Tuesday, January 08, 2008

Sepucuk Surat Cinta (AAC Page 11)


Sepucuk Surat Cinta

Ini malam Sabtu. Besok pagi aku harus pergi. Memasukkan proposal tesis ke kampus. Menemui Alicia dan Aisha di National Library. Dan mengirimkan naskah terjemahan ke redaksi sebuah penerbit di Jakarta melalui email. Perjalanan yang agak melelahkan kelihatannya. Semua telah siap, kecuali naskah terjemahan. Belum selesai di edit. Aku ingin besok pagi semuanya berjalan seperti rencana. Sekali melakukan perjalanan banyak yang diselesaikan. Malam ini mau tidak mau aku harus sedikit keras pada diriku sendiri. Aku harus kerja lembut mengedit hasil terjemahanku sampai benar-benar matang.

Untuk persiapan lembur ini, aku telah menyiapkan dopping andalan. Madu murni, susu kambing murni yang dibelikan oleh Hamdi dari para penggembala kambing yang biasa lewat di Wadi Hof, dan telur ayam kampung. Agar suasana segar aku membuka jendela dan pintu kamar terbuka lebar-lebar. Pelan-pelan kusetel nasyid Athfal Filistin. Semangat bocah-bocah cilik Palestina yang membara dengan celoteh mereka yang menggemaskan menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan intifadhah membuat diriku bersemangat dan tidak mengantuk. Aku sudah minta izin teman-teman untuk membunyikan nasyid ini sampai tengah malam. Aku minta mereka menutup pintu kamar masing-masing agar tidak terganggu tidurnya.

Ternyata mereka malah asyik meminjam film Ashabul Kahfi dari seorang teman di Nasr City. Dan menontonnya di kamar Rudi. Mereka memerlukan waktu 16 jam untuk menonton film yang dibuat Iran dan Lebanon itu. Sebab film Ashabul Kahfi adalah film yang diputar bersambung oleh stasiun TV Lebanon selama bulan Ramadhan tahun kemarin. Hanya yang memiliki parabola yang bisa menontonnya. Malam ini mereka menyediakan waktu khusus untuk menontonnya. Aku belum pernah menontonnya, sebetulnya sangat ingin. Tapi apakah semua keinginan harus dipenuhi? Komentar teman-teman yang sudah menontonnya, film Ashabul Kahfi luar biasa indahnya, mampu menambah keimanan dan memperhalus jiwa. Lain kali semoga ada kesempatan menontonnya. Malam ini adalah malam kerja.

Malam ini, sementara teman-teman terbang ke zaman Ashabul Kahfi, mereka berdialog dengan pemuda-pemuda pilihan itu, aku malah berlayar di lautan kata-kata yang disusun Ibnu Qayyim. Aku harus membaca dengan teliti dan mengedit tulisan sebanyak 357 halaman. Tengah malam aku kelelahan. Aku istirahat dengan melakukan shalat. Ketika sujud kepala terasa enak. Darah mengalir ke kepala. Syaraf-syarafnya menjadi lebih segar. Kudengar teman-teman bertasbih atas apa yang mereka lihat di film itu. Aku melemaskan otot-otot dengan menelentangkan badan di atas kasur. Menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Aku bangkit hendak meneruskan pekerjaan. Tak sengaja aku melihat sepucuk surat permintaan mengisi pelatihan terjemah dari sebuah kelompok studi. Aku jadi teringat dengan sepucuk surat dari Noura yang masih berada di saku baju koko yang tergantung di dalam almari. Aku belum membacanya. Segera kuambil surat itu dan kubaca.

Kepada

Fahri bin Abdillah, seorang mahasiswa

dari Indonesia yang lembut hatinya dan berbudi mulia

Assalamu ’alaikum warahmatullah wa barakatuh.

Kepadamu kukirimkan salam terindah, salam sejahtera para penghuni surga. Salam yang harumnya melebihi kesturi, sejuknya melebihi embun pagi. Salam hangat sehangat sinar mentari waktu dhuha. Salam suci sesuci air telaga Kautsar yang jika direguk akan menghilangkan dahaga selama-lamanya. Salam penghormatan, kasih dan cinta yang tiada pernah pudar dan berubah dalam segala musim dan peristiwa.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Entah dari mana aku mulai dan menyusun kata-kata untuk mengungkapkan segala sedu sedan dan perasaan yang ada di dalam dada. Saat kau baca suratku ini anggaplah aku ada dihadapanmu dan menangis sambil mencium telapak kakimu karena rasa terima kasihku padamu yang tiada taranya.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Sejak aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian tiada memiliki siapa-siapa kecuali Allah di dalam dada, kaulah orang yang pertama datang memberikan rasa simpatimu dan kasih sayangmu. Aku tahu kau telah menitikkan air mata untukku ketika orang-orang tidak menitikkan air mata untukku.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Ketika orang-orang di sekitarku nyaris hilang kepekaan mereka dan masa bodoh dengan apa yang menimpa pada diriku karena mereka diselimuti rasa bosan dan jengkel atas kejadian yang sering berulang menimpa diriku, kau tidak hilang rasa pedulimu. Aku tidak memintamu untuk mengakui hal itu. Karena orang ikhlas tidak akan pernah mau mengingat kebajikan yang telah dilakukannya. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang saat ini kudera dalam relung jiwa.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Malam itu aku mengira aku akan jadi gelandangan dan tidak memiliki siapa-siapa. Aku nyaris putus asa. Aku nyaris mau mengetuk pintu neraka dan menjual segala kehormatan diriku karena aku tiada kuat lagi menahan derita. Ketika setan nyaris membalik keteguhan imanku, datanglah Maria menghibur dengan segala kelembutan hatinya. Ia datang bagaikan malaikat Jibril menurunkan hujan pada ladang-ladang yang sedang sekarat menanti kematian. Di kamar Maria aku terharu akan ketulusan hatinya dan keberaniannya. Aku ingin mencium telapak kakinya atas elusan lembut tangannya pada punggungku yang sakit tiada tara. Namun apa yang terjadi Fahri?

