserakan hingga saudara sepupuku itu terjatuh dari singgasana. Meski begitu, mereka tetap bersikeras untuk menikahkanku dengannya. Mereka kembali mengadakan pertemuan itu. Namun, kejadian yang sama juga kembali terjadi. Para bangsawan Nasrani menganggapnya sebagai sebuah tanda buruk. Mereka segera meninggalkan istana. Pada malam yang sama, aku tertidur dalam keadaan sedih dan pilu. Aku bermimpi melihat dua orang pria dengan cahaya yang memancar dari tubuhnya datang ke istana. Beberapa orang berkata bahwa pria itu adalah Nabi Isa, dan yang lainnya berkata bahwa pria itu adalah Rasulullah saw. Rasulullah saw berhadapan dengan Nabi Isa as, beliau berkata, ‘Aku meminang cucumu untuk cucuku.’ Nabi Isa as sangat gembira dengan pinangan itu. Beliau menerima pinangan Rasulullah saw. Aku bangkit dari tempat tidurku dan tidak mengungkapkan perihal mimpi itu kepada siapa pun. Hingga suatu hari, aku jatuh sakit dan ayahku memanggil seluruh tabib untuk memeriksa kondisiku. Namun, tidak satu pun dari mereka yang dapat menyembuhkan sakitku. Aku memohon kepada ayahku untuk membebaskan orang-orang muslim yang ada dalam penjara ketika itu. Ia mengabulkan permohonanku. Ia membebaskan tawanan-tawanan muslim. Segera setelah itu aku pun sembuh dari sakitku. Pada malam yang sama, aku sekali lagi bermimpi melihat dua orang wanita yang penuh dengan cahaya. Mereka berkata bahwa wanita itu adalah ibunda Nabi Allah Isa as dan Fatimah, putri Rasulullah saw. Fatimah maju ke depan dan berkata kepadaku, ‘Jika engkau ingin menjadi istri putraku, engkau harus menjadi muslim.’ Dalam mimpi malam itu, aku menerima Islam melalui tangannya. Lalu, ia membawaku menjumpai anaknya, Imam Hasan Al-Askari. Cintanya menawan hatiku dengan kuat, dan seluruh badanku lemas siang dan malam. Sampai pada suatu malam, aku melihat Imam Hasan Al-Askari dalam mimpi. Aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana aku dapat menjadi istrimu?’ Beliau berkata, ‘Ayahmu dalam waktu dekat ini akan mengirim serdadunya untuk berperang melawan serdadu muslim, dan engkau akan berada di barisan belakang serdadu itu. Serdadu muslim akan memenangkan perang itu dan engkau akan ditahan sebagai tawanan perang. Lalu engkau akan dibawa ke Baghdad untuk dijual. Engkau akan dibawa ke Baghdad dengan kapal yang melintasi sungai Furat. Kapal itu akan berlabuh di sungai itu dan mereka akan membawamu keluar dari kapal itu untuk dijual. Para pembeli akan datang untuk membelimu. Namun, tunggulah sampai seseorang (utusan) datang untuk membelimu. Ia akan datang dengan membawa surat dari ayahku. Dialah yang akan menjadi pembelimu dan membawamu pergi.’ Aku terjaga dari mimpi dan merasa gembira. Setelah beberapa waktu berlalu, apa yang diceritakan oleh Imam Hasan Al-‘Askari dalam mimpi itu terjadi. Wahai Busyr! Hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang tahu akan kisah ini dan mengenali aku. Berhati-hatilah, jangan engkau ceritakan kisah ini kepada siapapun. Simpanlah kisah ini untukmu saja.”

Ketika Nargis menukilkan kisah itu kepadaku, terasa gemetar sekujur tubuhku. Sejak saat itu, aku menghormatinya dan menemaninya seakan-akan aku ini adalah budaknya. Aku membawa beliau ke hadirat tuanku, Imam Hadi as.

Imam Hadi as bertanya kepada wanita itu, bagaimana kisahmu sampai memeluk Islam? Dia menjawab, “Anda bertanya sesuatu yang Anda lebih tahu ketimbang aku.”

Beliau lalu berkata, “Berita gembira untukmu tentang seorang anak yang akan memenuhi alam semesta ini dengan keadilan dan hukum, seorang anak yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat manusia.”

Kemudian, beliau memalingkan wajahnya kepada saudarinya, Hakimah, “Wahai saudariku! Inilah wanita yang kau nanti-nantikan selama ini. Bawalah ia bersamamu dan ajarkan Islam kepadanya.”

Hakimah memeluknya erat dan ia membawanya pergi dengan penuh hormat.

Periode Kehidupan Imam Al-Mahdi

Periode kehidupan Imam Muhammad Al-Mahdi ajf dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1. Pra-imamah

Yaitu, sejak lahir hingga syahadah ayahanda beliau, Imam Hasan Al-Askari as. Periode ini berlangsung selama lima tahun.

Selama periode ini, Imam Hasan as senantiasa menjaga putranya ini sedemikian rupa hingga tidak ada yang dapat melihatnya kecuali sebagian sahabat-sahabat dan orang-orang yang dekat dengan beliau.

Penjagaan ketat ini beliau lakukan lantaran kuatir terhadap penyusupan orang-orang Abbasiyah dan mata-mata mereka yang begitu ketat mengawasi kediaman beliau.

2. Kegaiban Kecil (Ghaibah Shughra)

Periode ini dimulai pada waktu beliau berusia enam tahun dan terus berlanjut hingga beliau berusia tujuh puluh enam tahun. Selama periode ini, aparat pemerintahan dan agen-agennya tidak dapat bertemu dengan beliau. Akan tetapi, sahabat-sahabat beliau tetap memiliki kesempatan untuk bertemu dengan beliau dan meminta jalan keluar atas masalah-masalah yang mereka hadapi.

Selama masa Kegaiban Kecil ini, ada empat orang yang menjadi sahabat khusus Imam Al-Mahdi ajf, sekaligus menjadi perantara antara Imam dan pengikutnya. Mereka membawa dan mengirim surat atau pun uang dari umat dan menyampaikannya kepada Imam as, dan juga sebaliknya menyampaikan jawaban Imam kepada mereka.

Empat sahabat Imam Mahdi as itu adalah:

1. Utsman bin Sa’id

2. Muhammad bin Utsman

3. Husain bin Ruh

4. Ali bin Muhammad Samuri

Periode ini berakhir dengan wafatnya sahabat keempat Imam pada tahun 329 H. Sebelum wafatnya, beliau telah menyatakan berakhirnya keperantaraan dan kedutaan. Dengan begitu, Imam Al-Mahdi ajf segera memasuki periode baru dalam hidupnya, yaitu Kegaiban Besar.

3. Kegaiban Besar (Ghaibah Kubra)

Sepanjang periode ini—yang entah sampai kapan, hanya Allah SWT Yang Mahatahu—Imam Muhammad Al-Mahdi ajf menghadiri perhelatan dan acara perkumpulan yang diadakan oleh pengikut beliau. Beliau hadir tanpa diketahui oleh seorang pun.

Tidak ada satu orang pun yang mengenali beliau. Mereka menganggapnya sebagai orang asing. Setelah Imam meninggalkan tempat itu, dengan melihat tanda-tanda yang ada, barulah mereka sadar bahwa Imam telah datang ke tempat mereka.

Masa Penantian

Imam Al-Mahdi ajf tidak menunjukkan dirinya kepada fuqaha (ulama dan pakar hukum Islam) yang handal dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan yang mereka hadapi dan masyarakat Islam selama kegaiban beliau. Namun demikian, mereka menyediakan lahan dalam rangka menyongsong revolusi yang akan dicetuskan oleh Imam ma’shum ini.

Orang-orang di masa kini, menantikan kedatangannya. Penantian ini tidak berarti hanya duduk tanpa ada usaha yang berarti sama sekali, pasif, acuh tak acuh, tidak berusaha, dan tidak berupaya membuka jalan bagi kemunculan Imam ajf. Sebaliknya, orang yang menanti adalah orang yang penuh pengharapan, berusaha, bekerja, bergerak, sadar dan giat, memiliki keyakinan yang teguh pada Imam Al-Mahdi, sehingga ia melempangkan jalan bagi kemunculan dan kedatangan beliau.

Seorang penanti sejati persis ibarat pendaki gunung, yang menantikan waktu untuk menaklukkan puncak gunung dan berjuang untuk mencapai puncak yang ditujunya. Ia senantiasa siap-sedia untuk melakukan apa saja yang diperlukan demi menginjakkan kaki di atas puncak. Tak pelak lagi, ia harus memiliki perencanaan yang matang untuk mencapai puncak kesuksesan dan sadar, bahwa duduk diam berpangku tangan tidak akan membawanya kepada tujuan.

Dengan demikian, penantian berarti pergerakan, usaha, upaya, pikiran yang teguh, berkarya, dan berkreasi untuk kemaslahatan umat manusia. Jika prinsip dasar ini tidak tertanam secara baik dalam masyarakat, umat manusia akan beku, putus asa dan kecewa, serta tidak lagi berpandangan optimistis dalam menatap masa depan yang gemilang.

