Tuesday, December 02, 2008

salam cinta dari negeri kinanah

Seperti biasa, selesai shalat Ashar aku talaqqi Qur'an ke Syekh Qordhawi di masjid Al-Azhar. Sebelum berangkat kusiapkan semua barang yang akan kubawa. Seperti; Mushaf kecil, buku catatan, pensil, ponsel, serta tak lupa pula novel kesayanganku, karya Naguib Mahfouz (Lorong Midaq).

Setelah semua sudah siap kuambil tas, kemudian kumasukkan satu persatu. Satu yang tidak kuikutsertakan ke dalamnya, yaitu; Ponsel. Ponsel itu kumasukkan dalam saku celana. Karena di negeri ini banyak sekali pencopet yang berkeliaran. Di bis, di pasar, di terminal, dan di tempat ramai lainnya.

Kemarin lusa ponsel temanku kecopetan di dalam bis. Waktu masih berada di bis, temanku nyantai-nyantai saja pada pemuda Mesir yang ada di dekatnya. Ia juga tidak mengira kalau pemuda tersebut adalah pencopet kelas kakap. Karena dilihat dari tampangnya tidak mencurigakan, malah bertindak sopan dan murah senyum.

Setelah turun dari bis, ia merasakan ada sesuatu yang kurang. Ia periksa semua isi dalam tasnya, ternyata ponselnya sudah tiada. Kemudian ia pun mengeluarkan semua barang-barangnya, tapi tetap saja hasilnya nihil. Ketika itu ia baru sadar, bahwa tidak semua yang berwajah lembut, hatinya juga ikut lembut. Sifat manusia tidak bisa dilihat dari sisi luarnya, karena itu hanyalah topeng kepalsuan dirinya.

Dari kejadian itulah aku selalu berhati-hati. Bahkan sebelum keluar dari pintu rumah kubiasakan untuk berdoa terlebih dahulu, agar perjalananku mendapat perlindungan dan keselamatan dari segala macam marabahaya. Sehabis berdoa aku berangkat menuju Husein. Sekitar pukul 04:30 waktu Kairo, aku sampai di depan masjid Al-Azhar.

Setibanya di sana kuucapkan salam kepada Syekh Qordhawi. Ternyata beliau telah menungguku sejak tadi. Aku terlambat 30 menit, waktu talaqqi biasanya pas pukul 04:00. Keterlambatanku gara-gara di perempatan Rob’ah macet total, peraturan lalu lintas tidak berjalan lancar, bis yang kunaiki terhambat beberapa menit. Para sopir saling memaki antara yang di sana dan di sini. Hingga suaranya terdengar bising di telinga. Untung tadi aku sempat membawa MP3, kalau tidak, hafalanku pasti sudah kabur.

Sebelum aku memulai talaqqi, terlebih dahulu Syekh Qordhawi menanyakan tentang kesiapanku. Karena beliau menginginkan hafalanku benar-benar sudah di luar kepala. Tidak tersendat-sendat dan putus-putus. Tetapi lancar sesuai dengan tata cara pembacaan Al-Qur'an yang benar. Baru kalau aku sudah bilang siap, maka beliau memulainya dengan membaca Basmallah.

Talaqqi pun berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Aku merasa bahagia karena telah selesai mempraktekkan hafalan Al-Qur'an sebanyak 3 Juz. Beliau juga tersenyum bangga melihatku sempurna membaca dan menghafal Al-Qur'an sesuai kaidah.

Kemudian aku pamitan dan pulang menuju rumah di Hay 'Asyir. Maghrib aku sampai di Bawwabah. Sesampainya di sana aku tidak langsung menuju rumah melainkan mampir dulu di masjid As-Salam. Di sana aku shalat Maghrib, sambil lalu mengulang kembali hafalanku. Setelah mantap dan melekat erat di otak, aku beranjak ke luar dari masjid.

Di luar aku merasakan kedamaian. Pikiran pun jadi tenang. Lalu sambil berjalan kunikmati pesona rembulan yang bersinar terang. Sinarnya yang memutih menerangi langit Kairo yang kelam. Kerlap-kerlip bintang-gemintang berpijar seperti lampu kapal. Sang awan mengitari indahnya panorama negeri Kinanah.

Di situlah hatiku bertasbih memuja-muji kebesaran sang Ilahi. Sepanjang jalan mulutku tiada henti melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an. Hingga tak terasa jam 19:20 aku sampai di depan pintu rumah. Sebelum masuk kupuaskan diri memandang wajah sang rembulan. Bias-bias sinarnya menyejukkan palung hati. Udara malam bertiup sepoi-sepoi. Sementara lolongan anjing mengalun bergantian mengisi kesunyian. Sepertinya, ia juga merasakan keindahan malam ini.

Cukup lama aku terpaku memandang pesona rembulan. Tiba-tiba nada pesan ponsel berbunyi di saku celana. Kuambil, kemudian kubuka sms yang masuk dan kubaca. Tidak sampai selesai pesan itu kubaca, aku langsung lari masuk rumah. Sesampainya di dalam, kuambil jaket dan sedikit uang sisanya bayar sewa rumah.

Ketika hendak menutup pintu, Romli datang menghapiriku.

"Saiful, mau kemana lagi. Baru saja masuk ngeloyor lagi keluar. Sibuk banget, ada acara apa sih. Kok sampai buru-buru gitu?" Tanya Romli dengan raut muka keheranan.
"Eh, kamu Rom. Gak ada apa-apa kok. Hanya ingin keluar saja. Emang kenapa!" Aku menimpalinya.
"Oh, tak kirain ada sesuatu yang membuatmu sampai terburu-buru seperti ini." Balasnya.
"Udah makan belum? Kalau belum, makan dulu sana. Udah aku sisain tuh!" Lanjutnya penuh perhatian.
"Makasih Rom. Aku masih kenyang nih! Berangkat dulu ya..." Tanpa menunggu jawaban darinya, aku beranjak menuruni tangga. Sesampainya di bawah, Romli memanggilku lagi.
"Ful, hati-hati."

Kata-katanya yang sangat perhatian itu membuat hatiku ngilu telah membohongi dirinya. Menyembunyikan sesuatu yang semestinya aku ceritakan. Apalagi aku hidup serumah dengannya. Sebagai seorang sahabat yang baik tidak seharusnya aku menutup-nutupi penyakit yang menimpa kekasihku.

Tapi malam ini, ketika rembulan menyemburatkan sinarnya yang memutih. Aku tidak bisa menceritakannya. Entah kenapa, aku tak tahu!

Hanya lambaian tangan inilah yang mengisyaratkan rasa terima kasihku yang terdalam.
"Semoga kebaikannya mendapat balasan yang agung dari-Nya."Bisikku dalam hati.

Jalan setapak kulalui, gang-gang kulewati. Untung malam ini ada rembulan yang menyinari langit Kairo. Kalau tidak, maka jalan setapak dan gang-gang itu sudah pasti banyak perampok yang menunggu orang-orang asing.

Tapi malam ini para perampok, penyamun, dan orang-orang berkulit hitam tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan. Mereka larut menikmati indahnya rembulan di langit Kairo. Bahkan mereka pun ikut serta berpesta foya bersama para gelandangan, anak-anak jalanan, serta penduduk sekitar. Ada yang berpuisi, bernyanyi, dan ada juga yang menari-nari.

Sungguh pesona rembulan ternyata mampu mengetuk pintu hati manusia. Yang jahat menjadi baik. Yang baik tambah menjadi baik. Indah...!

***

Persimpangan jalan rumah megah nan mentereng itu sudah kelihatan. Sebentar lagi aku akan sampai di rumah sang kekasih. Kupercepat langkah kaki, sesekali berlari. Risaunya pikiran terus mengusik ketentraman yang baru kurasakan. SMS itu terus memburu jejak kaki agar cepat-cepat sampai melihat kekasih yang sedang sakit.

Setelah sampai di depan pintu rumahnya, tanganku hendak memencet tombol bel. Namun tiba-tiba suara adzan Isya' berkumandang dengan lembut nan syahdu. Takbir dan tahmid menusuk lubuk hatiku. Riasaunya pikiran hanyut terbawa lantunan itu, dan seketika menjadi tenang. Sinar rembulan menerpa wajah senduku. Dan aku larut menikmatinya.

Tadinya aku terburu-buru ingin melihat kondisi sang kekasih, tetapi suara adzan telah menenggelamkan niat awalku. Akhirnya tanganku gagal memencet tombol bel yang di pajang dekat pintu rumahnya. Suara batinku mengajak diri untuk shalat berjema'ah terlebih dahulu. Aku pun beranjak menuju masjid.