Maria malah menangis dan memelukku erat-erat. Dengan jujur ia menceritakan semuanya. Ia sama sekali tidak berani turun dan tidak berniat turun malam itu. Ia telah menutup kedua telinganya dengan segala keributan yang ditimbulkan oleh ayahku yang kejam itu. Dan datanglah permintaanmu melalui sms kepada Maria agar berkenan turun menyeka air mata dukaku. Maria tidak mau. Kau terus memaksanya. Maria tetap tidak mau. Kau mengatakan pada Maria: ‘Kumohon tuturlah dan usaplah air mata. Aku menangis jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan membawanya ke tempat yang

jauh dari linangan air mata selama-lamanya. Maria tetap tidak mau.” Dia menjawab: “Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa. ” Kemudian dengan nama Isa Al Masih kau memaksa Maria, kau katakan, “Kumohon, demi rasa cintamu pada Al Masih. ” Lalu Maria turun dan kau mengawasi dari jendela. Aku tahu semua karena Maria membeberkan semua. Ia memperlihatkan semua kata-katamu yang masih tersimpan dalam handphone-nya. Maria tidak mau aku cium kakinya. Sebab menurut dia sebenarnya yang pantas aku cium kakinya dan kubasahi dengan air mata haruku atas kemuliaan hatinya adalah kau. Sejak itu aku tidak lagi merasa sendiri. Aku merasa ada orang yang menyayangiku. Aku tidak sendirian di muka bumi ini.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Anggaplah saat ini aku sedang mencium kedua telapak kakimu dengan air mata haruku. Kalau kau berkenan dan Tuhan mengizinkan aku ingin jadi abdi dan budakmu dengan penuh rasa cinta. Menjadi abdi dan budak bagi orang shaleh yang takut kepada Allah tiada jauh berbeda rasanya dengan menjadi puteri di istana raja. Orang shaleh selalu memanusiakan manusia dan tidak akan menzhaliminya. Saat ini aku masih dirundung kecemasan dan ketakutan jika ayahku mencariku dan akhirnya menemukanku. Aku takut dijadikan santapan serigala.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Sebenarnya aku merasa tiada pantas sedikit pun menuliskan ini semua. Tapi rasa hormat dan cintaku padamu yang tiap detik semakin membesar di dalam dada terus memaksanya dan aku tiada mampu menahannya. Aku sebenarnya merasa tiada pantas mencintaimu tapi apa yang bisa dibuat oleh makhluk dhaif seperti diriku.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Dalam hatiku, keinginanku sekarang ini adalah aku ingin halal bagimu. Islam memang telah menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu yang tiada terkira dalamnya terhunjam di dada aku ingin menjadi budakmu. Budak yang halal bagimu, yang bisa kau seka air matanya, kau belai rambutnya dan kau kecup keningnya. Aku tiada berani berharap lebih dari itu. Sangat tidak pantas bagi gadis miskin yang nista seperti diriku berharap menjadi isterimu. Aku merasa dengan itu aku akan menemukan hidup baru yang jauh dari cambukan, makian, kecemasan, ketakutan dan kehinaan. Yang ada dalam benakku adalah meninggalkan Mesir. Aku sangat mencintai Mesir tanah kelahiranku. Tapi aku merasa tidak bisa hidup tenang dalam satu bumi dengan orang-orang yang sangat membenciku dan selalu menginginkan kesengsaraan, kehancuran dan kehinaan diriku. Meskipun saat ini aku berada di tempat yang tenang dan aman di tengah keluarga Syaikh Ahmad, jauh dari ayah dan dua kakakku yang kejam, tapi aku masih merasa selalu diintai bahaya. Aku takut mereka akan menemukan diriku. Kau tentu tahu di Mesir ini angin dan tembok bisa berbicara.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Apakah aku salah menulis ini semua? Segala yang saat ini menderu di dalam dada dan jiwa. Sudah lama aku selalu menanggung nestapa. Hatiku selalu kelam oleh penderitaan. Aku merasa kau datang dengan seberkas cahaya kasih sayang. Belum pernah aku merasakan rasa cinta pada seseorang sekuat rasa cintaku pada dirimu. Aku tidak ingin mengganggu dirimu dengan kenistaan katakataku yang tertoreh dalam lembaran kertas ini. Jika ada yang bernuansa dosa semoga Allah mengampuninya. Aku sudah siap seandainya aku harus terbakar oleh panasnya api cinta yang pernah membakar Laila dan Majnun. Biarlah aku jadi Laila yang mati karena kobaran cintanya, namun aku tidak berharap kau jadi Majnun. Kau orang baik, orang baik selalu disertai Allah.

Doakan Allah mengampuni diriku. Maafkan atas kelancanganku. Wassalamu ’alaikum,

Yang dirundung nestapa,

Noura

Tak terasa mataku basah. Bukan karena inilah untuk pertama kalinya aku menerima surat cinta yang menyala dari seorang gadis. Bukan karena kata-kata Noura yang mengutarakan apa dirasakannya terhadapku. Aku menangis karena betapa selama ini Noura menderita tekanan batin yang luar biasa. Ia sangat ketakutan, merasa tidak memiliki tempat yang aman. Ia merasa berada dalam kegelapan yang berkepanjangan. Tanpa cahaya cinta dan kasih dari keluarganya. Ia merasa tidak ada yang peduli padanya. Ia telah kehilangan kepercayaan dirinya sebagai manusia merdeka tanpa belenggu nestapa. Sesungguhnya tekanan psikis

yang menderanya selama ini lebih berat dari siksaan fisik yang ia terima. Maka ketika ada sedikit saja cahaya yang masuk ke dalam hatinya, ada rasa simpati yang diberikan orang lain kepadanya, ia merasa cahaya dan rasa simpati itu adalah segalanya baginya. Ia langsung memegangnya erat-erat dan tidak mau kehilangan cahaya itu, tidak mau kehilangan simpati itu dan ia sangat percaya dan menemukan hidupnya pada diri orang yang ia rasa telah memberikan cahaya dan rasa simpati.