Prinsip Penantian (Intizharul Faraj) dalam Islam adalah sebuah prinsip yang tidak dapat dipisahkan dari agama yang memberikan kabar gembira tentang masa depan yang gemilang dan pelaksanaan segenap keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, ia membina dirinya untuk mewujudkan cita-cita luhur ini sebegitu rupa sehingga ia mampu memerangi dan menghilangkan kegelapan, menyingkirkan para sufi gadungan dan kaum yang bersikap permusuhan terhadap Imam Mahdi ajf.

Dengan kekuatan pergerakannya yang tak terbendung itu, seorang muslim akan menciptakan sebuah lingkungan yang siap membentuk pemerintahan tunggal alam semesta. Sehingga, ketika tiba masa kemunculan insan yang telah diciptakan Allah SWT dengan pesona kepribadian yang luhur ini, seluruh maksud dan tujuan Islam akan menjadi kenyataan, Insya Allah. Dialah Imam Mahdi ajf.

Mukjizat Imam Mahdi

Dari sekian mukjizat Imam Mahdi ajf, di sini kita akan menyimak dua mukizat saja.

a. Lolos dari Kejaran Penguasa

Syeikh Thusi menukil riwayat dari seseorang yang bernama Rashiq, yang merupakan antek dari Khalifah Abbasiyah, Mu’tadhid. Ia bercerita, “Suatu hari Mu’tadhid memanggilku dan berkata, ‘Aku telah mendengar kabar bahwa di kediaman Hasan Al-’Askari ada seorang anak.’ Ia menemaniku beserta dua orang anteknya yang lain. Ia berkata, ‘Bergegaslah pergi ke Samarra dan geledah rumah Hasan Al-Askari. Jika engkau temukan seorang anak muda di sana, bunuh dan bawa kepalanya kemari.’”

“Kami pun bergegas menuju ke Samarra. Kami tiba di depan pintu Imam Hasan Al-Askari tanpa menjumpai sedikit pun rintangan di jalan. Kami melihat seorang budak sedang duduk di depan pintu. Kami masuk ke rumah tanpa lagi peduli pada si budak itu. Di sebuah sudut rumah yang indah itu, terdapat sebuah kamar yang menarik perhatian kami. Kami singkap tirai yang menghalangi. Kami temukan sebuah kamar besar yang penuh dengan air dan di kamar itu ada sebuah karpet yang menghampar dan seorang anak muda sedang sibuk mengerjakan salat.

“Salah seorang dari utusan Khalifah itu mencoba memasuki kamar itu. Namun, dengan seketika ia tenggelam. Kami berusaha dengan susah payah untuk menyelamatkannya. Si utusan itu pingsan akibat ulahnya itu.

“Utusan yang lainnya juga mencoba memasuki kamar itu, dan seperti utusan yang pertama, ia pun tenggelam dalam air itu. Kami menyeretnya keluar. Ia juga jatuh pingsang. Beberapa saat berlalu, kedua utusan itu siuman. Dalam keadaan gemetar karena takut, kami menunggangi kuda dan beranjak meninggalkan rumah itu menuju istana Khalifah.

“Kami menemui Khalifah Mu’tadhid pada tengah malam. Ia dengan sengaja berjaga-jaga dan sedang menantikan kedatangan kami. Kami ceritakan kisah yang baru saja kami alami. Ia pun ikut ketakutan sebagaimana kami. Ia berkata, ‘Tidak seorang pun yang boleh tahu kejadian ini. Simpan baik-baik rahasia ini dan jangan katakan kepada siapa pun. Jika saja aku tahu bahwa kalian membocorkan rahasia ini kepada orang lain, aku tidak akan segan-segan untuk membunuh kalian.’

Hingga akhir hayatnya, Mu’tadhid tidak sedikit pun memiliki keberanian untuk bercerita perihal kejadian itu.

2. Jumlah Uang dalam Kantong

Ali bin Sinan bercerita, “Sekelompok orang dari Qom berangkat menuju Samarra dengan membawa sejumlah uang untuk menjumpai Imam Hasan Al-Askari. Setibanya di sana, mereka baru tahu bahwa Imam Hasan Al-Askari telah wafat. Mereka tetap tidak percaya dan mulai berpikir tentang apa yang seharusnya dilakukan.

“Hingga beberapa waktu, mereka diperkenalkan dengan seseorang yang bernama Ja’far, saudara Imam Hasan Al-Askari as. Ketika mereka menjelaskan maksud kedatangannya, Ja’far berkata, ‘Serahkan uang yang kalian bawa itu kepadaku, karena akulah pengganti Imam Hasan’. Mereka berkata, ‘Kami harus menanyakan kepada Imam jumlah uang yang kami bawa dan pemilik dari setiap kantong uang itu.’

“Cara demikian itu pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, Ja’far merasa malu dan berkata, ‘Kalian berdusta kalau saudaraku biasa menanyakan hal-hal seperti itu. Karena apa yang kalian tanyakan itu hanya dapat diketahui oleh Allah SWT, Sang Mahatahu, Sang Mahahadir di setiap tempat. Tidak satu pun orang yang dapat mengetahui hal itu selain-Nya.’

“Kafilah dari Qom itu tetap bersikeras dengan sikap mereka, sehingga membuat Ja’far mengadukan mereka kepada Khalifah. Khalifah memanggil mereka dan memerintahkan untuk menyerahkan uang itu kepada Ja’far. Mereka memohon kepada Khalifah, ‘Uang ini bukan milik kami. Uang itu adalah simpanan umat. Kami tidak punya pilihan lain kecuali menyerahkan uang ini kepada seseorang yang menjadi pengganti Imam Hasan as, dan jika tidak, kami akan mengembalikan uang ini kepada pemiliknya.’

“Khalifah menerima permohonan mereka dan membiarkan mereka pergi. Ketika kafilah Qom itu memutuskan untuk meninggalkan kota, seorang pemuda datang mendekat dan berkata, ‘Imam memanggil kalian semua untuk berjumpa dengan beliau.’

“Mendengar undangan itu, mereka sangat bersuka cita dan mengikuti pemuda itu menuju rumah Imam Hasan Al-Askari. Sesampainya di sana, kafilah itu menjumpai seorang pemuda, tanda-tanda dan aura Imamah nampak dari wajahnya. Mereka mengulangi pertanyaan sebagaimana yang telah dilontarkan kepada Ja’far.

Imam tersenyum dan berkata, ‘Duduklah. Aku dapat memberi tahu kepada kalian tentang isi setiap kantong ini berikut pemiliknya.’ Lalu, Imam menyebutkan satu persatu pemilik kantong uang itu dan jumlahnya.

“Kami sangat bergembira melihat kenyataan bahwa kami telah menemukan siapa yang selama ini kami cari. Kami mengambil kantong uang itu dan menyerahkannya kepada Imam as.

“Perjumpaan dengan Imam as adalah sebuah kesempatan emas untuk menanyakan masalah-masalah yang kami hadapi. Kami pun mengutarakan permasalahan-permasalahan dan dijawab oleh beliau dengan gamblang. Beliau memerintahkan kepada kami untuk tidak lagi membawa uang kepada beliau, dan meminta untuk menyerahkannya kepada wakil yang akan ditunjuk oleh beliau. Dan bila kami memiliki pertanyaan, kami mengirimnya kepada beliau dan beliau mengirim jawaban pertanyaan itu.

“Kami pun pamit dari beliau. Kami bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat dan anugerah yang besar ini; dapat berjumpa dengan beliau.”

Orang-orang Yang Bertemu Imam

Walaupun Imam Muhammad Al-Mahdi ajf tidak menunjukkan diri beliau kepada siapa pun secara langsung dalam masa Ghaibah Kubra ini, namun mereka yang memiliki jiwa yang suci dan bertakwa, sewaktu-waktu dapat berjumpa dan berbicara dengan beliau.

Di sini kami akan sebutkan beberapa kejadian yang menceritakan perjumpaan mereka dengan Sang Imam ajf. Mereka itu antara lain:

1. Ismail bin Hirqili Syamsuddin

Syamsuddin bercerita, “Pernah ayahku berkisah tentang kakinya yang terluka dan kemudian terobati. Ketika masih muda, ayahku menderita luka dan infeksi pada bagian pahanya. Luka itu sungguh membuatnya tidak berdaya.

“Suatu hari ia berkunjung kepada salah seorang sahabatnya, Sayyid Raziuddin Thaus di Hillah, Irak. Sahabat itu membantunya dengan mengumpulkan para tabib untuk memeriksa dan mengobati luka infeksi itu. Akan tetapi, setelah para tabib itu memeriksa luka itu, mereka memberikan jawaban negatif. Mereka berkesimpulan bahwa paha yang terinfeksi karena luka itu harus segera di operasi. Resiko yang dapat terjadi adalah paha ayahku itu diamputasi atau ia akan mati.

“Tahun berikutnya, Sayyid yang baik hati itu mengajak ayahku pergi ke Baghdad dan membawa beliau untuk diperiksa oleh para tabib di kota itu. Jawaban mereka atas pemeriksaan itu sama dengan jawaban tabib sebelumnya.

“Kesedihan, kekecewaan, dan rasa kecil hati menyelimuti perasaan ayahku ketika itu. Ia datang berziarah ke Haram Imam Al-Askari as di Samarra. Di Haram itu, beliau bermalam dan bertawassul untuk meminta pertolongan kepada Imam Zaman ajf.