Sesampainya di halaman masjid, aku menuju hammam terus berwudlu. Selesai, aku masuk ke dalam masjid. Di dalam para jema'ah sudah menunggu sang Imam. Dari sudut ruangan sang Imam keluar dengan jubah putih, sorban merah. Kelihatan dari jenggot dan rambutnya yang putih menandakan orang tua itu sudah berumur tujuh puluhan tahun. Tapi wajahnya tetap tampak berseri.

Setalah sang Imam berada di baris paling depan, serentak para jema'ah berjajar rapat. Membentuk shaf. Salah satu diantaranya ada yang beriqomat. Shalat Isya' pun dimulai. Aku berada di shaf ketiga. Pada raka'at keempat nada panggilan tiba-tiba berbunyi. Aku tersentak, namun kubiarkan begitu saja.

Selesai shalat, seperti biasa aku berdoa meminta ampunan atas segala khilaf yang ada. Cukup lama aku bersujud sampai tak terasa air mata menetes membasahi sajadah. Cucuran air mata terhenti ketika nada panggilan berbunyi lagi. Kuambil, dan kulihat siapa orang yang sedang menelponku. Mataku terbelalak, ketika kulihat panggilan tersebut datang dari satu orang yang tadinya juga mengirim SMS kepadaku.

Ketika hendak kuangkat, panggilannya sudah dimatikan. Sepertinya aku terlalu lama untuk menjawab panggilannya. Saat itu juga perasaanku kembali kacau. Pikiran terus berkecamuk.
"Ada apa gerangan malam ini." bisikku dalam hati. "Kenapa orang itu terus menghubungiku. Jangan-jangan...?" Lanjutku dengan perasaan bimbang.

Tanpa berpikir panjang lagi aku keluar dari dalam masjid. Kupercepat langkah kaki, sesekali berlari sepanjang jalan yang kulewati. Orang-orang pada melihatku keheranan. Mungkin aku dikira orang sinting. Karena tidak seperti biasanya jalan setapak yang kulalui ada seseorang lari tergesa-gesa. Baru kali ini aku yang lari terbirit-birit seperti sedang dikejar anjing.

Aku tidak mempedulikan keadaan di sekitar, karena aku ingin cepat-cepat sampai di rumah sang kekasih. Aku takut telah terjadi sesuatu pada dirinya. Karena saat ini dia lagi sakit parah. Apalagi orang itu sudah beberapa kali mencoba menghubungiku.

Dari sebrang jalan, aku melihat ambulans berada di depan rumahnya. Di sekelilingnya banyak orang-orang Indonesia kelihatan pada berwajah sedih. Sepertinya sudah terjadi sesuatu dalam rumah itu.

"Benarkah kekasihku...," tiba-tiba mulutku tersumbat. Dari bawah sinar lampu neon aku melihat sosok tubuh Romli berdiri di depan pintu rumah kekasihku. Wajahnya yang selalu ceria sekarang malah tampak murung.

Perasaanku tambah kacau balau. Di benakku wajah sang kekasih terlintas seperti kunang-kunang melintasi bias kelam. Pikiran pun tambah tidak tenang. Kupercepat langkah kaki, sesekali berlari, hingga sampailah di halaman depan rumah sang kekasih.

Setibanya di sana, Romli datang menghampiriku sambil berbisik lirih. "Ful, kamu tenang ya. Dan tabahkan hati kamu. Si..." Belum selesai bicara, dia menangis dan memelukku.
"Eh, ada apa ini. Kok tiba-tiba kamu dan teman-teman ada di sini, menangis lagi. Mulai sejak kapan kamu jadi cengeng seperti ini?" Tanyaku dengan nada suara tinggi. Hingga orang-orang Indonesia yang berada di situ pada menatapku iba.

Kemudian, seseorang nyeletuk hendak memberi tahu apa yang tengah terjadi. "Mas Saiful, Nayla sudah..." Tapi suara itu terpotong.
"Hei... Diam kamu!" Bentak Romli pada orang yang hendak memberitahuku. Orang itu pun tidak berani meneruskan kata-katanya, kemudian ia mundur ketakutan melihat wajah Romli yang naik darah.

Setelah itu Romli bersuara lembut kepadaku.
"Ful, sahabatku yang terbaik," pujinya. "Sabar ya... Kekasihmu telah berpulang ke Rahmatullah. Tadi selepas adzan Isya' meninggal dunia. Katanya kamu sudah ditelpon oleh teman serumahnya, tapi gak ada jawaban." Jelasnya, seraya tangan kekar itu menepuk-nepuk pundakku.
"Aku dan semua teman-teman di sini ikut berduka cita atas kematian kekasihmu, si Nayla." Sambungnya penuh perhatian.

Suara Romli terdengar seperti petir menyambar telingaku, menyayat hatiku, mengelupas kulit luarku, mengiris sendi urat nadiku. Perih. Pedih.

Entahlah, walau petir telah memporak-porandakan batinku, membakar hangus jiwaku. Aku tetap tidak percaya akan hal itu, hingga aku pun memberontak penuh amarah.
"Rom, kamu jangan main-main, kekasihku masih hidup. Dia sekarang masih menunggu sekuntum bunga mawar ini." Ucapku dengan mata melotot tajam.

Lalu bunga yang aku pegang, kuperlihatkan pas di depan matanya. Namun Romli tidak bergeming melihat ulahku itu. Mungkin aku dikira shock mendengar berita yang disampaikannya. Tiba-tiba dia memelukku untuk kedua kalinya. Kali ini pelukannya erat sekali. Terasa air matanya menetes membasahi pundakku.

"Rom, lepaskan...! Aku mau menjenguk kekasihku. Kasihan sejak tadi dia menungguku." Teriakku. Tangan kekar itu pun lepas dari tubuhku. Kemudian aku berbalik arah hendak masuk ke rumah sang kekasih.

Tapi saat itu juga aku terpengarah, bola mataku terbelalak, nafasku memburu, dadaku berdegub kencang, pikiranku sesak, kedua kaki pun menjadi lentur. Dari dalam rumah kekasihku muncul beberapa orang yang memikul keranda. Di barisan depan orang yang membawa ambulans, sedang di barisan belakang teman-temanku yang dari Malaysia. Di dekatku Romli beranjak membantu memikulnya.

Melihat kenyataan itu aku pun lemas tak berdaya. Semua kekuatan dalam tubuhku runtuh. Kelopak mataku nanar memandang tubuh yang terbungkus kain kafan. Seolah-olah tidak percaya jika itu adalah kekasihku. Tak terasa bunga mawar yang ingin kuberikan kepadanya lepas dari genggaman tanganku. Jatuh di dekat kakiku.

Dengan cepat bunga itu diambil seorang perempuan yang berjalan mendekatiku. Perempuan itu adalah teman karib kekasihku, namanya Nesha. Dialah yang SMS dan hendak menelponku tadi.

Nesha berkata kepadaku. "Mas Saiful, aku turut berduka cita atas kematian kekasihmu, Nayla. Semoga amal perbuatannya diterima di sisi-Nya. Dan bunga mawar ini akan aku letakkan di kamarnya. Karena dia selalu menyimpannya. Bahkan dia memajang setiap bunga-bunga yang kau berikan kepadanya."

Mendengar ungkapan itu hatiku perih. Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Jiwaku terkoyak, batinku tenggelam dalam tangis. Mulut hanya diam membisu. Mata tak kuat memandang tubuh yang terbujur lurus di dalam keranda itu. Wajah tertunduk lusuh meratap sedih.

"Mas Saiful... Tadi sebelum meninggal, dia menitipkan kertas kecil ini kepadaku. Terus dia berucap lirih; 'Berikan kertas ini pada Aa’ Saiful. Dan bilangin jangan bersedih hati'. Setelah berkata demikian dia tersenyum, kemudian dua bola matanya tertutup rapat." Ungkap Nesha, menirukan gaya bahasa yang disampaikan oleh kekasihku.

Mendengar pesan itu sedih dan tangisku reda seketika. Entah kenapa, seperti ada jemari-jemari halus nan lembut yang sedang membelaiku. Mengelus-elus rambut tipisku. Terasa memberi kedamain dan ketentraman dalam batinku. Kemudian wajahku terangkat, dan Nesha yang sejak tadi berada di dekatku memberikan kertas itu. Kuterima, dan ia pun pergi mengantar jenazah kekasihku.

Kini tinggal aku sendirian di tempat itu. Jejak-jejak kaki yang beriringan memikul jenazah kekasihku lambat laun terdengar menjauh. Jauh dan jauh...

Sorot mataku tak mampu lagi menatapnya. Lenyap dan tidak kelihatan. Hanya bayang-bayang semu yang masih menempel di benakku. Kalimat-kalimat tauhid yang dibaca oleh orang-orang yang memikul dan mengantar jenazah kekasihku masih terngiang di telingaku. Secara bersamaan mulutku pun ikut menirukannya.