Aku menyeka air mata kulipat kertas surat itu dan kumasukkan ke dalam amplopnya. Setelah shalat shubuh aku harus menyampaikan hal ini pada Syaikh Ahmad. Gadis itu perlu terus diberi semangat hidup dan dikokohkan ruhaninya. Gadis itu perlu diyakinkan bahwa dia akan mendapatkan rasa aman dan kasih sayang selama berada di tengah-tengah orang yang beriman. Aku mengambil air wudhu untuk menenangkan hati dan pikiran. Aku harus kembali menyelesaikan pekerjaan. Ketika azan shubuh berkumandang seluruh terjemahan telah selesai aku edit. Langsung kupecah menjadi empat file. Kumasukkan ke dalam disket. Mataku terasa berat dan perih. Seperti ada kerikil mengganjal di sana. Aku belum memicingkan mata sama sekali. Aku bangkit kuajak teman-teman untuk turun ke masjid.

Merancang Peta Hidup (AAC Page 10)


Merancang Peta Hidup

Dari National Library aku langsung pulang. Di dalam metro aku memaksakan diri membaca dengan seksama pertanyaan-pertanyaan yang diajukan nona Alicia dari Amerika itu. Rasa penasaran mengalahkan perut lapar belum sarapan dan badan yang terasa meriang. Lembar pertama berisi pertanyaan tentang bagaimana Islam memperlakukan wanita. Tentang beberapa hadits yang dianggap merendahkan wanita. Tentang poligami, warisan dan lain sebagainya. Pertanyaanpertanyaan yang tidak asing namun terus menerus ditanyakan. Pertanyaan yang seringkali memang dipakai oleh mereka yang tidak bertanggung jawab untuk mendiskreditkan Islam. Di Barat masalah poligami dalam Islam dipertanyakan. Mereka menganggap poligami merendahkan wanita. Mereka lebih memilih anak puterinya berhubungan di luar nikah dan kumpul kebo dengan ratusan lelaki bahkan yang telah beristeri sekalipun daripada hidup berkeluarga secara resmi secara poligami. Menurut mereka pelacur yang memuaskan nafsu biologisnya secara bebas dengan siapa saja yang ia suka lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan yang hidup berkeluarga baik-baik dengan cara poligami.

Untuk semua pertanyaan tentang bagaimana Islam memperlakukan perempuan aku sudah membayangkan semua jawaban yang aku akan tulis, lengkap dengan sejarah perlakuan manusia terhadap perempuan. Sejak zaman Yunani kuno sampai zaman postmo. Aku ingat bahwa para pendeta di Roma sebelum Islam datang, pernah sepakat untuk menganggap perempuan adalah makhluk yang najis dan boneka perangkap setan. Mereka bahkan mempertanyakan, perempuan sebetulnya manusia apa bukan? Punya ruh apa tidak? Sementara Baginda Nabi sangat memuliakan makhluk yang bernama perempuan, beliau pernah bersabda bahwa siapa memiliki anak perempuan dan mendidiknya dengan baik maka dia masuk surga.

Aku tinggal meringkas jawaban yang telah banyak ditulis para sejarawan, cendekiawan dan ulama Me sir. Pertanyaan yang berkaitan dengan perempuan aku anggap selesai. Nanti malam akan aku jawab lengkap dengan data dan dalil-dalil utama dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hadits yang ditanyakan Alicia yang mengatakan katanya Nabi pernah bersabda perempuan adalah perangkap setan

adalah bukan hadits. Itu adalah perkataan seorang Sufi namanya Basyir Al Hafi. Sebagaimana dijelaskan dengan seksama dalam kitab Kasyful Khafa. Itu adalah pendapat pribadi Basyir Al Hafi yang kemungkinan besar terpengaruh oleh perkataan para pendeta Roma. Itu bukan hadits tapi disiarkan oleh orang-orang yang tidak memahami hadits sebagai hadits. Bagaimana mungkin Islam akan menghinakan perempuan sebagai perangkap setan padahal dalam Al-Qur’an jelas sekali penegasan yang berulang-ulang bahwa penciptaan perempuan sebagai pasangan hidup kaum lelaki adalah termasuk tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dalam surat Ar Ruum ayat dua puluh satu Allah berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Jika perempuan adalah perangkap setan atau panah setan bagaimana mungkin baginda nabi menyuruh memperlakukan perempuan dengan baik. Bahkan beliau bersabda dalam hadits yang shahih, “Orang pilihan di antara kalian adalah yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.”(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, beliau berkata: Hadits hasan shahih. Juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Imam Baihaqi dan Thabrani) Baginda nabi juga menyuruh umatnya untuk mengutamakan ibunya daripada ayahnya. Ibu disebut nabi tiga kali. Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu!.

Pada lembaran kedua, Alicia bertanya bagaimana Islam memperlakukan nonmuslim? Bagaimana Islam memandang Nasrani dan Yahudi? Apa sebetulnya yang terjadi antara umat Islam dan umat Koptik di Mesir, sebab media massa Amerika memandang umat Islam berlaku tidak adil? Bagaimana pandangan Islam terhadap perbudakan? Dan lain sebagainya.

Aku teringat sebuah buku yang menjawab semua pertanyaan Alicia ini. Buku apa, dan siapa penulisnya? Aku terus mengingat-ingat. Otakku terus berputar, dan akhirnya ketemu juga. Buku itu ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi yang pernah menjadi sekretaris Grand Syaikh Al Azhar, Syaikh Abdul Halim Mahmud. Aku merasa sebaiknya menerjemahkan buku berjudul Limadza yakhaafunal Islam(Kenapa mereka takut kepada Islam?) itu ke dalam bahasa Inggris untuk menjawab pertanyaan Alicia. Supaya Alicia dan orang-orang Barat tahu jawabannya dengan jelas dan gamblang. Supaya mereka lebih tahu begaimana sebenarnya Islam memuliakan manusia.