“Tatkala fajar menyingsing, ia pergi ke arah Sungai Dajlah untuk membasuh pakaiannya sekaligus mandi, lalu kembali berziarah ke Haram Imam Al-Askari. Ayahku mengatakan, ‘Pada perjalananku kembali menuju Haram Imam Al-Askari, aku berjumpa dengan dua orang penunggang kuda. Semula, aku pikir mereka itu adalah orang-orang dari suku Badui. Mereka memberikan salam kepadaku. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Mari mendekat kepadaku.’ Karena aku telah membersihkan pakaianku, aku tidak mendekat kepada mereka. Aku lihat orang-orang Badui Arab itu kotor. Aku khawatir bajuku yang masih basah itu akan ternodai oleh tangan mereka.

‘Selagi aku masih berpikir tentang mereka, tiba-tiba ia menarikku untuk mendekat padanya. Ia menempelkan tangannya pada lukaku yang membuatku mengerang kesakitan. Setelah beberapa saat, ia mengangkat tangannya dari pahaku yang terluka itu seraya berkata, ‘Ismail, sekarang engkau telah sembuh. Janganlah engkau bersedih dan berkeluh kesah lagi.’

‘Aku terkejut ketika orang itu memanggil namaku. Ia pergi meninggalkan aku yang masih termangu dan sibuk dengan pikiranku sendiri.

‘Aku yakinkan diriku bahwa orang itu adalah Imam Al-Mahdi ajf. Aku membuntuti beliau dan memohon padanya untuk berhenti. Tiba-tiba ia berbalik dan berkata kepadaku, ‘Ismail pulanglah.’

‘Aku tidak menghiraukan perkataannya itu. Aku tetap berlari mengejarnya. Orang yang beserta beliau dalam perjalanan itu turut berbicara, ‘Wahai Ismail pulanglah. Apakah engkau tidak merasa malu mengabaikan perintah Imam Mahdi?’

‘Mendengar perkataan orang tersebut, dugaanku benar bahwa beliau adalah Imam Mahdi dan Sang Pelindung Umat.

‘Aku pun berhenti dan menatap beliau pergi. Selang beberapa saat kemudian mereka telah menjauh dan menghilang dari pandanganku.’

Syamsuddin menuturkan, “Sejak hari itu ayahku menjadi lebih sering ke Samarra. Namun sayang, beliau tidak melihat Imam lagi hingga akhir hayat beliau dengan asa dan kerinduan untuk bersua lagi dengan Imam Mahdi ajf.

2. Sayyid Muhammad Jabal Amili

Sayyid Muhammad Jabal Amili menuturkan perjalanannya kepada seorang sahabatnya. Ia berkata, “Setahun aku dalam perjalanan ke Masyhad. Karena tidak memiliki uang yang cukup, aku menjadi sangat susah.

“Hingga pada suatu waktu, sebuah kafilah bergerak. Namun karena aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli makanan, aku pergi berziarah ke Haram (pusara) Imam Ridha di Masyhad dan mengadukan kesulitanku kepada beliau. Dengan perut kosong menahan lapar, aku tetap mengejar kafilah itu. Sebab, jika aku berdiam diri di kampungku pada musim dingin, aku akan mati kedinginan.

“Aku berusaha berlari mengejar kafilah itu, tetapi aku justru kehilangan arah. Aku tersesat jalan dan mendapati diriku di tengah padang sahara yang panas membakar. Karena rasa lapar, aku sama sekali tidak lagi kuasa menggerakkan badanku. Aku berusaha mencari tumbuh-tumbuhan sahara dan rerumputan gurun pasir untuk mengganjal perutku yang kosong. Namun aku sama sekali tidak dapat menggerakkan badanku, apalagi untuk menemukannya.

“Hingga malam pun tiba dan kegelapan menyelimuti padang sahara. Raungan binatang buas, dengungan hewan-hewan padang pasir membuatku tercekam rasa takut. Aku menjerit menangis dan pasrah menanti maut yang sebentar lagi akan datang menjemputku.

“Tidak lama setelah bulan menampakkan dirinya dan suara bising kawanan hewan-hewan sahara itu berhenti, tiba-tiba aku menangkap bayangan sebuah bukit kecil, tumpukan bukit pasir. Aku berusaha mengangkat kaki menuju tempat itu. Aku melihat ada sumur di sana. Aku menimba air dari sumur itu untuk melepaskan dahagaku dan mengambil air wudhu untuk mengerjakan shalat. Namun aku tak lagi berdaya sama sekali. Aku tidak memiliki tenaga sedikit pun untuk bergerak karena menahan rasa lapar. Aku merangkak ke tempat itu untuk tidur dan pasrah menantikan ajalku.

“Tiba-tiba, aku melihat seseorang datang menunggang kuda, bergerak ke arahku. Aku berpikir, orang ini barangkali salah seorang dari kawanan rampok padang pasir. Aku tidak memiliki sesuatu apapun sehingga ia akan membunuhku dan membebaskanku dari rasa lapar.

“Ketika orang itu tiba di dekatku, ia menyampaikan salam kepadaku. Aku menjawab salamnya itu. Dan dengan salamnya itu tertepislah dugaanku. Ternyata, ia bukanlah dari kawanan rampok padang pasir.

“Ia bertanya, ‘Apa yang sedang kau cari?’

“Aku berusaha menjawab pertanyaan itu dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki. Aku mengatakan bahwa aku lapar dan tersesat jalan.

“Ia berkata, ‘Engkau memiliki buah melon di sampingmu. Mengapa engkau tidak memakannya?’

“Aku yang tadinya mencari kesana-kemari sesuatu yang dapat aku makan, berpikir bahwa ia sedang bercanda. Aku berkata padanya, ‘Anda jangan bergurau. Tinggalkanlah aku sendirian menanti ajal kan tiba.’

“Ia berkata, ‘Aku tidak bercanda. Lihat apa yang di sampingmu!’

“Kulihat, ada tiga buah melon tergeletak di sebelahku.

“Ia berkata, ‘Makanlah satu dari buah melon itu dan sisanya engkau simpan sebagai bekal perjalananmu dan tempuhlah jalan ini. (Orang itu menunjukkan jalan kepadanya, penj.). Menjelang matahari tenggelam, engkau akan sampai di sebuah kemah. Merekalah yang akan menuntun jalan untukmu sampai pada kafilah yang engkau ingin susul.’

“Setelah berkata-kata, orang itu pun menghilang. Seketika aku mengerti bahwa orang itu adalah Imam Mahdi ajf.

“Sesuai dengan petunjuknya, aku makan satu dari buah melon itu. Aku merasa sedikit pulih dan kuat untuk melanjutkan perjalanan. Pada hari berikutnya, aku makan lagi satu dari buah melon itu dan kembali melanjutkan perjalanan.

“Sebagaimana yang beliau katakan, sebelum Maghrib aku berhasil tiba di kemah yang dimaksudkan oleh beliau. Orang-orang yang berada di kemah itu mengajakku masuk ke dalam dan mereka menjamuku dengan ramah. Setelah itu, mereka menunjukkan jalan kepadaku untuk dapat menyusul kafilah.”

Mungkinkah Berusia Sepanjang Itu?

Pada dasarnya, ilmu pengetahuan—seperti Fisiologi—menegaskan ihwal raga manusia yang tersusun dari miliaran sel. Dengan berlalunya waktu, sel-sel tersebut menjadi tua, usang, lalu punah, digantikan oleh sel-sel yang lebih muda. Demikianlah bagaimana daur kehidupan berputar.

Sesuatu yang menjadikan manusia menjadi usang, menghentikan sel-sel itu dari aktifitasnya, dan dapat membawa kematian kepada manusia adalah bakteri dan virus yang berbahaya yang menerobos masuk ke dalam raga manusia dengan berbagai cara dan menyerang sel-sel aktif itu, lalu membinasakannya.

Ilmu Kedokteran (pencegahan dan pengobatan penyakit) merupakan bukti yang kuat, bahwa jika manusia menguasai ilmu pengetahuan dengan sempurna, mengenal dengan baik keadaan tubuhnya dan zat-zat yang berbahaya, merawat kesehatannya dan teliti dalam memilih makanan, maka hidupnya di dunia ini akan berlangsung lama. Ia tidak akan segera mengalami ketuaan.

Dalam pandangan para ilmuwan, mereka telah mampu memperpanjang kehidupan beberapa hewan melalui beberapa eksperimen. Dengan cara seperti ini dan berkat manfaat ilmu pengetahuan yang semakin menyebar dan menerapkan pola dan aturan kesahatan yang ketat, manusia dapat hidup lebih lama hingga beberapa abad.

Seorang ilmuwan telah sekian tahun berusaha mencari dan menyingkap tirai ilmu pengetahuan, untuk sekedar mengenal sekelumit dari rahasianya. Akan tetapi, Imam Mahdi ajf menerima anugerah seluruh khazanah ilmu pengetahuan itu. Dengan anugerah Ilahi itulah beliau tidak kesulitan untuk melintasi jalan-jalan yang ditempuh oleh para ilmuwan tersebut.