Sehabis membaca kalimat tersebut, kupandangi kertas kecil itu.

Dengan linangan air mata, tangan yang gemetar, dan hati yang teriris luka, kubuka pelan-pelan isi suratnya.

"Aa', Setiap yang ada akhirnya akan tiada. Begitu pula dengan kita sebagai manusia, nantinya akan kembali berselimut tanah. Di dunia ini tidak ada yang abadi, cepat atau lambat semua yang hidup akan mati. Dan orang mati tidak butuh tangisan, tetapi yang dibutuhkan hanyalah keikhlasan, ketabahan, dan doa. Jadi relakanlah kepergianku ini, biar aku bisa tenang di sisi-Nya." Ttd: Kekasihmu, Nayla.

Selesai membaca surat itu, mukaku tengadah ke atas. Kulihat awan yang putih, kupandangi bintang yang berpijar, kusaksikan rembulan yang bersinar. Tiba-tiba wajah kekasihku muncul di antara awan, bintang, dan rembulan.

Di langit Kairo itulah kutitipkan salam pada dirinya.

"Neng... Aa' telah merelakan kepergian Neng. Semoga Neng tenang di alam sana."

***

Itulah nasib, ditulis takdir di catatan ajal manusia. Kehidupan seperti puing terbakar, jadi lelatu melayang jauh. Terhempas ke mana tak tahu. Ada kalanya bagai butiran tasbih, untaiannya lepas berderai, kemudian sangsai.

Selamat tinggal semua yang bernama kenangan...

Rabea El-Adawea, 04 Maret 2007

Keterangan:
(1). Talaqqi : Memperaktekkan hafalan Al-Qur'an.
(2). Husein : Nama Sayyidina Husein yang dijadikan nama sebuah daerah.
(3). Rob'ah : Nama Robi'ah Al-Adawiyah yang juga di jadikan nama daerah.
(4). Hay 'Asyir : Daerah yang banyak di diami oleh orang-orang Indonesia.
(5). Bawwabah : Sebuah tempat yang letaknya berada di kawasan Hay 'Asyir.
(6). Hammam : Kamar mandi. Orang-orang Mesir nyebutnya demikian.
(7). Masjid As-Salam : Masjid yang dikenal dengan masjidnya orang-orang Indonesia.
(8). Masjid Al-Azhar : Masjid pertama yang didirikan oleh Universitas Al-Azhar.
(9). Negeri Kinanah : Julukan negara Mesir. Seperti negri Seribu Menara, negri Pyramida, dll.

salam cinta dari negeri kinanah

Coretan Kecil Dari Negeri KinanahSep 26, '06 2:19 PM
for everyone
Start: Sep 25, '06 3:00p
End: Sep 25, '06 4:00p
Cerpen Yang Dipersentasikan Di SBI, 11 September 2006

Musim Semi Ditengah Perjalanan *

Oleh : Wafie el-Majesty *


Senja semburat jingga telah mengukir kilauan permata diakhir siang. Tabir-tabir langit menjadi suram menyelimuti bumi. Bias mentari menutupi cadar ruas pelangi. Awan berkumpul menjadi satu. membentuk kabut hitam mengundang gelapnya kegelapan. Malampun hadir dengan senyum mesranya. Bawa sekeranjang mimpi pada sekeping hati yang dirundung sedih nan gelisah.

“ Duh… angin, kau hadir membawa kesejukan di malam ini “. Desahku.

Kemerlip bintang bergantungan diangkasa raya. Memancar bak elok percik air ditengah samudera. Sabit purnama melukiskan hati pada ketangkasan rupanya, menantang pekat dalam kebiusan petang. Sunyi mendendangkan kebisingan dikelopak malam, menghabiskan petang diujung siang. Sepi datang menjadi teman hati dalam merangkai arti kesunyian di malam hari.

Perjalanan malam terus mengukir sejarah ditubuh mentari. Melibas mistery dipangkuan sunyi. Sepi membungkam diri dalam kerajaan mimpi. Mengusik palung hati dalam pojok penantian malam ini.

“ Indahnya panorama di malam petang…! “ sebuah ilusy yang berkutat dalam imaginasi.

Lagi-lagi aku sendiri. Di saat payung malam sunyi berteman sepi. Hati menjadi sedih, ketika secercah kerinduan memanggil pujaan hati di bumi pertiwi.
Entah kenapa hati menjadi sedih. Kala auranya kembali terpancar dipelopak mata. Akankah sekeping kerinduan terus bertalu mengajak ingin bertemu, ataukah keagungan cintanya membuat jiwaku selalu memanggil namanya?

“ Oh malam...!!! “. Rintihku di saat keheningan menyelumuti diri.

Aku tak tahu, tapi bantu aku. Untuk hadirkan dia dalam pelukan mesramu, agar sekeping kerinduan ini menjadi obat hati.
Aku ingin bercumbu dengannya. Seperti bercumbunya purnama dengan sang bintang ditengah kegelapan malam.
Aku ingin menobatkan kesedihan ini diatas mangkok sejarah. Agar kesedihan ini menjadi ukiran indah dalam peradaban dunia.

***

Ayam berkongkok di atas pohon palem. Menandakan tibanya sang fajar akan menjemput siang. Mentari pagi-pun tersenyum karena dapat meniduri sang malam diujung petang. Kembali membawa dunia pada cahaya yang terang menderang. Sinarnya menghias keseluruh pelosok bumi. Menerangi sisa-sisa kegelapan yang ditinggal oleh sang malam.

Kicau burung bernyanyi dengan riang. Seolah sejak tadi malam ia menunggu hadirnya bias-bias mentari di pagi hari.
Bunga mulai pada bermekaran diterpa sinar mentari. Baunya menerawang keseluruh isi bumi. Semua penghuni bumi pada terpesona dengan kedatangan musim semi menghias pagi ini. Anak adam pada kerepotan melukis keindahan musim semi. Semua mencatatnya pada pena sejarah yang tak akan luntur dalam perjalanan dunia.

“ Musim semi ditengah perjalanannya datang dengan sejuta ke-elokannya “.

Dan mentari-pun beranjak siang. Kini cahaya telah sedikit panas menyelimuti bumi.
Namun tidak terlalu menyengat seperti di musim panas. Dimana kala itu kepala anak adam terasa seperti dipanggang di atas tungku api yang membara.
Tapi alangkah senangnya, cuaca saat ini terasa begitu adem ayem. Udara serasa sepoi-sepoi menghisap keringat di dada. Membelai manja keletihan raga.

Manusia pada berhulu balang, mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga. Ada yang ke kantor, ada yang mengajar di sekolah dll. Sedangkan diriku hanya bisa merasa akan hiruk pikuk nafas manusia, sendu sedan yang bergemuruh di trotoar.
Pikiran terus saja terbayang-bayang raut wajah ayu nan pesona disebrang sana. Mengajak diri untuk bertaut pada semi yang beranjak mengisi hari.

“ Mungkinkah asam di gunung, garam di lautan akan bercampur dalam satu periuk? “. Tanyaku pada semi yang berjalan mengiri matahari menerangi bumi.

Tak terasa lamunanku pada kecantikan gadis yang kupuja saat ini, mengantarkan matahari perlahan membentuk sapuan warna di langit barat. Salam terakhirnya di hari ini untuk penghuni bumi. Barangkali ia sudah lelah berkelana dan ingin tidur nyenyak dalam belaian mesra sang juwita malam.

***

Malam mengendap di penghujung gelap...
Kini aku sendirian diterpa keremangan sinar bulan. Bayangan pepohonan membuat suasana jadi seram. Untung ada beberapa titik bintang di langit petang membentuk percikan sinar keteduhan. Dan sang malaikat yang mengusir setan dengan panah-panah kebesaranNya.

Udara malam ini berhembus dengan sepoinya. Bawa kesejukan pada dunia yang tersiram oleh hawa panasnya matahari. Kini malam seperti menyulam lautan es. Kesejukan udaranya membuat jiwa-jiwa yang terbakar busur asmara, menjadi padam oleh jubah kesejukan udara malam musim semi.

Hawa panas telah berganti kesejukan. Semilirnya angin menjadi kipas raksasa. Mengitari seluruh jagat raya. Mengisi ruang kosong dalam hamparan fatamurgana. Menghempas ranting-ranting cemara tuk bergoyang menikmati keindahan di malam musim semi ini.