Untuk pertanyaan, apa sebetulnya yang terjadi antara umat Islam dan umat Koptik di Mesir, yang paling tepat sebenarnya, biarlah umat koptik Mesir sendiri yang menjawabnya. Dan Pope Shenouda pemimpin tertinggi umat kristen koptik Mesir sudah membantah semua tuduhan yang bertujuan tidak baik itu. Pope Shenouda tidak akan bisa melupakan masa kecilnya. Dia adalah anak yatim di sebuah pelosok desa Mesir yang disusui oleh seorang wanita muslimah. Dan wanita muslimah itu sama sekali tidak memaksa Shenouda untuk mengikuti keyakinannya. Wanita muslimah itu mengalirkan air susunya ke tubuh si kecil Snouda murni karena panggilan Ilahi untuk menolong bayi tetangganya yang membutuhkan air susunya. Adakah toleransi melebihi apa yang dilakukan ibu susu Pope Shenouda yang muslimah itu?

Dalam sejarah pemerintahan Mesir, pada tanggal 10 Mei 1911 ada laporan kolonial Inggris ke London yang menjelaskan hasil sensus di Mesir. Dari sensus penduduk waktu itu jumlah umat Islam 92 persen, umat kristen koptik hanya 2 persen, selebihnya Yahudi dan lain sebagainya. Pada waktu itu jumlah pegawai yang bekerja di kementerian seluruhnya 17.569 orang. Dengan komposisi 9.5 14 orang dari kaum muslimin yang berarti 54,69 persen, dan selebihnya dari kaum koptik, yaitu 8.05 5 orang dan berarti, 45,31 persen. Bagaimana mungkin jumlah umat koptik yang cuma 2 persen itu mendapatkan jatah 45,31 persen di departemen-departemen kementerian. Dan umat Islam mesir tidak pernah mempesoalkan komposisi yang sangat menganakemaskan umat kristen koptik ini. Apakah tidak wajar jika para pendeta koptik ebih dahulu bersuara lantang menolak tuduhan Amerika sebelum Al Azhar bersuara?

Ulama-ulama besar dan terkemuka Mesir tidak pernah menyapa umat kristen koptik sebagai orang lain. Mereka dianggap dan disapa sebagai ‘ikhwan’ sebagai saudara. Saudara setanah air, sekampung halaman, sepermainan waktu kecil, bukan saudara dalam keyakinan dan keimanan. Syaikh Yusuf Qaradhawi menyapa umat koptik dengan ‘ikhwanuna al Aqbath’, saudara-saudara kita umat koptik. Sebuah sapaan yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an mengakui adanya persaudaraan di luar keimanan dan keyakinan. Dalam sejarah nabi-nabi, kaum nabi Nuh adalah kaum yang mendustakan para rasul. Mereka tidak mau seiman dengan nabi Nuh. Meskipun demikian, Al-Qur’an menyebut Nuh adalah saudara mereka. Tertera dalam surat Asy Syuara ayat 105 dan 106: ‘Kaum Nuh telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka (Nuh) berkata pada mereka, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa?’ Apakah ajaran yang indah dan sangat humanis seperti ini masih juga dianggap tidak adil? Kalau tidak adil juga maka seperti apakah keadilan itu? Apakah seperti ajaran Yahudi yang menganggap orang yang bukan Yahudi adalah budak mereka. Atau ajaran yang diyakini ratu Isabela yang memancung jutaan umat Islam di Spayol karena tidak mau mengikuti keyakinannya?

Aku merasa isi buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi harus dibaca masyarakat Amerika, Eropa, dan belahan dunia lainnya yang masih sering tidak bisa memahami ruh ajaran Islam. Termasuk juga masyarakat Indonesia. Tapi aku bimbang, apakah aku punya waktu yang cukup untuk menerjemahkan buku itu. Kontrak terjemahan harus segera aku tuntaskan. Jakarta sedang menunggu naskah yang aku kerjakan. Proposal tesis juga harus segera kuajukan ke universitas. Dan kondisi kesehatan yang sedikit terganggu.

* * *

Metro yang kutumpangi sampai di Hadayek Helwan pukul dua. Panas sengatan matahari semakin kurang ajar dan kurang ajar. Aku keluar mahattah dengan memakai langkah cepat. Di perempatan jalan dekat rental dan toko peralatan komputer Pyramid Com, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Suara yang tidak terlalu asing. Aku menengok ke kanan, ke arah Pyramid Com. Seorang gadis Mesir sambil memegang payung berjalan cepat ke arahku. Aku terus saja berjalan tak begitu mempedulikan dirinya. Sebab udara panas menyengat muka.

“Hai Fahri, tunggu, baru pulang ya? Kepanasan? Ini pakai saja payungku nanti kau sakit lagi?”

Gadis Mesir berpipi lesung kalau tersenyum itu telah berhasil mengejar langkahku. Ia berjalan sej ajar denganku dan menawarkan payungnya padaku.

“Sudahlah Maria, kau jangan berlaku begitu!” sahutku sambil mempercepat langkah. Maria terus berusaha mengimbangi kecepatan langkahku. Ia berusaha memayungi diriku dari sengatan matahari. Beberapa orang Me sir yang berpapasan dengan kami melihat kami dengan pandangan heran. Maria melakukan sesuatu yang tidak biasanya dilakukan gadis Mesir. Juga tidak akan pernah ada lelaki di Mesir memakai payung untuk melindungi dari sengatan matahari.

“Maria, please, hormatilah aku. Jangan bersikap seperti itu!”

Maria menarik payungnya dan menggunakan untuk melindungi dirinya. Aku heran sendiri dengan perlakuan puteri Tuan Boutros ini padaku. Mamanya bilang Maria tidak suka didatangi teman-teman lelakinya. Juga tidak suka pergi atau kencan dengan mereka. Tidak suka menerima telpon dari mereka. Tidak bisa mesra katanya, tapi kenapa dia bersikap sedemikian perhatian padaku. Aku merasa ia seolah-olah menunggu kepulanganku di jalan yang pasti kulewati.

“Janji sama siapa Fahri, kalau aku boleh tahu?” tanyanya. Aku mempercepat langkah. Jarak apartemen dan mahattah metro sekitar seratus dua puluh lima meter.

“Sama teman. Kau panas-panas begini ke Pyramid Com ada apa? Kau ‘kan paling malas keluar di tengah panas yang menggila seperti ini?” tanyaku tanpa memandang kepadanya. Itu tidak mungkin kulakukan kecuali terpaksa misalnya ketika berjumpa begitu saja. Atau reflek menengok karena dia memanggil namaku.