Dengan cara seperti ini, tidak akan menjadi mustahil—dari sudut pandang ilmu pengetahuan—bahwa Imam Mahdi ajf dengan keluasan ilmu yang diberikan Allah SWT kepadanya, dapat menjalani hidupnya untuk ratusan tahun dengan tetap sehat dan muda. Ketuaan dan kerentaan tidak berlaku padanya.

Di sisi lain, usia panjang Imam Mahdi tidak begitu ajaib daripada dipadamkannya api Namrud oleh Nabi Ibrahim as, dibelahnya sungai Nil oleh Nabi Musa as dan diubahnya beberapa orang menjadi ular. Semua itu menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah SWT.

Berkenaan dengan masalah ini, Al-Qur’an dan sejarah umat manusia memberikan teladan dan contoh beberapa nabi yang berusia panjang, dan juga termasuk orang-orang biasa. Sebagai contoh, Nabi Nuh as yang telah hidup selama 950 tahun, atau Lukman as yang telah hidup selama 400 tahun.

Demikian juga Bukht Nashr mampu hidup selama 1507 tahun, Nabi Sulaiman selama 712 tahun, dan Raja India, Firoze Rai selama 537 tahun.

Fakta-fakta yang tersebut di atas tadi merupakan bukti bahwa lamanya hidup seseorang di dunia tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Dan ini bisa saja terjadi di setiap zaman.

Bagaimana Imam Al-Mahdi Mengungguli Kekuatan Dunia?

Ketika para pemikir dan orang-orang pintar dunia sibuk dalam perlombaan senjata-senjata pemusnah massal, tampaknya tidak ada tanda-tanda perdamaian. Dunia ini tetap saja membara dengan peperangan dan ketidakadilan. Kutub-kutub kekuatan dunia terus berambisi untuk meluaskan kekuasaan dan wilayahnya melalui campur tangan perang.

Dengan keadaan dan kondisi yang menguatirkan dan mengenaskan ini, kerusakan semakin merejalela dalam kehidupan umat manusia, dan dosa serta kejahatan terus meluas.

Dalam keadaan seperti ini, medan penyambutan sebuah pemerintahan yang adil dan bebas dari perang serta agresi akan menjadi kenyataan. Seluruh bangsa-bangsa akan merasa jenuh dan muak dengan kezaliman pemerintahan mereka yang hanya memikirkan pengembangan kejahatan dan ketidakadilan yang membuat dunia runtuh. Persis sebagaimana kemunculan bintang cerlang Islam di daerah Hijaz, pun demikian setelah lima abad dalam kubangan tirani Jahiliyyah, adalah sebuah medan yang patut dipersiapkan untuk menyambut kemunculan Nabi Islam Muhammad saw.

Masyarakat yang teraniaya bersiap-siap menerima Islam dan panggilan Tauhid Allah serta Keadilan Nabi saw. Sekelompok manusia menerima Islam sebagai panji pergerakan mereka.

Jika kita amati revolusi-revolusi yang meletus di seluruh dunia, kita temukan bahwa keberhasilan para pemimpin mengusung sebuah revolusi adalah landasanguna mewujudkan medan dalam sebuah masyarakat yang menumbuhkan kekecewaan dan kebencian besar mereka terhadap para penguasa zalim akibat pemerintahan mereka yang tidak adil. Medan semacam ini akan mengantarkan para pemimpin sampai kepada tampuk kekuasaan.

Berdasarkan keyakinan itu, revolusi Imam Mahdi akan terlaksana secara alami, yang seiring dengan munculnya medan yang siap dan memadai di tengah masyarakat. Karena, revolusi agung Imam Mahdi akan bersifat global dan tidak terbatas pada suatu tempat. Oleh karena itu, seluruh masyarakat dunia harus bersedia untuk menyongsong revolusi agung itu di tengah keadaan mereka saat itu sesuai dengan apa yang disingkapkan oleh Rasulullah saw, “Kekejaman, kedurjanaan, dan kerusakan akan merajalela di seluruh dunia.”

Tekanan yang hebat dari pemerintahan zalim akan membuat bangsa-bangsa menjadi hulu ledak yang besar, sehingga mereka akan saling bahu-membahu menghadapinya. Dan masyarakat yang selama ini diperlakukan secara tidak adil dan tidak beradab akan memenuhi panggilan nurani mereka. Ibarat buah yang matang di pohonnya, akan jatuh ke tanah hanya dengan sedikit goyangan.

Dalam kondisi seperti ini, seluruh kekuatan dunia, betapapun mereka dilengkapi dengan persenjataan militer yang canggih, tidak akan dapat membendung dan menghentikan kebangkitan dan revolusi agung ini, meskipun dengan cara pembantaian massal.

Pada saat dunia menghadapi kekalahan dan kelesuan jiwa, mereka membutuhkan seorang pemimpin yang luar biasa. Yaitu, seorang pemimpin yang lengkap dengan pengetahuan, kesadaran sejarah, mengenal seluruh tingkat kebudayaan manusia dengan baik, dan bergaul aktif secara langsung, serta sanggup mengamati secara cermat akan perubahan-perubahan sejarah dan seluruh kejahatan-kejahatan di masa lampau.

Dialah yang menjadi hujjah dan penegak amanah Ilahi yang menyerukan janji keadilan dan kemanusiaan di bumi, menghimpun orang-orang yang tertindas di seluruh dunia untuk meruntuhkan pemerintahan-pemerintahan penindas. Daripada meluangkan tenaga demi pemusnahan dan penghancuran satu sama lainnya, mereka menggalang persatuan secara menata, sehingga mendapatkan tenaga dan sumber-sumbernya demi kemakmuran dan kesejahteraan satu sama lainnya.

Dialah Imam Al-Mahdi ajf yang akan mewujudkan sebuah dunia yang bebas dari rasa takut, cemas dan memenuhinya dengan berkat dan rahmat.[]

Riwayat Singkat Imam Al-Mahdi

Nama : Muhammad.

Gelar : Al-Hadi, Al-Mahdi dan Al-Qa’im.

Julukan : Abul Qasim.

Ayah : Imam Hasan Al-Askari as.

Ibu : Nargis Khatun.

Kelahiran : Samarra, 256 Hijriah.

Imam Sholat Perempuan

DESKRIPSI MASALAH

Satu lagi wacana yang menarik untuk di diskursuskan, sebuah gereja di Manhattam menjadi saksi bisu sebuah gerakan revolusioner pengajar studi Islam di Urgina Common Wealth University AS dengan nota bene menjunjung tinggi derajat wanita yang berlabelkan gender, seorang Amina Wadud mencoba mengubah tradisi lama dengan keberaniannya menjadi inspektur sholat Jum`at di dalam sebuah gereja prosesi bersejarah telah mengisahkan kontroversi dan membuka pintu perdebatan fiqh boleh tidaknya ritual ibadah tersebut?

PP. AL ANWAR SARANG REMBANG JATENG

PERTANYAAN:

a. Bagaimana eksistensi pendapat yang memperbolehkan imam perempuan?

JAWABAN:

a. Menurut Madzhab Syafi`i, pendapat yang memperbolehkan seorang wanita menjadi imam shalat bagi laki-laki adalah pendapat yang syadz dan tidak boleh diamalkan. Tetapi menurut sebagian ulama` dari Madzhab Hanbaly, seorang wanita boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki, baik dalam shalat sunnat maupun shalat fardhu, dengan syarat posisi berdirinya berada di belakang makmum laki-laki. Dan pendapat ini boleh untuk diikuti.

REFERENSI:

الحاوى الكبير للامام الماوردي 2/412 (دار الفكر)

مسألة : قال المزني : قال الشافعي رحمه الله : (ولا يأتم رجل بامرأة ولا بخنثى , فان فعل أعاد . قال الماوردي : وهذا صحيح , لا يجوز للرجل ان يأتم بالمرأة بحال , فان فعل اعاد صلاته , وهذا قول كافة الفقهاء الا ابا ثور فانه شذ عن الجماعة فجوز للرجل ان يأتم بالمرأة تعلقا بقوله صلى الله عليه وسلم : “يؤم القوم أقرأهم”.