Sedang diriku yang tidak bisa jauh dari keanggunan sikapnya. Membuatku larut dalam dekapan kasih sayangnya. Dia telah menjadi musim semi ditengah perjalananku menggapai sebuah impian hati.
Jika dia didekatku hidup ‘kan menjadi lebih berarti. Dan kesehari-harianku akan terus bersemi. Seperti berseminya bunga melati diterpa sinar mentari pagi. Seperti berseminya musim semi ditengah perjalanannya mengisi ruang bumi.

Dingin telah bergulir merajuk semi yang membentuk dimensi dalam palung hati. Lantaran kekasih hati terlalu jauh mata untuk memandang. Bercumbu dalam dekapan rindu. Hanya pekat di dada, membawa sekeranjang asmara pada si dia yang kucinta. Ku terlelap saat semi mengajakku berjalan menapaki hari dipangkuan mentari pagi. Menikmati udara sejuk ditepian sungai nil.

***

“ Nil yang binal “. Begitu dalam cerpen yang pernah kubaca.
Dan tidak tahu siapa pengarangnya karena aku lupa. Tapi aku bangga karena kepiawiannya membuat kandungan makna menjadi kata-kata indah.
Perpaduan katanya, membawaku pada ke-elokan rupa airnya yang terus mengalir kesemenanjung muara. Kejernihannya memantulkan keteduhan bias purnama. Gemerciknya berpadu dengan kemerlip bintang di angkasa raya.

“ Wahai nil yang binal....”. panggilku dengan meniru kata dalam sub judul cerpen itu.

Mampukah engkau membawa surat cintaku dalam genangan airmu yang mengalir ke sudut taman impian. Seperti halnya kau bawa hanyut peti Musa pada istri sang raja. Agar kesedihan yang terus bertalu mengusik palung hati. Berganti nyanyian musim semi ditengah perjalanannya menjelajahi bumi. Dengan dihias remang purnama di malam petang. Dan warna-warni pelangi dalam bias mentari di pagi hari.

“ Karena ku ingin, sungai nil adalah muara bagi pendayung membawa sepucuk rindu buat pemilik wajah ayu “.
“ Karena ku berharap, pengembaraanku di tengah perjalanan musim semi sebagai perahu layar mengarungi dermaga orang yang kucinta “.
“ Agar aku dengannya, menjadi dua sepasang merpati perpadu kasih digulatan warna pelangi “.

“ Oh Tuhan...mungkinkah itu ‘kan bersemi. Seperti berseminya musim semi ditengah perjalanannya di bumi kinanah ini “. Desahku, menutup semburat petang diujung malam.




Larut dalam kesedihan, kala musim semi ditengah perjalan
30 Agustus 2006


salam cinta dari negeri kinanah

Terik panas matahari membakar bumi para Nabi. Memanggang bangunan-bangunan yang berdiri kokoh dan tegak, bagaikan hamba-hamba Allah yang terpanggang di dasar tungku neraka. Hanya diam tak bergeming pasrah. Jalan-jalan di ibu kota kairo menciptakan fatamorgana, menjadikan jalan-jalan itu bagaikan tergenang air kemudian menguap keangkasa.

Ramadhan kali ini jatuh pada musim panas. Tiga tahun sudah aku bertemu bulan Ramadhan di negeri kinanah ini. Bulan Ramadhan di negeri fir'aun terasa hidup. Hamba-hamba Allah yang beriman khusyuk beribadah kepada-Nya. Para pemburu ridho Allah memenuhi masjid mendekatkan diri kepadaNya. Para pecinta al-Qur’an melantunkan ayat-ayat indah dan menyelami maknanya. Suasana dan lingkungan yang benar-benar mendukung dalam beribadah.

Namun itu semua tak membekas sama sekali dihatiku. Tidak ada yang istimewa dalam pandanganku. Semua itu hanyalah hak dan kewajiban seorang hamba kepada Dzat yang di imaninya. Bagiku hanya ada dua pilihan, yang taat silahkan mematuhi perintah dan larangan-Nya sedang kan yang ingkar silahkan melanggar aturan yang sudah ada.

***

"Dhan bangun, ayo…! Sahur." Sahabatku ridwan membangunkan aku. Aku pun bangkit kemudian melihat jam bekker di meja belajarku. Jam sudah menunjukkan pukul 03.05 pagi waktu yang tepat untuk sahur, tidak terlalu cepat ataupun terlambat. Kamar mandi tujuan utamaku. Membasuh muka agar sedikit lebih segar kemudian makan sahur. Perut sudah terasa lapar. Menu sahur yang memikat selera makan, ada gulai ayam yang mengelitik lidah, ditemani tumis daun sawi dan gorengan bakwan. "Aah…kenyang wan. Hari ini enak banget masakanmu wan," aku memuji ridwan sambil menghisap sebatang rokok ditanganku. "Halah-halah…make muji segala kamu Dhan. Kan masakanku emang enak dari dulu. He he he," saut Ridwan tersenyum.

"Wan hari ini aku mau ke pasar hussain, ikut gak?," aku mau nyari oleh-oleh untuk keluarga. "Lho kamu mau pulang Dhan?," tanya Ridwan kaget. "Gak lah wan. Temen aku satu kampong, itu loh si Ghufron mau pulang, karena deket ya sekalian lah nitip." Aku pun berlalu menuju kamar. "iya deh nanti aku ikut Dhan, tapi bangunkan aku yach… habis subuh aku mau tidur lagi."

Aku belanja beberapa helai kaos untuk adek-adeku, dan juga tasbih koka buat orang tuaku. Di hussain aku tidak terlalu lama berkeliling mencari barang yang aku butuhkan. Aku kasihan dengan Ridwan. Ia terlihat capek. Cuaca hari ini memang panas. Kami berdua melepas lelah di masjid Sayyidina Hussain sekalian menunggu waktu dzuhur . "Dhan…setelah selesai sholat, kita kemana lagi?," tanya Ridwan. "Kita langsung pulang aja Wan, supaya terkejar waktu berbuka."

Akhirnya kami sampai dirumah. Ridwan langsung saja ke kamar mandi mencuci muka mendinginkan kepala yang rasanya sudah mendidih kepanasan. Kemudian ia tergeletak di kamar kelelahan. Sementara itu, aku masuk ke kamar. Kemudian terlihat Ridwan tertidur. Aku menuju dapur membuka lemari es. Lalu minum. "Ramadhan, kamu gak puasa lagi? Sampai kapan seperti ini terus?," hardik suara hati kecilku. Aku pun tak menggubris teguran itu. Melakukan apapun sesuai kehendak hati. Dalam hati ku, hanya kegersangan jiwa yang aku rasakan. Tidak seorang pun yang tahu apa yang terjadi denganku. Semua ini merupakan reaksi atas kekecewaanku dalam menjalani hidup.

***

Tiga tahun sudah, aku melewati bulan suci Ramadhan tanpa berpuasa. Menjalankan sholatku tanpa keikhlasan. Semua yang tampak aku lakukan hanyalah formalitas belaka. Dihadapan sahabat-sahabatku, aku sosok yang ahli ibadah dan taat pada perintah-perintah-Nya. Mereka tertipu oleh penampilan luarku. Akupun menghisap sebatang rokok, karena Ridwan masih tidur, dia tidak akan tahu. "Ah termenung lagi.. aku harus masak udah jam setengah lima," ketus batinku. Aku bergegas segera ke dapur memulai masak untuk berbuka puasa nanti.

Malam ini aku masih bertahan ikut tarawih. Walaupun itu terpaksa bagiku. Hanya sekedar ikut menyemarakkan jamaah tarawih. Mendengarkan tausiah-tausiah dijeda empat rakaat tarawih bagaikan angin lalu tak membekas dalam hatiku. Segala nasehat dan ucapan yang baik, hawa nafsuku terus menentangnya.

Aku berjalan menelusuri lorong gelap. Hanya hitam kelam yang tertangkap oleh mata. Berjalan perlahan-lahan mengikuti kehendak hati, tanpa tujuan. Beberapa kali aku terjatuh, entah benda apa yang selalu menghadang langkah pelanku. Bruuuk…! Ini yang ketujuh kali aku terjatuh hingga wajahku mencium tanah. Aku tersiksa sekali berjalan ditengah kegelapan. Mataku menangkap sebersit cahaya putih. Ternyata cahaya itu dari seorang kakek renta yang menggunakan jubah putih. Ia berjalan dengan sebuah tongkat untuk menopang tubuh rentanya ditangan kanan.

Kakek itu berjalan lambat sekali. Ada harapan bagiku, untuk sebagai teman satu perjalanan menelusuri lorong gelap ini. aku berlari kecil mengejar kakek itu. Namun, sampai tak kunjung jua aku dapat mengejarnya. Sampai aku merasa lelah. Aku berteriak memanggil kakek itu. Aku menangis memohon untuk tidak meninggalkanku sendirian. Aku meronta-ronta memelas. Tubuh sang kakek hilang ditelan kegelapan. Hingga sayup…sayup aku mendengar suara memanggilku.