“Terpaksa. Tinta printku habis. Padahal aku harus ngeprint banyak saat ini. Sialnya stok Pyramid Com juga habis. Aku mau ke Helwan malas sekali?” jawabnya dengan nada kecewa.

“Kebetulan tintaku masih penuh. Baru beli. Pakai saja milikku.”

“Terima kasih Fahri. Kebetulan sekali kalau begitu. Aku perlu sekali. Kalau aku tahu itu aku tidak akan capek-capek begini.”

“Kelihatannya kau sangat sibuk minggu dan banyak tugas minggu ini, Maria?”

“Iya, sejak empat hari kemarin aku sibuk mengedit kumpulan tulisanku yang tersebar di beberapa media selama satu tahun ini. Hari ini juga harus aku print. Sebab habis maghrib nanti akan diambil Wafa untuk dimintakan kata pengantar pada Anis Mansour, lalu diterbitkan. Setelah itu sampai kuliah aktif kembali aku kosong. Ada apa kau tanya seperti itu. Ada yang bisa aku bantu?”

“Ya. Kalau kau berkenan. Aku perlu bantuanmu.”

“Apa itu? Kalau aku mampu, dengan senang hati.”

Aku lalu menjelaskan pertemuanku dengan Alicia dan segala pertanyaannya. Aku menjelaskan keinginanku menyampaikan isi buku yang ditulis Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi. Tapi kelihatannya aku tidak punya waktu yang cukup. Buku itu setebal 143 halaman. Dan Maria bahasa Inggrisnya sangat bagus. Selama di sekolah menengah ia kursus di British Council, dan pernah terpilih pertukaran pelajar ke Skotlandia selama setengah tahun.

“Kapan dead linenya?”

“Jawaban harus aku sampaikan pada Alicia hari Sabtu depan. Kalau bisa malam Jum’at sudah selesai diterjemahkan sehingga aku juga ada kesempatan membacanya?”

“Baiklah. Nanti berikan buku itu padaku. Aku berjanji Kamis pagi selesai.”

“Thank’s, Maria.”

“Forget it.”

Tak terasa kami telah sampai di halaman apartemen. Aku mempercepat langkah. Aku tidak mau naik tangga di belakang Maria. Aku harus di depan, aku teringat kisah nabi Musa dan dua gadis muda pencari air. Nabi Musa tidak mau berjalan di belakang keduanya demi menjaga pandangan dan menjaga kebersihan jiwa.

Sampai di dalam flat, Saiful menyambutku dengan segelas ashir mangga. Aku langsung meminumnya. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuh. Aku langsung masuk kamar dan menyalakan kipas angin. Maria mengirim sms agar tinta dan buku yang hendak diterjemah segera kusiapkan. Lima menit lagi ia akan menurunkan keranjang. Aku langsung mencari buku itu di rak. Ketemu. Jendela kubuka. Angin panas masuk serta merta. Maria telah menunggu dengan keranjang kecilnya. Tinta dan buku kumasukkan ke dalamnya. Dan ia mengangkatnya. Aku langsung shalat dan istirahat sampai ashar tiba.

* * *

Mishbah pulang dari Nasr City jam enam sore. Ketika aku sedang asyik membaca beberapa buku untuk menjawab pertanyaan Alicia. Ia membawa pesan dari Nurul yang secara tidak sengaja bertemu di depan Wisma agar aku menelpon dia sebelum maghrib tiba. Kembali Rudi menggodaku, “Tidak salah lagi. Pasti ada sesuatu. She is the true coise!” Aku beristighfar dalam hati. Semoga Allah melindungi dari godaan setan yang terkutuk yang menyesatkan manusia dengan berbagai macam cara. Dalam hati aku menegaskan, aku tidak akan menelponnya.

Setengah tujuh telpon berdering. Dari Nurul. Ia minta padaku agar ke rumah Ustadz Jalal, katanya Ustadz Jalal ingin minta tolong dan membicarakan sesuatu yang penting padaku. Kukatakan minggu ini aku tidak bisa. Ia bilang tidak apa-apa, tapi minta diusahakan kalau ada kesempatan langsung ke sana. Ustadz Jalal masih ada hubungan kerabat dengan Nurul, meskipun agak jauh. Mereka bertemu di ayah kakek alias buyut. Sudah lama aku tidak bertemu Ustadz Jalal. Beliau dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga yang mengambil S3 di Sudan, dan selama menulis disertasi doktoralnya beliau tinggal di Kairo bersama isteri dan ketiga anaknya. Aku akrab dengan beliau dimulai sejak kami umrah bersama dua tahun yang lalu. Kami mengarungi laut merah untuk mencapai Jeddah dengan kapal Wadi Nile. Saat itu beliau baru setengah tahun di Cairo. Anak beliau baru dua. Anaknya yang bungsu lahir di Cairo tujuh bulan yang lalu. Apa yang beliau inginkan dariku? Apakah beliau akan meminta tolong untuk ikut mentakhrij hadits lagi? Aku tak tahu pasti. Jawabnya adalah ketika aku bertemu dengannya. Sebenarnya yang membuatku sedikit heran, kenapa Ustadz Jalal tidak langsung menelponku, kenapa berputar lewat Nurul. Benar, rumahnya tidak ada telponnya, tapi dia tentunya bisa menelpon lewat Minatel yang tersebar di setiap sudut kota Cairo. Keadaan dan jalan berpikir seseorang terkadang memang susah dimengerti.