الانصاف للمرداوي الحنبلي 2/263-264 (دار احياء التراث العربي)

قوله ( ولا تصح إمامة المرأة للرجل ) هذا المذهب مطلقا قال في المستوعب : هذا الصحيح من المذهب ونصره المصنف واختاره أبو الخطاب , وابن عبدوس في تذكرته وجزم به في الكافي , والمحرر , والوجيز , والمنور , والمنتخب , وتجريد العناية , والإفادات وقدمه في الفروع , والرعايتين , والحاويين , والنظم , ومجمع البحرين , والشرح , والفائق , وإدراك الغاية , وغيرهم , وهو ظاهر كلام الخرقي , وعنه تصح في النفل , وأطلقهما ابن تميم , وعنه تصح في التراويح نص عليه , وهو الأشهر عند المتقدمين قال أبو الخطاب , وقال أصحابنا : تصح في التراويح قال في مجمع البحرين اختاره أكثر الأصحاب قال الزركشي : منصوص أحمد واختيار عامة الأصحاب : يجوز أن يؤمهم في صلاة التراويح . انتهى . وهو الذي ذكره ابن هبيرة عن أحمد وجزم به في الفصول , والمذهب , والبلغة وقدمه في التلخيص وغيره , وهو من المفردات . ويأتي كلامه في الفروع قال القاضي في المجرد : ولا يجوز في غير التراويح فعلى هذه الرواية , قيل : يصح إن كانت قارئة وهم أميون , جزم به في المذهب , والفائق , وابن تميم , والحاويين قال الزركشي : وقدمه ناظم المفردات , والرعاية الكبرى . وقيل : إن كانت أقرأ من الرجال , وقيل : إن كانت أقرأ وذا رحم وجزم به في المستوعب , وقيل : إن كانت ذا رحم أو عجوز واختار القاضي : يصح إن كانت عجوزا قال في الفروع : واختار الأكثر صحة إمامتها في الجملة ; لخبر أم ورقة العام والخاص , والجواب عن الخاص : رواه المروذي بإسناد يمنع الصحة , وإن صح : فيتوجه حمله على النفل , جمعا بينه وبين النهي ويتوجه احتمال في الفرض والنهي : تصح مع الكراهة . انتهى . فائدة : حيث قلنا : تصح إمامتها بهم , فإنها تقف خلفهم . لأنه أستر , ويقتدون بها , هذا الصحيح قدمه في الفروع , والفائق , ومجمع البحرين , والزركشي , والرعاية الكبرى وجزم به في المذهب والمستوعب قلت : فيعايى بها ,

الفروع لابن مفلح الحنبلي 2/18 (عالم الكتب)

ولا تصح إمامة امرأة بغير نساء ( و ) وبنى عليه في المنتخب : لا يجوز أذانها لهم , وعنه : تصح في نفل , وعنه : في التراويح , وقيل : إن كانت أقرأ , وقيل : قارئة دونهم , وقيل : ذا رحم , وقيل : أو عجوزا , وتقف خلفهم لأنه أستر , وعنه : تقتدي بهم في غير القراءة , فينوي الإمامة أحدهم , واختار الأكثر الصحة في الجملة , لخبر أم ورقة العام والخاص , والجواب عن الخاص رواه أبو بكر المروذي بإسناد يمنع الصحة , وإن صح فيتوجه حمله على النفل , جمعا بينه وبين النهي , ويتوجه احتمال في الفرض , والنهي لا يصح , مع أنه للكراهة , وكذا الخنثى , وقيل : تصح بخنثى , وإن قلنا : لا يؤم خنثى نساء . وتبطل صلاة امرأة بجنب رجل لم يصلوا جماعة .

الانصاف فى معرفة الراجح من الخلاف للامام المرداوي الحنبلي 1/18

واعلم رحمك الله أن الترجيح إذا اختلف بين الأصحاب إنما يكون ذلك لقوة الدليل من الجانبين . وكل واحد ممن قال بتلك المقالة إمام يقتدى به . فيجوز تقليده والعمل بقوله . ويكون ذلك في الغالب مذهبا لإمامه . لأن الخلاف إن كان للإمام أحمد فواضح . وإن كان بين الأصحاب , فهو مقيس على قواعده وأصوله ونصوصه . وقد تقدم أن ” الوجه ” مجزوم بجواز الفتيا به . والله سبحانه وتعالى أعلم .

وكذا فى كشاف القناع للامام البهوتي الحنبلي 1/22 ومطالب اولى النهى فى شرح غاية المنتهى 1/24

Supporter ﴿

الموسوعة الفقهية 21/266 (وزارة الاوقاف الكويتية)

ذهب المالكية إلى أن الذكورة شرط لإمامة الصلاة , وأنه لا يجوز أن تؤم المرأة رجلا ولا امرأة مثلها , سواء كانت الصلاة فريضة أو نافلة , وسواء عدمت الرجال أو وجدت لحديث : { لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة } .وتبطل صلاة المأموم دون المرأة التي صلت إماما فتصح صلاتها . ووافقهم الحنفية والشافعية والحنابلة والفقهاء السبعة - من فقهاء المدينة - في منع إمامتها للرجال , لما روى جابر رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : { خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : لا تؤمن امرأة رجلا }

سبل السلام لمحمد بن اسماعيل الكحلاني الصنعاني (زيدي) 1/

( ولابن ماجه من حديث جابر رضي الله عنه { , ولا تؤمن امرأة رجلا , ولا أعرابي مهاجرا , ولا فاجر مؤمنا } , وإسناده واه ) فيه عبد الله بن محمد العدوي عن علي بن زيد بن جدعان , والعدوي اتهمه وكيع بوضع الحديث وشيخه ضعيف , وله طرق أخرى فيها عبد الملك بن حبيب وهو متهم بسرقة الحديث وتخليط الأسانيد وهو يدل على أن المرأة لا تؤم الرجل وهو مذهب الهادوية , والحنفية والشافعية وغيرهم . وأجاز المزني وأبو ثور إمامة المرأة , وأجاز الطبري إمامتها في التراويح إذا لم يحضر من يحفظ القرآن , وحجتهم حديث أم ورقة وسيأتي ويحملون هذا النهي على التنزيه أو يقولون الحديث ضعيف .

البحر الزخار الجامع لمذاهب علماء الامصار لاحمد بن يحيى بن المرتضى (زيدي) 2/313 (دار الكتاب الاسلامى)

” مسألة ” ( ة قين ) ولا يأتم رجل بامرأة , لقوله { لا تؤمن } الخبر ( ثور ني الطبري ) يجوز في التراويح إن لم يوجد متعين غيرها , وتقف متأخرة لسهولة حكم النافلة , قلنا . النهي عام ثم تأخيرها عكس ما قالت الجماعة

( قوله ) ” لا تؤمن ” الخبر روي عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال { لا تؤمن امرأة رجلا } هكذا حكاه في الشفاء ولفظه في المهذب روى جابر قال : { خطبنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فقال : لا تؤمن امرأة رجلا ولا يؤمن فاجر مؤمنا إلا أن يخاف سيفه أو سوطه } , انتهى , ولفظه في التلخيص { لا تؤمن امرأة رجلا , ولا أعرابي مهاجرا } رواه ابن ماجه من حديث جابر إلى آخر ما ذكره وضعفه

شرائع الاسلام فى مسائل الحلال والحرام لجعفر بن الحسن الهذلي (إمامي) 1/114 (مؤسسة مطبوعاتي اسماعليان)

الطرف الثاني : يعتبر في الإمام : الإيمان , والعدالة , والعقل , وطهارة المولد , والبلوغ على الأظهر , وألا يكون قاعدا بقائم , ولا أميا بمن ليس كذلك . ولا يشترط الحرية على الأظهر . ويشترط الذكورة , إذا كان المأمومون ذكرانا , أو ذكرانا وإناثا . ويجوز أن تؤم المرأة النساء . وكذا الخنثى . ولا تؤم المرأة رجلا ولا خنثى .

دقائق اولى النهى لمنصور بن يونس البهوتي (حنبلي) 1/275 (عالم الكتاب)

( ولا تصح إمامة امرأة ) لرجل لما روى ابن ماجه عن جابر مرفوعا { لا تؤمن امرأة رجلا } ولأنها لا تؤذن للرجال فلم يجز أن تؤمهم كالمجنون , ولا إمامتها أيضا لخنثى فأكثر لاحتمال أن يكون ذكرا . ( و ) لا تصح إمامة ( خنثى لرجال ) لاحتمال أن يكون امرأة ( أو ) أي : ولا تصح إمامة خنثى ( لخناثى ) لاحتمال أن يكون الإمام امرأة والمأمومون ذكورا . ولا فرق بين الفرض والنفل ولو صلى رجل خلفهما لم يعلم , ثم علم لزمته الإعادة وعلم منه : صحة إمامة رجل لرجل , وخنثى وامرأة , وإمامة خنثى وامرأة لامرأة ( إلا عند أكثر المتقدمين , إن كانا ) أي : المرأة والخنثى ( قارئين والرجال أميون ) فتصح إمامتها بهم ( في تراويح فقط ) لحديث أم ورقة { قالت : يا رسول الله , إني أحفظ القرآن , وإن أهل بيتي لا يحفظونه , فقال : قدمي الرجال أمامك وقومي وصلي من ورائهم } . ” فحمل هذا على النفل جمعا بينه وبين ما تقدم ( ويقفان ) أي : المرأة والخنثى ( خلفهم ) أي : خلف الرجال الأميين حال الصلاة للخبر .

Apa tarjih istidlal Syafi`iyyah dalam madzhabnya jika dihadapkan pada pendho`ifan hadits yang ada riwayat Jabir RA?

JAWABAN:

c. Dasar Madzhab Syafi`i adalah ijma` dengan didukung ayat:(الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضَهم على بعض) dan beberapa hadits, diantaranya: “أخروهن من حيث أخرهن الله سبحانه dll. Disertai alasan-alasan sbb: 1) Wanita adalah aurat yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah, karenanya wanita tidak pantas untuk menjadi imam shalat. 2) Imamah shalat adalah termasuk salah satu wilayah, sedangkan wanita bukanlah orang yang pantas untuk memegang wilayah.