"Dhan..Ramadhan…! bangun… bangun…, kamu kenapa?," tubuhku digoyang-goyang oleh Ridwan. Aku bangkit kemudian terdiam. "Kamu kenapa menangis Dhan?! Teriak-teriak dan meronta seperti itu?" Aku masih terdiam. Memikirkan apa yang baru saja aku alami. Tubuhku terasa lelah. Air mataku basah membanjiri pipiku. Hanya sebuah mimpi namun begitu nyata di hadapanku. "Minum dulu Dhan, nih..," ridwan menyuguhkan segelas air putih. "Kamu mimpi buruk yach?," tanya Ridwan. "Nggak tau Wan…aku juga masih bingung, kenapa mimpi seperti itu.. rasanya ngeri sekali wan," aku masih merinding penuh rasa takut.

Malam selanjutnya, aku pun bermimpi lagi. Kali ini aku mampu mengejar kakek itu. Kemudian menuntun aku menyelusuri lorong gelap. Hingga sampailah di ujung jalan yang bercabang dua. "Anak muda… aku hanya bisa mengantarmu sampai disini." Kakek itu diam sejenak. "Anak muda… kamu mempunyai dua pilihan. Meneruskan perjalan ke kiri atau ke kanan. Nasibmu ditentukan oleh pilihanmu sendiri," kakek itu berpesan. Aku memutuskan memilih jalan kekiri dan terus menelusurinya. Aku tidak mendapatkan apa-apa di penghujung jalan ini. Aku pun kembali. Kemudian aku mengikuti jalan cabang ke kanan. Namun, aku hanya menemukan jalan buntu. Kemudian aku terduduk lesu. Lelah. Pasrah tiada harapan dapat keluar dari tempat yang gelap gulita ini. Hanya kegelapan di sekeliling ku. Aku baru sadar kemana kakek itu pergi berpisah denganku? Ia meninggalkanku sendirian disini. Keherananku lenyap berganti rasa takut yang menyergap jiwaku. Aku semakin menggigil ketakutan. Tak dapat keluar dari lorong gelap ini.

"Dhan…! Ramadhan…! Ramadhan…! Bangun, bangun." Aku dikejutkan oleh teriakan orang yang memanggil ku. Seketika akupun bangkit. Wajahku bercucuran keringat dingin. Suara itu ternyata suara Ridwan yang membangunkan aku.

***

Aku duduk termenung. Aku ingat kembali kejadian-kejadian dalam mimpi. Keadaan lorong gelap yang panjang, kemudian terdapat dua cabang lorong. ada sesuatu yang berbeda ketika aku memasuki dua lorong itu. Aku merasakan ini menggambarkan suasana hati ku saat ini. ketika aku memasuki lorong cabang kiri hatiku terasa nyaman dan tenang ketika aku memasuki lorong kanan, jiwaku terasa gersang. Dendam dan amarah yang bercampur dengan kegelisahan hati, kegersangan jiwa. Aku segera mengambil air wudhu, kemudian menunaikan sholat malam. Aku mencoba meresapi setiap bacaan dalam sholatku. Kemudian aku duduk berdzikir. Merenung kembali kejadian masa lalu yang membuat aku memusuhi-Nya. Hanya karena seorang wanita yang aku cintai, dikehendaki kembali kesisiNya lebih awal. Aku tidak terima dengan kenyataan hidup ini. Baru aku sadari, aku marah kepadaNya dan juga memusuhiNya merugikan diriku sendiri. Hatiku mati, jiwaku tandus. Hanya bagaikan mayat hidup yang berjalan diatas permukaan bumi.

"Wah..wah..wah… Dhan, dirimu hari ini terlihat cerah banget sih," puji Ridwan.

"Wangi lagi," sambungnya.

"Ah masak gitu wan, bukannya aku tiap hari tetap seperti ini?"

"Dhan… jangan-jangan kamu dapat anugerah lailatul qadar yach."

"Ah sembarangan kamu ngomong Wan, masak orang kayak aku bisa dapat kayak gitu. Emangnya tadi malam 17 Ramadhan yach?."

"Ya ampun Dhan…ya iyalah masak ya iya dong". Jawab ridwan tersenyum.

Dalam hatiku berkata, "apa benar yang dikatakan Ridwan?" Memang pada hari ini hatiku terasa lebih leluasa. Lebih segar dan hidup. Serasa tanpa ada beban yang menghimpit. Aku menjalankan puasa hari ini karena berharap mendapatkan ridho-Nya. Rasa kesal, marah dan dendam ku kepada-Nya sama sekali tidak terasa. Hanya tasbih, tahmid dan takbir yang mengalun-alun dalam ruang hatiku.

Ada yang mengganjal dalam hatiku. Siapa kakek berbaju putih yang dua hari ini muncul dalam hatiku. Aku tidak mengenal kakek itu. suara kakek itu sangat istimewa sekali bagiku. Nada bicaranya yang halus namun menggetarkan. Terima kasih kakek, karenamu aku sadar. Bahwa selama ini aku menzalimi diriku sendiri. Dan mendurhakai-Nya.

***

Ridwan mengajak aku ke attabah untuk mengeposkan surat. Cuaca hari ini alhamdulillah tidak begitu panas. Setelah urusan Ridwan selesai kami sempat berkeliling dipasar. Hanya sekedar melihat-lihat. "Wan…ayo kita pulang, nanti nggak dapat mobil loh ke asyir." Aku menegur ridwan. "Iya…dhan. Nggak terasa sudah sore. Ayo… kita ke mahattah."

Kami berdua segera menuju kemahattah. Sore ini jalan disekitar pasar rame sekali kendaraan berlalu lalang. Aku agak takut untuk menyeberang. Ridwan membuka jalan untuk menyeberang. Ketika berjalan menuju ke mahattah, tiba-tiba aku terdiam. Mataku menabrak sesuatu yang membuat aku terperangah. Sosok tua renta berjemur ditengah panasnya matahari. Menjajakan dagangannya. Ia berjualan mainan anak-anak. Yang sedikit anak bisa menyukai mainan itu pada zaman sekarang. Dengan sabar ia menunggu pembeli menawar dagangannya. "wan tunggu sebentar yach…" aku bergegas mendekati kakek itu. ketika ia melihatku, senyumnya menyambut kedatanganku. Dia pun menawarkan dagangannya kepadaku. Aku membeli beberapa mainan dari kakek itu. ketika aku membayar. "Terima kasih kakek…"aku ucapkan kepadanya. Kemudian kakek itu tersenyum lagi, "Istiqamah" pesan itu mengalir dari bibir sang kakek dengan lirih. Akupun meninggalkan kakek itu. "Alhamdulillah ya Allah… Engkau pertemukan aku dengan kakek itu."ucap syukurku. "lindungilah ia dibawah perlindunganMu." doaku dalam hati.

Sisa Ramadhan pada tahun ini tidak akan aku sia-siakan. Teriknya matahari yang memanggang negeri seribu menara ini tidak meluluhkan niat dan ketulusanku untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sholatku, puasaku dan semua ibadahku hanya untuk-Nya. Ramadhan kali ini bagaikan setetes embun yang menyejukkan hatiku.
Read More......

di 19:10 0 komentar

Sabtu, 2008 Juli 26
Buah kerinduan

Gemercik air kran kamar mandi yang tak tertutup rapat memecahkan heningnya malam yang dingin. Suasana yang sangat cocok untuk tidur nyenyak di bawah lilitan selimut tebal. Termasuk Rudi. Tidak dengan Adi, tubuhnya rebah diatas tempat tidur, namun matanya jauh menerawang langit-langit kamar menembus gelapnya malam, melewati bentangan samudra. Pasalnya ia teringat kampung halaman.

Jam menunjukan pukul satu lebih empat puluh limah menit dini hari waktu Kairo. Adi mahasiswa baru di Al-azhar. Baru saja ia selesai mengikuti ujian terakhir termin pertama sore tadi. Malam ini seharusnya menjadi malam tenang bagi mahasiswa yang study di Al-Azhar. Termasuk Adi, tapi tidak demikian dengan apa yang dirasakannya saat ini. Perasaannya begitu berkecamuk tidak tenang, resah dan gelisah. Rasa rindu begitu mendalam menerkam hatinya kepada ibunda tercinta
"Rud… ayo bangun! Sudah subuh, ayo sholat jamaah ke masjid!" ajak Mas Burhan sebagai senior di rumah itu sambil menggoyang-goyangkan tubuh Rudi.

"eeehhh… males ah… masih ngantuk mas" sambil menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.