Usai mengangkat telpon aku tidak meneruskan pekerjaanku sebelumnya, yaitu membaca. Tapi aku merasa perlu meninjau kembali planning bulan ini. Utamanya adalah minggu yang sedang aku jalani ini. Aku melihat jadwal keluar rumah. Ada lima kegiatan. Kurasa harus aku pangkas semua. Aku harus istirahat dan mengejar terjemahan. Pengajian ibu-ibu KBRI hari Selasa. Pembanding dalam diskusi yang diadakan FORDIAN, Forum Studi Ilmu Al-Qur’an, di Buuts, hari Rabu pagi. Pergi ke warnet. Dan rapat Dewan Asaatidz Pesantren Virtual, di mahattah Shurthah, Nasr City, Kamis malam Jum’at. Semuanya harus aku batalkan. Yang perlu pengganti harus aku carikan ganti. Bahkan untuk talaqqi pada Syaikh Utsman hari Rabu aku ingin izin, sekali ini. Aku benar-benar ingin di rumah minggu ini, menghindari perjalanan panjang yang membuat ubun-ubun terasa mendidih.

Sore itu juga aku telpon takmir masjid Indonesia yang mengurusi pengajian ibu-ibu KBRI agar mengganti jadwalku dan memundurkan satu bulan ke belakang. Pada koordinator FORDIAN aku minta diganti, kutawarkan sebuah nama. Pada Gus Ochie El-Anwari sang penggagas rapat Dewan Asaatidz aku minta izin, aku sampaikan beberapa ide dan pokok pikiran yang mengganjal di kepala. Setelah semua beres aku merasa lega. Langsung kusambung dengan menulis jawaban atas pertanyaan Alicia seputar Islam dan Perempuan. Aku hanya istirahat untuk shalat, makan malam, dan minum air putih. Tekadku bulat harus tuntas malam ini. Tak ada bedanya dengan membuat karya ilmiah. Jawaban dengan bahasa Inggris itu selesai juga. Tepat pukul tiga malam. Dengan bahasa Inggris. Setebal empat puluh satu halaman spasi satu Microsoft Word, Times New Roman, Font 12. Seandainya tidak memakai bahasa Inggris kurasa pukul satu malam sudah selesai. Beberapa kali aku harus membuka kamus Al Maurid untuk sebuah kosa kata yang aku kurang yakin ketepatannya.

Sejak itu aku tidak keluar rumah kecuali untuk shalat berjamaah. Waktuku habis di dalam kamar, di depan komputer. Aktifitasku adalah menerjemah, menyelesaikan proposal, sesekali makan, ke kamar mandi dan tidur. Hari Selasa sore Maria memberi tahu buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi telah selesai ia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hanya saja ia tidak berani menerjemahkan hadits dan ayat suci Al-Qur’an takut salah. Maria memberikan disket berisi terjemahannya. Kekurangannya kutambal. Jawabanku dan hasil terjemahan Maria langsung aku print dan ketika shalat shubuh aku berikan kepada Syaikh Ahmad untuk diperiksa. Kebetulan bahasa Inggris beliau bagus tidak seperti Imam masjid lainnya. Beliau bahkan pernah diutus oleh Al Azhar ke Australia untuk menjadi Imam di masjid Malik Faishal yang terletak di Common Wealth Street, Surry Hills, Sidney selama satu tahun. Aku jelaskan pada beliau pertemuanku dengan Miss. Alicia dari Amerika dan kapan jawaban itu harus aku serahkan. Aku ingin beliau mengoreksi dengan seksama. Beliau sangat senang dengan apa yang aku lakukan. Beliau menjanjikan malam Jum’at ba’da shalat Isya bisa aku ambil sehingga bisa diedit lagi dan diprint ulang.

Kekejaman pada diri sendiri untuk bekerja keras menampakkan hasilnya. Hari Jum’at terjemahan selesai. Tinggal menunggu diedit saja. Proposal tesis juga selesai, siap untuk diajukan ke tim penilai. Jika layak nanti pihak fakultas akan mencarikan promotor yang sesuai. Dan jawaban untuk semua pertanyaan Alicia yang telah dikoreksi dan diberi tambahan Syaikh Ahmad sudah aku print, aku fotocopy dan aku jilid jadi empat. Untuk Alicia, untuk Aisha, untuk Maria, dan untuk arsip pribadiku. Aku menatap peta hidup bulan ini. Aku tersenyum penuh rasa syukur. Kukatakan pada diriku sendiri, “Man jadda wajad!”(Pepatah Arab terkenal, artinya: “Siapa bersungguh-sungguh dia mendapat!”)

Aku merasa bersyukur kepada Allah yang mengilhamkan untuk merubah strategi perangku minggu ini. Memang terkadang kita harus kejam pada diri sendiri. Dan sedikit tegas pada orang lain. Aktifitas yang penting tetapi tidak terlalu penting bisa dibuang atau di-pending.

* * *

Ketika aku mengambil naskah yang dikoreksi Syaikh Ahmad, beliau bercerita sedikit tentang Noura. Gadis innocent itu senang di Tafahna. Kebetulan satu hari sebelumnya, Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad menjenguk ke sana. Syaikh Ahmad sedang melacak sebenarnya siapa Si Muka Dingin Bahadur itu. Apakah benar ayahnya atau bukan? Syaikh Ahmad mendapatkan informasi Noura dilahirkan di klinik bersalin Heliopolis. Bagaimana sejarahnya Noura bisa terlahir di klinik elite di kawasan elite itu? Syaikh Ahmad sedang menyelidikinya dengan bantuan Ridha Shahata, sepupunya yang menjadi staf intelijen Dewan Keamanan Negara atau yang disebut “Mabahits Amn Daulah”. Aku yakin tak lama lagi Noura kembali hidupnya yang penuh ketenteraman. Sebelum aku pulang beliau menyerahkan sepucuk surat kepadaku, beliau bilang, “Surat ini yang membawa Ummu Aiman, dari Noura, katanya ucapan terima kasih padamu!”

Inilah untuk pertama kalinya aku mendapatkan surat dari orang Me sir. Asli. Dari gadis Mesir lagi. Meskipun cuma ucapan terima kasih. Aku penasaran ingin tahu kata-kata apa yang ditulis oleh gadis innocent itu. Seperti apa tulisannya. Ingin rasanya kubuka seketika itu, tapi pada Syaikh Ahmad aku merasa malu. Kumasukkan surat itu begitu saja ke dalam saku.