REFERENSI:

الحاشية الكبرى للامام الكردي بهامش الترمسي 3/47 (المطبعة العامرة الشرفية)

(وان لايقتدي الرجل) اى الذكر (بالمرأة) او الخنثى المشكل ولا الخنثى بامرأة او خنثى لما صح من قوله صلى الله عليه وسلم “لن يفلح قوم ولوا امرهم امرأة” وروى ابن ماجه “لاتؤمن المرأة رجلا”

(قوله اى الذكر) –الى ان قال- وعدم الصحة فى الرجل بالمرأة اجماع الا من شذ كالمزني . فلو احتج به كما صنع لكان اوضح , لان الحديث الاول على فرض شموله امامة الصلاة ليس فيه انه شرط للصحة , والثاني رواه ابن ماجه من حديث جابر اثناء حديث طويل اوله : “يا أيها الناس توبوا الى ربكم قبل ان تموتوا ” وفى سنده عبد الله بن محمد العدوي عن على بن زيد بن جدعان العدوي اتهمه وكيع بوضع الحديث وشيخه ضعيف , ورواه عبد الملك بن حبيب فى الواضحة وعبد الملك متهم بسرقة الاحاديث وتخليط الاسانيد

موهبة ذى الفضل 3/47 (المطبعة العامرة الشرفية)

(وان لايقتدي الرجل) اى الذكر (بالمرأة) او الخنثى المشكل ولا الخنثى بامرأة او خنثى لما صح من قوله صلى الله عليه وسلم “لن يفلح قوم ولوا امرهم امرأة” وروى ابن ماجه “لاتؤمن المرأة رجلا”

(قوله : لما صح من قوله صلى الله عليه وسلم) الخ استدلال على الشرط المذكور وكذا عبر الشارح وفيه ما سيأتي , والحديث رواه البخاري عن ابي بكرة رضى الله عنه لما بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم ان اهل فارس قد ملكوا بنت كسرى قال : لن يفلح قوم الخ فهو وارد فى الولاية والامارة لا فى امامة الصلاة وبفرض شموله لها فليس فيه تصريح بالشرطية فليتأمل –الى ان قال- (قوله : لا تؤمن المرأة رجلا) وهذه قطعة من حديث طويل , قال الكردي فى الكبرى : وفى سنده عبد الله بن محمد العدوي عن على بن زيد بن جدعان العدوي اتهمه وكيع بوضع الحديث وشيخه ضعيف , ورواه عبد الملك بن حبيب فى الواضحة وعبد الملك متهم بسرقة الاحاديث وتخليط الاسانيد انتهى ولعله احدالثلاثة التى خطأه فيها ابو زرعة , ولم يستدل بهذا الحديث فى التحفة بل قال اجماعا فى الرجل بالمرأة الا من شذ كالمزني

الحاوى الكبير للامام الماوردي 2/412 (دار الفكر)

مسألة : قال المزني : قال الشافعي رحمه الله : (ولا يأتم رجل بامرأة ولا بخنثى , فان فعل أعاد . قال الماوردي : وهذا صحيح , لا يجوز للرجل ان يأتم بالمرأة بحال , فان فعل اعاد صلاته , وهذا قول كافة الفقهاء الا ابا ثور فانه شذ عن الجماعة فجوز للرجل ان يأتم بالمرأة تعلقا بقوله صلى الله عليه وسلم : “يؤم القوم أقرأهم”. قال : ولان من يصح ان يأتم بالرجال صح ان يكون اماما للرجال كالرجال . قال : ولان نقص الرق اشد من نقص الأنوثية , بدلالة ان العبد يقتل بالمرأة الحرة , ولا يجوز ان تقتل المرأة الحرة بالعبد , فلما جاز ان يكون العبد اماما للأحرار كانت المرأة بامامتهم اولى . وهذا خطأ لقوله تعالى : (الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضَهم على بعض) قال الشافعي : فقصرن من ان يكون لهن ولاية وقيام , ولقوله صلى الله عليه وسلم : “أخروهن من حيث أخرهن الله سبحانه” فاذا وجب تأخيرهن حرم تقديمهن , ولقوله صلى الله عليه وسلم : “ما أفلح قوم اسندوا امرهم الى امرأة” , ولان المرأة عورة وفى امامتها افتتان بها , وقد جعل النبي صلى الله عليه وسلم التصفيق لها بدلا من التسبيح للرجل فى نوائب الصلاة خوفا من الافتتان بصوتها , وكذلك فى الإئتمام بها . ولان الامامة ولاية وموضع فضيلة , وليست المرأة من اهل الولايات , الا تراها لاتلي الامامة العظمى ولا القضاء ولا عقد النكاح فكذلك امامة الصلاة . فاما الجواب عن قوله صلى الله عليه وسلم : “يؤم القوم أقرؤهم” فالقوم ينطلق على الرجال دون النساء , قال الله تعالى : (ياأيها الذين آمنوا لا يسخرُ قوم من قوم عسى ان يكونوا خيرا منهم ولا نساءٌ من نساء عسى ان يكنَّ خيرا منهن) فلو دخل النساء فى القوم لم يعد ذكرهن فيما بعد , وقد قال الشاعر : وما ادري وسوف أخال ادري * اقوم آل حصن ام نساء . فاما الرجل فالمعنى فيه : كونه من اهل الولايات وممن لايخشى الافتتان بصوته . واما العبد فلان نقص الرق دون نقص الأنوثية لانه عارض يزول , والأنوثية ذاتي لايزول , على ان المعنى فى العبد انه ممن لايخشى الافتتان به .

Supporter ﴿

أصول الفقه لمحمد ابي زهرة ص : 207 (دار الفكر العربي)

من يتكون منهم الاجماع : الاجماع من المجتهدين , ولكن المجتهدين من المبتدعة كالخوارج والروافض فى نظر الجمهور والقدرية والجهمية الا يدخلون فى الذين يتكون منهم ؟ قال الجمهور : اذا كانوا يدعون الى بدعتهم لا يدخلون , اما اذا كانوا لا يدعون الى آرائهم , كبعض المجتهدين الذين نسب اليهم الكلام فى القدر او الإرجاء فان هذا لايخرج بهم عن صفوف اهل الاجماع . ومن فقهاء الجمهور من اعتبر الشذاذ من الفقهاء غير داخلين فى الاجماع فلم يدخلوا فى عموم من يتكون الاجماع منهم نفاة القياس .

NABI MUHAMMAD SAW, MANUSA SEMPURNA

Bangsa Quraisy

Bangsa Quraisy dipandang sebagai salah satu bangsa yang dihormati dan disegani di antara bangsa-bangsa yang ada di semenanjung Arabia. Quraisy sendiri terbagi ke dalam berbagai suku. Bani Hasyim adalah salah satu suku terhormat di antara suku-suku yang ada. Qushai bin Kilab adalah nenek moyang mereka yang bertugas sebagai penjaga Ka’bah.

Di tengah warga Makkah, Hasyim dikenal sebagai orang yang mulia, bijaksana, dan terhormat. Ia banyak membantu mereka, memulai perniagaan pada musim dingin dan musim panas supaya mereka mendapatkan penghidupan yang layak. Atas jasa-jasanya, warga kota memberinya julukan “sayid” (tuan). Julukan ini secara turun-temurun disandang oleh anak keturunan Hasyim.

Setelah Hasyim, kepemimpinan bangsa Quraisy dipercayakan kepada anaknya yang bernama Muthalib, kemudian dilanjutkan oleh Abdul Muthalib.

Abdul Muthalib adalah seorang yang berwibawa. Pada masanya, Abrahah Al-Habasyi menyerbu Makkah untuk menghancurkan Ka’bah, namun berkat pertolongan Allah SWT, Abrahah dan pasukan gajahnya mengalami kekalahan. Tahun penyerbuan itu kemudian dikenal dengan nama Tahun Gajah. Dan sejak peristiwa itu, nama Abdul Muthalib pun semakin terpandang di kalangan kabilah Arab.

Abdul Muthalib mempunyai beberapa anak. Di antara mereka, Abdullah-lah anak yang paling saleh dan paling dicintainya. Pada usia 24 tahun, Abdullah menikah dengan perempuan mulia bernama Aminah.

Dua bulan setelah Tahun Gajah, Aminah melahirkan seorang anak. Ia memberinya nama Muhammad. Sebelum kelahiran Muhammad, ayahnya Abdullah meninggal dunia. Tak lama setelah melahirkan, sang ibu pun menyusul suaminya kembali ke alam baka. Maka, sejak awal kelahirannya, Muhammad sudah menjalani hidupnya sebagai anak yatim.

Setelah ditinggalkan oleh kedua orang tua yang dicintainya, Muhammad diasuh oleh sang kakek, Abdul Muthalib. Berkat anugerah dan rahmat dari Allah SWT, Muhammad tumbuh menjadi dewasa dengan kesucian jiwa yang terpelihara.

Warga kota Makkah begitu mencintainya, bahkan merelakan barang-barang mereka berada di bawah pengawasan Muhammad. Atas kejujuran dan sifat amanah yang ditunjukkannya, mereka memberinya gelar “Al-Amin”, yakni orang yang tepercaya.

Dengan bekal iman yang teguh, Muhammad membantu orang-orang fakir, membela orang-orang yang tertindas, membagikan makanan kepada mereka yang lapar, mendengarkan keluhan-keluhan mereka, dan berusaha memberikan jalan keluar atas masalah-masalah yang mereka hadapi.