"heee… kamu ini paling susah diajak sholat jamaah ke masjid!! Lihat teman-teman kamu! Adi, Yaldi dan Latif sudah berangkat sedari tadi"

"Iya mas iya… maafin Rudi" ia pun bangkit kemudian menuju ke kamar mandi untuk berwudhu.

Pagi itu memang sangat dingin sekali. Bagi yang imannya lemah cuaca yang seperti itu merupakan hambatan yang berat. Jangankan menyentuh air untuk berwudhu, berpisah dari selimut saja harus berpikir panjang. Namun tidak demikian dengan hamba-hamba Allah yang mengharapkan ridho-Nya, dengan ikhlas menjalankan apa yang sudah menjadi kewajiban menghadap Illahi Rabbi dalam lima waktu.

Rumah mereka memang dekat dengan masjid Shohabah di bawabah tiga. Mas Burhan sebagai senior yang sedang menempuh pendidikan di Al-azhar tingkat akhir Fakultas Ushuluddin berusaha untuk mendidik adik-adik tingkat yang tinggal bersamanya supaya mengamalkan sholat berjamaah di masjid.

Setelah sholat subuh, rumah itu terasa sejuk dan damai oleh lantunan ayat-ayat suci alquran. Seolah-olah itu sudah menjadi jadwal pembuka kegiatan mereka setiap hari. Terkecuali Latif hari itu, yang sedang berada di dapur menyiapkan sarapan pagi.

"Sarapan sudah siap…" teriak latif. "ayo makan! mumpung masih hangat…" sembari membawa nampan besar ke solah.

Mereka duduk melingkari nampan untuk bersiap-siap melahap sambal kentang dan tumis gargir yang masih panas, terlihat kepulan asap dari hidangan itu. "lho di mana Adi, kok gak ikut makan, Kemana dia Rudi?" tanya Mas Burhan, mengabsen semua adik-adiknya.

"Tadi dia ada di kamar, muroja'ah bareng saya"

"Adding kali…" celetuk Yaldi

"Ya sudah, Latif! Panggil, ajak dia makan!"

"Nggih mas"

"Di… Adi makan yuk… lho kenapa ga ikut makan? Leh kidza 'am? Malah diam di kamar sendirian. Eh eh ehhh… Melamuuun lagi." tegur Latif dengan menepuk pundak Adi. "sudah ditunggu yang lain lho. Ayolah makan…! Aku juga dah lapar, nanti sakit lho." ajak latif.

"nanti ajalah, aku lom laper Tif. Kalian makan duluan saja"

"Aku masak enak lho pagi ini" promosi Latif

"Ya sudah nanti ambil sendiri aja di meja. Kami makan duluan." Latif mengakhiri ajakannya.

-o0o-

Selembar foto terus dipandanginya. Terlihat senyum mengembang dibalik wajah sosok wanita yang telah berusia setengah abad itu, menunjukan kasih sayang yang terpancar untuk putra-putrinya. Wajah yang sangat Adi rindukan. Seorang ibu yang mengajarkan pentingnya cita-cita dan menanamkan dalam diri Adi akan tujuan penciptaan manusia untuk beribadah. Ibadah dengan arti yang luas.

Ia bersandar di dinding. Mencoba mengirim sms ke adiknya Yuli, jari jemari adi pun menari-nari di atas pet ponselnya merangkai kata menanyakan keadaan dan kabar keluarga di rumah. Bismillahirahmanirohim…message itu pun sudah terkirim. "uuhhh… astaghfirullah… pending lagi, ehhhhmm….kenapa sih kok gak ada yang terkirim" keluhnya bercampur geram. "ayah, ibu, dek Yuli. Kenapa sms-sms mas gak ada yang terkirim?" ia bertanya pada dirinya sendiri, kemudian tertunduk lesu.

"Adi… kenapa kamu nampak murung gitu. Madza khasola lak? Apa ada masalah yang kamu pikirkan. Liat tuh wajah kamu seperti belum tidur semalaman, kayak gak semangat hidup aja. Kenapa tho di?“ tanya Mas Burhan bijak.

“Gak kenapa-kenapa kok mas” Adi memaksakan senyumnya dan menatap wajah seniornya itu.

“Di… jangan bohong sama mas, sejak pulang dari masjid subuh tadi mas perhatiin sikap kamu gak seperti biasanya. Seorang adi yang penuh semangat dalam menghadapi hidup untuk mencapai cita-cita masa depan dan tidak pernah menyia-nyiakan waktu sedikitpun untuk hal yang bermanfaat, apalagi ngelamun". Burhan pandangi wajah Adi mencoba mencari jawaban dibalik wajah yang tersenyum pahit itu. Burhan menghela nafas panjang, "Tapi hari iniii… kamu seperti orang gelisah dan menerawang jauh entah kemana, gak semangat. Kalau ada masalah dan sesuatu yang mengganjal hati Adi ngomong sama mas. Curhat gitu…" sesekali ia menghisap rokoknya. ”Barangkali setelah curhat perasaan Adi bisa plong. Gak kayak seperti ini, malah diam saja” Kata burhan.

“emmmm….. pasti Adi lagi kangen nih ma yang di Indonesia. Hayo… siapa di… ngaku saja deh biar aku smsin bidadari pujaan hatimu itu” goda yaldi yang sedang menyetrika baju.

“hus… jangan sembarangan ngomong kamu. Mbok yo di hibur wong lagi sedih. kok malah di goda” bela latif.

“ udah-udah jangan ribut!” tegur burhan. Seketika suasana rumah dipagi yang cerah itu hening. Mereka berkumpul dikamar adi. Mencoba menghibur adi yang dilanda sedih dan gelisah.

“mas burhan dan teman-teman semua. Adi minta maaf sudah menyita waktu antum semua" Ia pandangi semua teman-temannya. "Emmm….Sebenarnya adi rindu sekali pada ibu. Sudah tiga malam ibu datang dalam mimpi adi, beliau begitu memanjakan adi. Dalam mimpi-mimpi itu beliau selalu berpesan agar Adi lebih giat lagi belajarnya jangan sampai kecewakan Ibu". Ia pandangi lagi foto di sela-sela lembaran buku diary. "Hal itu yang membuat Adi sangat rindu pada ibu. Tapi… rasa rindu itu bercampur perasaan yang tidak mengenakan. Adi gelisah karenanya”. Keluh Adi.

Burhan tersenyum melihat adek kelasnya sedang dilanda rindu pada kedua orang tuanya. "Adi… kamu sudah sms mereka belum? Tanya kabar gitu… ".

“sudah Adi sms mereka kok mas. Tapi gak ada yang terkirim, kayaknya nomor ponsel ayah dan adek yuli gak aktif”.

"Ya sudah…nanti mas menghubungi keluarga mas untuk silaturahim ke bapakmu dan menanyakan kabar mereka?"

“Di… gimana kalo kita nanti ba’da dzuhur jalan-jalan ke hadiqah dauliyyah refreshing setelah ujian, sekalian menenangkan pikiran kamu. Kalo kesorean dingin banget nanti.” Usul rudi teman satu kamar Adi.

“wah ide yang bagus itu, pikiran kita akan tenang liat wajah cewek mesir yang manis, bagaikan bunga-bunga yang bermekaran di musim semi indah dan berseri. Enak di pandang gitu” celetuk yaldi dengan penuh semangat.

“ya deh…” Adi tersenyum.

Ba’da dzuhur Adi dan kawan-kawan menuju ke hadiqah dauliyyah.

“Latif… kamu yach yang bayarin tadzkirohnya untuk kita semua. Kan hitung-hitung shadaqahlah pada kami. duitmu kan banyak. Jangan disimpan terus dimakan anai-anai lho” ledek Yaldi.

“gak mau ah, lagi bokek nih sorry deh lain kali ajalah”

“nih bayar sana jangan lama-lama yah” kata rudi sambil menyodorkan uang sepuluh pound.

Merekapun masuk ke Hadiqah. Banyak anak-anak kecil sedang bermain. Ada yang kejar-kejaran, main bola, juga ada yang sedang berfoto ria. Satu keluarga dari warga Mesir kumpul bareng dan makan bersama dibawah pohon besar nan rindang. Sungguh bahagianya mereka. Pemandangan yang sungguh indah. Pepohonan yang hijau rindang menambah rasa nyaman. Ini merupakan keunikan tersendiri. Taman yang subur ditengah-tengah gurun pasir. Berbagai jenis tanaman bunga terdapat didalamnya.

Menjelang maghrib mereka sudah sampai di rumah. Senyum mengembang diantara mereka. Begitu pula dengan Adi, raut wajahnya begitu berbeda dibandingkan pagi tadi. “eh eh eh… pada senyum-senyum nih. Senang ya jalan-jalan menjelang sore. Nah gitu Di… kan nampak semangat gak lesu dan muram kayak tadi pagi” sambut Burhan menyambut adek-adek tingkatnya yang baru pulang dari Hadiqah dauliyyah.