Getaran Cinta (AAC Page 9)


Getaran Cinta

Setelah shalat shubuh aku tidak langsung pulang, tapi menemui Syaikh Ahmad. Kukabarkan pada beliau kelulusanku dan rencanaku membuat proposal tesis. Imam muda berhati lembut itu mengecup kepalaku berkali-kali. Begitulah cara orang Arab memberikan tanda penghormatan yang tinggi. Penghormatan orang yang dianggap sangat dekat. Dari bibirnya keluar ucapan selamat dan doa tiada henti. Beliau bahkan menawarkan agar jika naskah proposal selesai kususun diserahkan terlebih dahulu padanya untuk dilihat bahasanya. Jika ada gaya bahasa yang mungkin kurang tepat beliau akan mentashihnya. Aku sangat senang mendengarnya. Barulah aku jelaskan padanya kisah derita Noura panjang lebar dan mendetail seperti yang aku lihat dan aku ketahui. Beliau menitikkan air mata mendengarnya.

“Di Mesir ini, banyak sekali orang mengakui muslim tapi akhlaknya tidak muslim. Mengaku Islam tapi sangat jauh dari cahaya Islam. Bagaimana mungkin seorang ayah yang mengaku umat Muhammad bisa begitu kejam pada anaknya, pada seorang gadis yang semestinya dia lindungi dan dia sayangi. Fahri, menghantarkan kesejukan ruh Islam ke dalam hati semua pemeluknya memang tidak semudah membalik kedua telapak tangan. Tapi kita tidak boleh berpangku tangan, apalagi berputus asa. Sebisa kita, kita harus terus berusaha,” kata Syaikh Ahmad sambil menarik nafas.

“Tidak hanya di Mesir saja Syaikh, di Indonesia juga ada. Bahkan di Indonesia lebih parah. Ada lelaki yang meniduri anak gadisnya dengan paksa. Lebih parah lagi ada yang tega menjual isteri dan anak gadisnya pada lelaki hidung belang. Setan memang ada di mana-mana. Dengan segala tipu dayanya, setan selalu berusaha membutakan hati manusia sehingga mereka beranggapan tindakan yang keji menjadi terpuji.”

“Laa haula wa laa quwwata illa billah!” ucap Syaikh Ahmad sambil memejamkan mata. Beliau lalu menepuk pundakku dan mengatakan dirinya akan terjun langsung membantu Noura secepatnya. Sebelum musim masuk sekolah tiba derita Noura harus diakhiri. Syaikh Ahmad berterima kasih atas segala yang telah kami lakukan. Beliau meminta agar jam sembilan nanti aku mengantarkan beliau menemui Noura di Nasr City. Beliau hendak mengambil Noura dan menempatkannya di tempat yang aman. Menurut beliau jika sampai nanti ayahnya tahu Noura berada di tempat mahasiswi Indonesia akan membuat masalah. Kasihan para mahasiswi jika terganggu belajarnya. Noura harus secepatnya dipindahkan ke tempat yang tepat. Kami sepakat untuk bertemu di depan mahattah Hadayek Helwan.

Aku segera pulang dan menelpon Nurul, memberitahukan rencana Syaikh Ahmad. Aku minta padanya untuk tidak pergi. Sekitar pukul sepuluh, kami insya Allah, sampai. Tepat pukul sembilan aku sampai di tempat yang dijanjikan. Syaikh Ahmad telah menunggu di dalam mobil Fiat tuanya. Seorang wanita berjilbab panjang duduk di samping beliau. Syaikh Ahmad memang hidup sederhana meskipun kata masyarakat beliau orang berada. Isteri beliau seorang dokter yang membuka praktek di Helwan dan membantu orang tidak mampu dengan membuka praktek di klinik masjid. Syaikh Ahmad mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Pukul sepuluh lebih sepuluh kami sampai di kediaman Nurul dan kawankawannya yang berada di tingkat enam. Para mahasiswi itu dipeluk oleh isteri Syaikh Ahmad dengan penuh kehangatan. Ketika memeluk Noura, isteri Syaikh Ahmad menangis tersedu-sedu. Berkali-kali ia mencium pipi gadis innocent itu. Syaikh Ahmad menjelaskan maksud kedatangan dia dan isterinya. Semuanya mengerti termasuk Noura. Noura akan dibawa ikut serta ke kampung halaman Syaikh Ahmad. Ke rumah orang tua Syaikh Ahmad di desa Tafahna El-Ashraf, Zaqaziq. Noura menurut. Setelahlah Noura siap terjadilah perpisahan yang mengharukan. Nurul dan teman-temannya terisak dan bergantian memeluk Noura. Noura juga menangis sambil mengucapkan terima kasih tak terhingga. Nurul bilang pada Noura, “Noura kau juga harus mengucapkan terima kasih tiada terhingga pada Akh Fahri.”

Noura menatapku sekilas dengan mata berkaca lalu menunduk dan dengan suara lirih dia menyampaikan rasa terima kasih dari hati yang terdalam. Kalau dia adikku pasti sudah kupeluk dengan penuh rasa sayang. Aku hanya mengangguk dan membesarkan hatinya bahwa Syaikh Ahmad dan isterinya akan membukakan jalan yang baik baginya. Mereka berdua orang-orang yang baik dan berhati lembut. Agar tidak mencurigakan, Noura diminta Syaikh Ahmad memakai cadar. Nurul dan teman-temannya diminta tidak turun ke bawah. Cukup melihat dari jendela saja. Kami berempat turun. Syaikh Ahmad masuk mobil diikuti isteri dan Noura. Aku mengucapkan salam dan selamat jalan. Kali ini Noura memandang diriku agak lama. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Aku terus berdoa semoga ia terbebas dari derita yang membelenggunya. Aku kembali ke Hadayek Helwan dengan hati lega. Syaikh Ahmad akan mengurus segalanya.