Ketika beberapa orang pemuda menggalang sebuah gerakan yang dikenal dengan nama “Sumpah Pemuda” (Hilful Fudhul), segera Muhammad pun bergabung bersama mereka, karena gerakan itu sejalan dengan perilaku luhur dan tujuan-tujuannya.

Pada suatu waktu, Abu Thalib, paman Muhammad, menasehatinya untuk ikut berniaga dengan kafilah dagang Khadijah, seorang wanita Makkah yang kaya dan terhormat. Kemudian, Muhammad pun ditunjuk untuk memimpin kafilah dagang tersebut.

Selama bergabung dalam kafilah dagangnya, Khadijah menyaksikan dari dekat kejujuran, keteguhan, dan keutamaan perilaku Muhammad. Tak segan lagi Khadijah melamarnya. Muhammad menerima lamaran itu. Dan tak lama kemudian, mereka pun melangsungkan pernikahan.

Dari perhikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Fatimah, yang dari keturunannya lahirlah manusia-manusia suci.

Hajar Aswad (Batu Hitam)

Sepuluh tahun setelah pernikahan itu, banjir besar melanda kota Makkah yang merusak sebagian besar bangunan Ka’bah. Warga kota bermaksud untuk memperbaikinya.

Untuk mencegah perseturuan yang bakal terjadi, perbaikan itu dilakukan oleh berbagai suku yang ada di kota secara gotong royong. Namun, tatkala perbaikan telah selesai, tibalah saatnya untuk meletakkan Hajar Aswad. Ketika itu, masing-masing bangsa mengaku paling berhak untuk meletakkan batu itu.

Perang hampir saja terjadi. Tiba-tiba Muhammad muncul memberi sebuah usulan, dengan menanggalkan jubahnya dan meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah-tengahnya, lalu setiap kepala suku memegang tepi jubah itu, lantas membawanya bersama-sama ke tempat asalnya.

Wahyu Pertama

Menginjak usia 40 tahun, Muhammad diangkat sebagai nabi. Suatu hari, ketika beliau sedang melakukan ibadah di gua Hira, datanglah Malaikat Jibril as membawa wahyu dari Allah dan menyapanya, “Iqra! Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari gumpalan darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Mahamulia. Dialah yang mengajarkan ilmu dengan pena. Dialah yang telah mengajarkan kepada manusia akan segala yang tidak diketahuinya.”

Sejak itu, Muhammad terpilih untuk mengemban risalah Allah sebagai Rasulullah saw di tengah umat manusia di seluruh dunia.

Di awal-awal kenabian, Rasulullah saw berdakwah secara rahasia. Pada saat itu, hanya beberapa orang saja yang mau menerima Islam. Orang pertama yang mengakui Muhammad sebagai Rasulullah saw ialah istri beliau, Khadijah, kemudian disusul oleh sepupunya, Ali bin Abi Thalib.

Tiga tahun lamanya Islam terus menyebar di kalangan rakyat miskin kota Makkah. Setelah itu, Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw untuk melakukan dakwah secara terang-terangan, mengajak manusia menyembah Tuhan Yang Esa dan memulai perang suci melawan para penyembah berhala.

Tugas dakwah merupakan tugas yang penuh resiko dan bahaya. Sebab, para pemimpin kabilah telah sekian lama larut dalam kenikmatan berupa kedudukan dan menjadikan orang-orang sebagai budaknya.

Mereka khawatir bahwa dakwah Rasulullah saw akan merongrong kekuasaan mereka. Selain itu, tugas dakwah akan menjumpai kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaannya, karena berhala-berhala itu telah lama dijadikan sesembahan oleh mereka.

Rasulullah saw tidak mengenal toleransi. Ia memilih untuk memikul tugas ini untuk mengesakan Tuhan dan menegakkan undang-undang Tauhid di muka bumi.

Masyarakat yang sebelumnya menghormati dan santun terhadap Nabi saw, kini berbalik membenci dan memusuhi dakwah beliau dengan harta. Namun usaha mereka gagal.

Kemudian, permusuhan mereka berlanjut dengan menyiksa dan menjarah harta-harta milik Nabi saw. Namun, usaha mereka ini pun tidak berhasil untuk menahan laju dakwah suci beliau.

Kaum kafir Makkah tidak pernah lelah untuk mengubah pendirian Rasulullah saw. Mereka meningkatkan permusuhannya dan mengusir beliau beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya keluar dari Makkah, lalu mengurungnya di ladang Abu Thalib hingga sebagian mereka yang bersama Rasul di dalamnya mati kelaparan.

Mereka bahkan memperketat pengurungan ladang itu sehingga makanan dan minuman tidak dapat ditemui oleh Nabi beserta pengikutnya yang setia. Beberapa penduduk yang ikut Nabi mempertaruhkan hidupnya untuk menyelundupkan makanan dari kota di kegelapan malam.

Waktu berlalu begitu cepat. Kaum kafir menyerah pada tekad dan kegigihan yang ditunjukkan oleh kaum muslimin. Mereka memutuskan untuk membunuh Rasulullah saw.

Untuk itu, mereka memilih pemuda-pemuda terkuat dari kalangan keluarga dan suku mereka dengan memberikan upah yang tinggi kepada siapa yang berhasil membunuh beliau. Mereka menetapkan untuk menyergap kediaman Nabi saw pada malam hari.

Hijrah ke Madinah

Rencana keji itu diketahui oleh Rasulullah saw melalui wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril as. Beliau memilih sepupunya Ali bin Abi Thalib untuk menggantikannya tidur di atas ranjang beliau dengan mempertaruhkan hidupnya demi keselamatan beliau.

Beliau hijrah dari Makkah ke Madinah di kegelapan malam. Kaum musyrikin telah berkumpul untuk membunuh Nabi saw. Betapa terkejutnya mereka, tatkala mendapati Ali di atas ranjang Rasul saw. Mereka segera mengejar beliau. Namun pengejaran itu gagal. Mereka pun kembali ke Makkah dengan tangan hampa.

Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Nabi saw tiba di Quba, sebuah tempat di dekat kota Madinah. Penduduk desa menyambut kedatangan beliau. Dengan suka cita beliau berencana membangun tempat salat dan menyusun tugas-tugas dakwah.

Pembangunan masjid Quba berjalan lancar. Nabi saw turun tangan langsung dalam menyelesaikan pembangunannya. Sesudah itu, beliau melakukan salat Jumat dan berdiri sebagai khatib. Inilah salat Jumat yang pertama kali dilaksanakan oleh beliau.

Rasulullah saw menetap di Quba untuk beberapa saat sambil menyampaikan ajaran-ajaran Allah. Di sana pula beliau menantikan kedatangan Ali yang ditinggalkannya di kota Makkah untuk menunaikan titipan dan amanat kepada pemiliknya masing-masing. Hingga akhirnya Ali pun datang ke Quba bersama kaum wanita keluarga Bani Hasyim.

Rasulullah saw memasuki kota Yatsrib, dan sejak saat itu pula nama kota itu berubah menjadi Madinatur-Rasul atau Madinah Al-Munawarah. Penduduk kota menyambut beliau dan sebagian kaum Muhajirin yang menyertainya dengan begitu hangat dan meriah. Setiap penduduk berlomba meminta beliau untuk duduk di rumah mereka. Kepada mereka semua, beliau berkata, “Berilah jalan kepada untaku ini. Aku akan menjadi tamu orang yang di depan pintunya unta ini berhenti.”

Si unta berjalan dan melintasi jalan-jalan kota Madinah, hingga ia menghentikan langkahnya dan bersila di depan pintu rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Di rumah itulah Rasulullah saw dijamu.

Sesampainya di Madinah, pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw ialah pembangunan masjid sebagai pusat dakwah dan pengajaran. Nabi juga segera menyerukan perdamaian serta persaudaraan antara dua bangsa; Aus dan Khazraj, yang telah berperang selama bertahun-tahun akibat hasutan yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi Madinah.

Dalam rangka mengikis habis akar-akar pembeda antara kaum Muhajirin yang datang dari Makkah dan kaum Anshar sebagai penduduk asli Madinah, Rasulullah saw mempersaudarakan mereka satu persatu, sehingga kaum Muhajirin tidak menjadi beban kaum Anshar di kemudian hari dan mereka dapat hidup bersama dengan rukun dan damai.

Orang-orang Yahudi Madinah memandang persaudaraan itu dengan penih kedengkian. Mereka selalu berusaha menyulut semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sementara Rasulullah saw memadamkan api pertikaian, mereka malah giat mengobarkannya.

Peralihan Kiblat

Pada awalnya, Rasulullah saw melakukan salat dan ibadah ke arah Masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Itu berlanjut selama 13 tahun di Makkah dan 17 bulan di Madinah.

Kaum Yahudi pun mengadap masjid Al-Aqsa dalam salat-salat mereka. Karena ini pula mereka selalu mencemooh kaum muslimin, “Jika benar kami dalam kesesatan, lalu mengapa kalian mengikuti kiblat kami.”

Hingga pada suatu hari, turunlah wahyu yang memerintahkan Rasulullah saw agar kaum muslimin menghadap Ka’bah Masjidil Haram dalam setiap salat mereka.