Pagi yang dingin, namun tetap tidak mematahkan semangat penghuni rumah baitul ilmi untuk menghidupkan pagi hari di bumi kinanah. Itulah nama rumah mereka baitul ilmi.

“Adi kamu dipanggil mas Burhan. Ditunggu di kamarnya mau ngobrol empat mata katanya”. Panggil Yaldi.

“ya sebentar" sahut Adi yang sedang menghapal Al-quran. "Ada apa sih Al, ga biasanya mas burhan ngomong sesuatau diantara kita pake rahasia”.

"Gak taulah di… mungkin perkara penting. ayo cepet kamu ke kamar mas burhan sana!” pinta yaldi.

“mas burhan tadi manggil Adi yach… Ada apa tho mas”. Tanya adi.

“Duduk dulu sini. memang ada yang mau mas bicarakan sama kamu”

“adi, kemarin ketika kamu pergi ma teman-teman ke hadiqah dauliyyah bapak kamu nelpon mas".

"Apa…?! Bapak nelpon mas Burhan?? Kok bapak gak nelpon saya tho mas, gimana kabar mereka? Mereka ngomong apa?" tanya Adi dengan penuh harap.

"Adi kamu tenang dulu, mas lom selesai ngomongnya" potong burhan. "Di… kabar bapak dan adekmu sehat semua. Bapakmu nelpon ke mas karena….." Burhan tidak meneruskan perkataanya.
"karena apa mas…?! teruskan dong…" pinta adi yang sudah mulai resah dan gelisah. "Kenapa mas…??!". Burhan memeluk tubuh Adek kelasnya itu dan membisikan ditelinganya. "Di… ibu kamu sudah pergi meninggalkan kita" .

dengan perasaan yang Berat burhan mengucapkan kalimat itu. "apa mas…" adi tercengang, tersentak kaget iapun melepaskan diri dari pelukan Burhan. "oh… ga mungkin, ibu…ibu…" gelap terasa dunia dalam pandangan adi. Tertunduk lemah, ia pun menampar wajahnya sendiri. Untuk meyakinkan diri tentang apa yang baru ia dengar dari Burhan.

"sabar Di… kamu harus tabah" Burhan memeluk tubuh adek kelasnya itu. "kuatkan diri kamu. Relakan kepergian ibundamu, doakan beliau. kamu boleh bersedih tapi jangan sampai terlena dalam kesedihan" bisik Burhan ketelinga Adi. Kamu harus ingat pesan-pesan Bundamu dalam mimpi-mimpi kamu. Buktikan dan tunjukan apa yang menjadi harapan keluargamu terutama bundamu".

Burhan bangkit, berdiri di hadapan Adi, kemudian memegang pundak adek kelasnya itu yang berduka. Berusaha menenangkannya. "ayo! sekarang kita sholat ghaib untuk bundamu. Nanti siang telpon ayahmu" Burhan mengajaknya untuk mengambil air wudhu. Merekapun sholat ghaib untuk ibunya Adi.


Adding = tambahan tidur pagi
Madza khasola lak? = Apa yang terjadi padamu?
Muroja'ah = mengulang kembali

by;agoes assiaki
Read More......

di 01:33 0 komentar

Dimana dia…?

Kadang kala aku bertanya
Dimana cinta berada
Tersembunyi
Tiada kunjung menghampiri
Dua angsa memadu rindu
Didanau biru bercumbu
Aku sepi
Ku sendiri
Letih hati
Begitu jauh waktu kutempuh
Sendiri mengayuh biduk kecil
Hampa berlayar
Akankan berlabuh hanya diam
Menjawab kerisauan

Kadang kala aku berkhayal
Seorang diujung sana
Juga tengah menanti tiba saatnya
Begitu ingin berbagi batin
Mengarungi hari yang berwarna
Dimana dia pasangan jiwaku
Mengejar bayangan kian menghilang
Read More......

di 01:30 0 komentar

Buronan Izrail

halilintar datang
menggelegar memekakan telinga
lukisan sebuah ayat

merinding berlindung
dibalik tirai sunyi
maut datang menghampiri

lari...cepat larilah!!!
teriakku...

gemetar bersembunyi
dalam keramaian
maut datang melambai

lelah...menyerah
pasrahku...

terompet pun selesai berbunyi
tangis dan senyum mengiringi
kembali kedunia hakiki




===============



Kutitip Cinta Pada-MU
Ditulis Oleh Okta Veldi Andika
Edisi 50

Kairo, Musim panas, angin bertiup kencang, Debu-debu berterbangan. Matahari betul-betul mengganas, tak ada satupun yang sanggup menghadang kegarangannya. Hari ini di Kairo sangatlah panas, bisa dikatakan, inilah puncak dari musim panas tahun ini, tak ada satupun masyarakat yang kelihatan bergairah dalam aktivitas mereka, namun dari kejauhan seorang pemuda yang sedang berdiri di atas apartemen, mencoba mengahadang terik mathari. Panas matahari tidak bisa merobah hatinya yang mendung, wajahnya teramat pucat. Kakinya kelihatan kaku berdiri membeku diatas imaroh, matanya tidak pernah kelihatan berkedip, selalu tertuju pada bangunan-bangunan yang mematung di hadapannya. Air mata tidak mau berhenti menetes di pipinya, perasaannya gundah, jiwanya dalam keadaan berkecamuk. Sesekali dia mengarahkan mata ke arah surat yang dipegangnya. Setiap kali matanya tertuju pada surat itu, maka tak pernah berhenti lidahnya mengucapkan lafaz istighfar. Surat itu adalah sebuah amanah dan pesan dari orang tuanya dua tahun yang lalu, ketika ia mau berangkat ke negeri Kinanah ini. Sebuah surat singkat yang berisikan:



Anandaku tercinta....

Bagaimana keadaanmunak…?bagaimana perasaanmu, saat-saat pertama kalinya kau menginjakkan kakimu di negeri ini, senang, sedih, atau mungkin biasa-biasa saja? Fikar..sekarang kita berjauhan, namun hakikatnya kau itu selalu dekat di hati Ibu dan Ayah, meskipun kepergianmu adalah sebuah beban bagi kami, sungguh berat rasanya melepas kepergianmu. Masih ingatkah kau nak, pahitnya hidup yang telah kita lalui? Kepergianmu ke Kairo ini beul-betul telah membuka mata Ayah dan Ibu… bahwa ini bukanlah sebuah mimpi di siang hari. Tapi sebuah kenyataan yang selama ini kami rindukan. Hanya dengan tetesan air mata, dan sebuah kebanggaan, dirimu kami lepas pergi menuju tanah impian, dan yang tak akan pernah terlupa… do'a yang selalu kami pinta, agar kau menjadi seorang yang berhasil.

Fikar, jangan sampai kau lupakan perjuanganmu selama ini, begitu juga perjuangan kami selaku orang tuamu. Jangan kau jadikan perjuangan ini hanya sebatas kenangan indah, yang kan membuatmu menangis di kala kau mengingatnya, tapi jadikanlah cambuk agar kau bisa meraih sebuah harapanmu. Jangan pernah kau balas perjuangan itu dengan harta yang melimpah, cukuplah dengan ilmu, dan jadilah kau penerang bagi orang lain.

Dan satu hal lagi Fikar, selama kau kuliah, jangan sampai kau memikirkan masalah pernikahan dulu! Kami bermohon kepadamu Fikar, kalau kau mencintai seorang gadis, maka itu adalah fitrah, tapi jangan sampai kau berlarut dan hanyut dalam cintamu itu. Gapailah dulu cita-citamu. Semoga saja kau bisa mengerti Fikar

Wasalam

Ibu dan Bapakmu

Tangisnya memecah dalam keheningan, terlontar kata-kata dari mulutnya yang menggema dia atas cakrawala. "Ya Allah ampunilah hamba, lindungilah hamba ,dan jauhkan hamba dari perbuatan yang akan mengundang azab-Mu ". Dia memekik di atas imarah yang menjulang tinggi itu.

Sementara jauh di padang sana, di saat yang sama, terlihat seorang gadis berparas cantik, berhidung mancung, alis matanya yang tebal, matanya yang sedikit sipit, sedang khusuk dalam munajatnya di malam yang teramat dingin ini, air matanya menetes membasahi pipi, dia mengungkapkan semua perasaan pilunya, memohon kepada sang khalik atas sebuah ketenangan jiwa. Lidahnya tak pernah berhenti mengucapkan lafaz do'a.