Perintah ini sungguh memukul kaum Yahudi. Mereka bertanya-tanya tentang sebab peralihan kiblat kaum muslimin. Mereka tidak sadar bahwa peralihan kiblat ini merupakan ujian bagi kaum muslimin sendiri, sehingga dapat dikenali siapa yang mentaati dengan siapa yang menentang Rasulullah saw.

Peperangan Rasulullah saw.

1. Perang Badar

Rasulullah saw mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan kabilah-kabilah tetangga guna melindungi kota Madinah dari segala ancaman makar dan penyerangan.

Sementara itu, Quraisy Makkah melakukan penjarahan atas harta-harta umat Islam di kota itu. Rasulullah saw pun berpikir untuk merebut kembali harta-harta itu dari mereka. Untuk itu, beliau memutuskan untuk menyerang kafilah-kafilah pedagang kafir Quraisy.

Demikianlah awal meletusnya bentrokan senjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin di suatu tempat dekat sumur Badar. Oleh karena ini, peperangan pertama di antara mereka ini dinamai perang Badar.

Kaum muslimin mampu memenangkan peperangan itu secara gemilang. Nama mereka pun mulai terpandang dan disegani di semenanjung Arabia.

2. Perang Uhud

Bagi kaum musyrik Quraisy, kemenangan kaum muslimin pada perang Badar itu malah membuat hati mereka terbakar kemarahan. Tak ayal lagi, Abu Sufyan mulai mengitung hari untuk melancarkan pembalasan dendam. Bahkan ia melarang perempuan-perempuan Quraisy menangisi korban perang Badar, supaya api dendam tetap membara di dalam jiwa-jiwa mereka.

Sementara di Madinah, kemenangan gemilang kaum muslimin meresahkan kaum Yahudi. Segera mereka mendekati orang-orang Quraisy dan menghasut mereka untuk menuntut dendam atas kaum muslimin.

Untuk itu, salah seorang Yahudi bernama Ka’ab bin Asyraf bertolak ke Makkah. Setibanya di sana ia membacakan syair-syair dan mengulang-ulangnya, hanya untuk membakar emosi kaum Quraisy.

Hasilnya, kaum Quraisy mengadakan pertemuan di Darun Nadwah, dan sepakat dendam mereka untuk menyerang Madinah. Di sana mereka pun menghitung biaya yang akan dikeluarkan pada pertempuran mendatang itu. Biayanya ditaksir mencapai 50.000 Dinar. Sejak itu, mereka mulai mempersiapkan persenjataan dan meminta bantuan dari kabilah-kabilah yang bermukim di sekitar Makkah.

3000 pasukan Quraisy bersenjata lengkap bertolak ke Madinah melalui padang sahara. Abu Sufyan menjadi panglima perang dan Khalid bin Walid memimpin pasukan. Abbas bin Abdul Muthalib yang merahasiakan keislamannya mengirimkan kurir untuk menyampaikan pesan ihwal rencana penyerangan itu.

Setelah menerima pesan dari pamannya, Rasulullah saw segera mengadakan musyawarah yang menyepakati untuk menyambut lawan di luar kota.

7 Syawal tahun ke-3 Hijriah, tepatnya pada hari Sabtu pagi, pasukan kaum muslimin bergerak meninggalkan Madinah menuju gunung Uhud. Atas perintah Rasulullah saw, mereka mendirikan tenda-tenda tidak jauh dari barisan musuh.

Rasulullah saw menempatkan Abdullah bin Jabir bersama 50 orang lainnya yang dilengkapi busur dan anak panah untuk berada di atas bukit. Beliau memperingatkan mereka untuk tidak beranjak dari puncak bukit itu betapapun resiko yang akan menghadang, apakah menang atau kalah dalam peperangan. Setelah itu, pasukan yang membawa bendera Tauhid dan pasukan yang mengusung bendera Syirik berhadapan satu sama lainnya. Pertempuran itu dimulai oleh Abu Umair dari Quraisy.

FATIMAH AZ-ZAHRA AS, PENGHULU WANITA SEMESTA

Dahulu kala, masyarakat memandang perempuan bagaikan hewan atau bagian dari kekayaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Demikian pula masyarakat Arab pada masa Jahiliyah. Mereka senantiasa memandang wanita sebagai makhluk yang hina. Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup.

Ketika fajar mentari Islam terbit, Islam memberikan hak kepada kaum hawa dan telah menentukan pula batas-batasnya, seperti hak sebagai ibu, hak sebagai istri, dan hak sebagai pemudi.

Tentu kita semua sering mendengar hadis Nabi saw yang menyatakan, “Surga itu terletak di bawah kaki ibu.”

Di lain kesempatan, beliau bersabda, “Kerelaan Allah terletak pada kerelaan orang tua.” (Dan perempuan termasuk salah satu dari orang tua).

Islam telah memberikan batasan kemanusiaan kepada wanita dan memberikan aturan, undang-undang yang menjamin perlindungan, penjagaan terhadap kemuliaan wanita dan kehormatannya.

Sebagai contoh yang jelas ialah hijab atau jilbab. Jilbab bukanlah penjara bagi wanita, tapi ia merupakan kebanggaan baginya, sebagaimana kita selalu melihat permata yang tersimpan rapi di dalam kotaknya, atau buah-buahan yang tersembunyi di balik kulitnya.

Sedangkan bagi wanita muslimah, Allah SWT telah memberikan aturan yang dapat melindunginya dan menjaga diriya, yaitu jilbab. Bahkan tidak hanya sekedar pelindung, jilbab dapat menambah ketenangan dan keindahan pada diri wanita tersebut.

Wanita dalam pandangan Islam berbeda secara mencolok dari apa yang terjadi di Barat. Dunia Barat memandang wanita laksana benda atau materi yang layak untuk diiklankan, diperdagangkan, dan bisa diambil keuntungan materinya, dengan dalih memelihara etika dan kemuliaan wanita sebagai manusia.

Pandangan ini benar-benar telah membuat nilai wanita terpuruk dan terpisah dari naluri serta nilai-nilai kemanusiaan. Kita juga menyaksikan keretakan keluarga, perceraian yang terjadi di dalam masyarakat Barat telah sedemikian mengkuatirkan.

Dalam pandangan dunia Barat, wanita telah berubah menjadi seonggok barang yang tidak berharga lagi, baik dalam dunia perfilman, iklan, promosi, ataupun dalam dunia kontes kecantikan.

Teman-teman, marilah kita sejenak menengok sosok teladan kaum wanita dalam Islam yang terwujud dalam kehidupan putri Rasulullah tercinta.

Dialah Siti Fatimah Az-Zahra as.

Putri tersayang Nabi Muhammad saw.

Istri tercinta Imam Ali as.

Bunda termulia Hasan, Husain, dan Zainab as.

Hari Lahir

Fatimah as dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra’ dan Mikraj beliau.

Sebelumnya, Jibril as telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.

Fatimah di Rumah Wahyu

Fatimah as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.

Pada suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as.

Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.”

Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.

Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.

Ummu Salamah ra, istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.

Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.

Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.

Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.

Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.

Pernikahan Fatimah as

Setelah Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”

Kemudian, Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?”

Fatimah as diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda kerelaannya.”

Acara Pernikahan

Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata, “Bangunlah! ‘Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu ‘alallah.”

Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.”

Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.”

Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu”.

Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang berasal dari kaum Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim, telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih bagi Ahlulbait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.

Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan setuju apabila Ali menjual perisainya.

Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini.

Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw.

Hanya Allah SWT saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali dan Fatimah. Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas jalan-Nya.

Fatimah as senantiasa mendukung perjuangan Ali as dan pembelaannya terhadap Islam sebagai risalah ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di barisan utama dan terdepan dalam setiap peperangan. Dialah yang membawa panji Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang senantiasa berada di samping mertuanya, Rasulullah saw.

Fatimah as senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami, juga berupaya untuk meringankan kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul tugas-tugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.

Fatimah as merupakan pokok yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan didikan Al-Qur’an.

Keluarga Teladan

Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama.

Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling menghormati.

Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada suaminya.

Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. “Ya binta Rasulillah”; wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya Amirul Mukminin”; wahai pemimpin kaum mukmin.

Demikianlah kehidupan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as.

Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya.

Buah Hati

Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.

Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.

Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.

Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”

Satu tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan nama-nama tersebut.

Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.

Kedudukan Fatimah Az-Zahra’ as

Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.

Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.

Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.

Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan Zainab as adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.

Kepergian Sang Ayah

Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.

Tidak lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur’an dengan suara yang khusyuk.

Sementara sang ayah hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur’an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.

Rasul saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.

Kepergian Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis.

Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan.

Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.

Imam Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.

Atas dasar itu, Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.

Akhirnya, Sayidah Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.”

Sayidah Fatimah as diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.

Kepergian Putri Tercinta Rasul

Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammadan(r) Rasulullah.

Kerinduan Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.

Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.

Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.

Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.

Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.

Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah … dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu.

“Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku … Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”[]

Riwayat Singkat Sayidah Fatimah as

Nama : Fatimah.

Julukan : Az-Zahra’, Al-Batul, At-Thahirah.

Ayah : Mahammad.

Ibu : Khadijah binti Khuwailid.

Kelahiran : Jumat 20 Jummadil Akhir.

Tempat : Makkah Al-Mukarramah.

Wafat : MadinahAl-Munawarah, Tahun 11 H.

Makam : Tidak diketahui.