"Ya Allah berikan ketenangan dalam hati ini, begitu juga dengan kak Fikar. Tunjukkanlah kami jalan lurus-Mu, jauhkan kami dari azab-Mu".

Dia adalah Farah. Seorang wanita yang selalu memberikan arti di setiap bait-bait kehidupan Fikar. Farah, namanya terlukis didalam jiwa Fikar, kehadiran Farah selama ini menjadi penyejuk di setiap kegersangan, dia laksana sebuah mata air di tengah tandusnya padang pasir. Farah wanita yang selama ini dinanti-nanti kedatangannya oleh Fikar, ia salah seorang calon mahasiswi yang akan berangkat ke Kairo nanti, keinginannya mengabdikan diri, menimbah ilmu, memenuhi harapan, dan menggapai cita-cita, serta mewujudkan sebuah impian orang tuanya.

Cinta memang sangat indah, dan hidup dengan penuh cinta adalah sebuah impian. Namun akankah ada keindahan, ketika cinta tak bisa digapai dan dimiliki, hanya menjadi impian untuk selamanya, dan hanya bisa ditemukan dalam angan- angan semu di setiap khayalan. Namun mungkinkah cinta akan membawa kedalam kesengsaraan, perasaan luka, duka, dan hancurnya, sebuah harapan?.

"Perasaan cinta.." inilah yang dirasakan oleh Fikar. Sebuah harapan ingin memiliki, dan hidup bersama gadis impian, seraya mendapatkan cinta dan mencintainya dibawah keagungan pemilik cinta. Cinta yang selama ini membuatnya selalu bersemangat. Dan cinta itu pula yang menemani dirinya dalam berjuang. Sampai akhirnya tibalah saat bagi dia untuk bisa memiliki cinta tersebut seutuhnya.

Fikar berkeinginan menjalankan dan mengamalkan apa yang telah di ajarkan oleh rasulullah Saw. untuk mengkhitbah dan menuai harapan untuk hidup bersama gadis yang selama ini menjadi bunga di hatinya. Akan tetapi ternyata, impian Fikar untuk hidup bersama gadis impiannya telah terhalang oleh sebuah duka yang melanda hati seorang wanita yang telah mempersembahkan seluruh hidupnya untuk Fikar, ia pun juga pernah berjuang antara hidup dan mati, semuanya demi Fikar. Begitu suci cintanya itu. Nyawanya pun tak akan segan ia korbankan untuk kehidupan Fikar. Tak akan ada lagi yang bisa menyayangi dan mencintai Fikar seperti itu, kecuali hanya ia seorang, yaitu ibunya sendiri.

***

Sebuah peristiwa yang telah mengguncang jiwa Fikar ini, bermula ketika kejadian dua minggu yang lalu, dimana Fikar pernah mengutarakan keinginannya kepada ibunya, bahwa dia ingin mengkhitbah gadis impiannya yang bernama Farah. Dan ini adalah kali keduanya bagi Fikar kembali mengulangi keinginan hatinya. Ketika pertama kali menyampaikan keinginan suci itu, ibunya ternyata belum siap, kalau anaknya membagi cinta dengan seorang wanita, waktu itu ibunya hanya mengingatkan supaya Fikar tidak memikirkan masalah khitbah dan pernikahan dulu, dan menyuruh agar ia konsentrasi dalam kuliahnnya. Dan dua minggu kemaren ibunya hanya bisa tersenyum dan mengatakan

" Anakku, kalau seandainya kau telah memikirkannya matang-matang, maka laksanakanlah".

Meskipun dengan suara bergetar, dan hati yang sebenarnya berat menerima hal ini, beliau hanya mencoba memaksakan diri menerima keinginan anak yang selama ini menjadi tumpuan harapannya.

Namun ternyata hati tidak bisa dibohongi, ketidak-siapan ibunya menerima keputusan Fikar telah berakibat fatal, penyakit yang selama ini di derita ibunya kembali mengancam nyawa ibu yang dicintainya itu.

Asl. Kak Fikar apa kabar?ini Ditya kak! Kak saat ini ibu dirawat di rumah sakit, jantung beliau kambuh lagi! Jadi tolong kakak doakan supaya ibu cepat sembuh.

Sebuah pesan singkat telah menjadikan Fikar merasa dirinya adalah seorang makhluk yang tidak pantas mendapatkan kasih sayang, berlumur dosa, manusia yang hanya mementingkan ego, dan tidak pernah mengerti dengan perasaan orang tuanya sendiri.

Hal inilah yang membuat Fikar selalu merenung, meratapi kesalahan dirinya. Sebenarnya ia sudah tau, kalau ibunya keberatan menerima keingniannya, dan iapun sadar, bahwa ketika dia akan berangkat ke negeri Kinanah ini, ibunya memberikan sepucuk surat. Surat itulah yang kemaren dipegangnya di atas imaroh, dan telah membuat dirinya meneteskan air mata penyesalan. Keras kepalanyalah penyebab semua ini. Mungkinkah ia akan kembali memaksakan kehendak cintanya, mengabaikan harapan ibunya, cinta yang telah diberikan ibunya sungguhlah sangat suci, namun tak bisa mengalahkan cintanya kepada Farah, gadis yang menjadi bunga dalam hatinya.

Perasaan cinta memang tidak bisa ditepis. Namun terkadang haruslah bisa untuk dikorbankan. Itulah yang harus dilakukan oleh Fikar. Mengorbankan cinta demi sebuah cinta.

***

Waktupun berlalu, tanpa terasa. kejadian dua minggu kemaren tetap tidak pernah bisa dilupakan, selalu menjadi beban dalam kehidupan Fikar, dirinya selalu dihantui rasa bersalah, meskipun dia sudah mulai sedikit tenang dengan berita yang telah diterimanya sore kemaren, bahwa ibunya sudah keluar dari Rumah sakit, dan jantung beliau sudah normal kembali.

Fikar sangat mencintai Farah, namun cinta kepada ibunya juga tiada bandingan. Keputusan yang telah di ambilnya haruslah diurungkan kembali, bukan berarti menjilat air ludah yang sudah terbuang, tetapi inilah bukti pengorbanan cinta sucinya itu. Keberaniannya mengorbankan perasaan cinta. Betapa berat baginya melupakan cinta yang selama ini tertanam dalam dirinya, sungguh tulus cinta yang telah dia persembahkan untuk wanita yang dicintainya, namuan tidak mungkin dia juga melupakan sebuah cinta dari ibu yang telah melahirkannya, kasih sayang yang tak pernah berujung, dan tidak bisa di ukur,

***

Padang, 10 agustus 2007

Assalamualaikum.

Kak Fikar apa kabar? Sehatkan? Alhamdulillah Farah di sini juga dalam keadaan sehat. O… ya Kak, keberangkatan Farah ke Kairo tidak lama lagi, tidak terasa semua berjalan sangatlah cepat.

Kak, setelah sampai di Kairo, mungkin kita akan kembali bertemu. Namun andaikan nanti itu terjadi, anggapalah perjumpaan itu awal dari segalanya. Masalah kemarin lebih baik diurungkan lagi, karena tidak semua dari keinginan kita mesti bisa terjadi,boleh jadi Allah berkehendak lain. Mungkin ada hal yang lebih baik yang mesti di dahulukan, dan itu adalah harapan dan cinta orang tua. Maka mulai saat ini, mulailah kembali berkonsentrasi dengan kuliah Kakak, begitu juga dengan Farah, kita sama-sama berusaha memberikan sesuatu yang terbaik kepada orang tua.

Mengenai perasaan yang telah terjadi, memang tak dapat kita salahkan, tapi kita bisa menyimpannya sedalam mungkin. Sekarang saatnyalah menitipkan cinta kepada pemilik cinta, andaikan nanti Allah redha, maka Allah akan kembalikan cinta itu. Dan apapun yang akan terjadi nanti, itu semua adalah takdir yang terbaik bagi.

Mungkin hanya ini yang bisa Farah tulis buat Kakak. Maafkan Farah kalau ada salah.

Wassalam

Farah

Terlihat senyum mengulas di bibir Fikar, sebuah perasaan haru menyelimuti dirinya, kegundahannya mulai terobati, Farah telah memberikan kesejukan dalam dirinya. Kini perasaan Fikar mulai terobati. Terlihat dia menegakkan kepalanya mengahadap langit biru, air matanya pun menetes, namun wajahnya terlihat cerah, bibirnya bergerak melafazkan sesuatu;

" Ya Allah, engkau telah berikan jalan yang kupinta, izinkanlah aku menitipkan cinta ini kepada-Mu ya Robb, dan berikanlah hamba kekuatan menjalani ini semuanya, serta izinkanlah hamba memberikan sesuatu yang terbaik kepada orang tua hamba"