* * *

Sampai di rumah aku langsung melihat jadwal. Aku harus talaqqi ke Shubra. Aku mencela diriku sendiri kenapa setelah dari Rab’ah El-Adawea tadi tidak langsung ke Shubra saja. Namanya juga lupa. Telpon berdering. Nurul menelpon menanyakan bagaimana dengan uang yang telah aku berikan padanya. Padahal Noura hanya beberapa hari tinggal di rumahnya dan uang yang aku berikan padanya nyaris belum digunakan untuk apa-apa. Aku bilang tidak usah dipikirkan dan dikembalikan, terserah mau diapakan yang penting untuk kebaikan. Nurul dan teman-temannya orang yang jujur dan amanah. Keuangan negara tidak akan bocor jika ditangani oleh orang-orang seperti mereka. Aku salut padanya. Tiba-tiba aku teringat ledekan Si Rudi kemarin, ‘Jangan-jangan dia orangnya!.... Congratulation Mas. She is the star, she is the true coise, she will be a good wife!’.

Ah, tidak mungkin! Kutepis jauh-jauh pikiran yang hendak masuk. Memiliki isteri shalihah adalah dambaan. Tapi. .ah, aku ini punguk dan dia adalah bulan. Aku ini gembel kotor dan dia adalah bidadari tanpa noda. Aku melangkah mengambil air wudhu. Tadi pagi aku baru membaca seperempat juz, aku harus menyelesaikan wiridku. Nanti habis zhuhur aku harus ke Shubra. Syaikh Utsman kurang berkenan jika ada hafalan yang salah, meskipun satu huruf saja.

Aku membukal mushaf. Handphone-ku berdering. Ternyata Aisha. Dia mengingatkan janji bertemu dengan Alicia di National Library. Aku mengucapkan terima kasih telah diingatkan. Dan siang itu aku kembali menantang panas sahara untuk mengaji Al-Qur’an di Shubra yang jauhnya kira-kira lima puluh kilo dari apartemenku. Hadayek Helwan tempat aku tinggal ada di ujung selatan kota Cairo sementara Shubra ada di ujung utara. Menjelang maghrib aku baru pulang dengan

ubun-ubun kepala seperti kering tanpa ada darah mengalir di sana, telah menguap sepanjang siang. Aku benar-benar capek. Satu hari ini melakukan perjalanan hampir sejauh seratur kilo meter. Pagi bolak-balik Hadayek Helwan-Nasr City. Habis zhuhur bolak-balik Hadayek Helwan-Shubra.

Ba’da shalat maghrib aku merasa kepalaku tak bisa diangkat. Terasa berat dan sakit. Aku panggil Saiful, aku minta padanya untuk mengompres kepalaku. Saifu menempelkan telapak tangannya ke keningku, “Panas sekali Mas.”

Ia lantas bergegas memenuhi permintaanku. Saiful duduk disampingku sambil memijat kedua kakiku. Dia tahu persis apa yang kulakukan seharian ini. Hamdi ikut serta memijat-mijat. Teman-teman memang sangat baik dan perhatian. Kami sudah seperti saudara kandung. Seandainya Mishbah dan Rudi datang keduanya pasti juga ikut menunggui atau membelikan buah yang kusuka. Mishbah kembali ke Wisma untuk urusan pelatihannya. Dan Rudi pergi ke sekretariat Kelompok Studi Walisongo atau KSW dia mewakili Himpunan Mahasiswa Medan atau HMM untuk membicarakan kerjasama mengadakan tour ke tempat-tempat bersejarah di Mesir.

Bel berbunyi. Yousef mencari aku. Hamdi membawanya masuk ke kamarku. Yousef menyentuh tanganku. Ia ragu mengatakan sesuatu. Ia tersenyum dan mendoakan semoga tidak apa-apa dan segera pulih lalu kembali ke rumahnya. Tak lama kemudian bel kembali berbunyi. Hamdi beranjak membukanya. Hamdi melongok di pintu kamar dan bilang, “Tuan Boutros sekeluarga Mas. Bagaimana? Apa mereka boleh masuk kemari?”

Kalau kepalaku tidak seberat ini aku pasti keluar menemui mereka. Aku mengisyaratkan pada Hamdi agar mempersilakan mereka masuk. Pak Boutros masuk membawa satu botol madu. Madame Nahed membawa peralatan dokternya. Dan Maria membawa nampan entah apa isinya. Tuan Boutros menyentuh pipiku.

“Panas. Nahed, coba kau periksa!” katanya pada isterinya.

Madame Nahed meminta izin padaku untuk memeriksanya. Sambil memasang tekanan darah di lengan kananku, dia menanyakan apa yang kurasakan. Kujelaskan semua dengan pelan. Saiful memberitahukan diriku melakukan perjalanan panjang di tengah terik siang, dari pagi sampai sore.

“Agaknya kau terlalu memforsir dirimu. Banyak-banyaklah istirahat. Ada gej ala heat stroke. Kau harus minum yang banyak dan makan buah-buahan yang segar. Istirahatlah dulu, jangan bepergian menantang matahari!” kata Madame Nahed lembut.

“Heat stroke itu apa, Madame?” tanya Saiful.

“Heat stroke adalah sengatan panas, yaitu penyakit yang terjadi akibat penumpukan panas yang berlebihan di dalam badan yang ditimbulkan oleh keadaan cuaca panas. Tapi tidak usah kuatir baru gejala,” jawab Madame Nadia. Dia lalu menulis resep dan minta puteranya Yousef untuk keluar membelinya. “Cepat ya. Sama ashir mangga!”

“Yousef, sebentar!” ujarku. Kepalaku semakin berat. “Tolong Saif ambilkan uang di dompetku. Ada di lemari. Saiful mengambil uang seratus pound dan menyerahkan pada Yousef. Tapi Tuan Boutros mencegahnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Yousef keluar. Maria mendekat.

“Fathi, ini aku buatkan ruz billaban untukmu,” lirih Maria.

“Lha untuk kami mana? Masak untuk Akh Fahri saja,” sahut Hamid.

“Maksudku juga untuk kalian,” ucap Maria agak tersipu. Maria meletakkan nampan berisi ruz billaban di atas meja belajarku. Saat itu kulihat dia memandang dua lembar kertas karton besar yang menempel di depan meja belajar.

“Oi Farhi, apa ini? Rancangan hidupmu? Sepuluh tahun ke depan. Dan planning tahun ini,” katanya setengah kaget.

“Maria, jangan kau baca! Aib!” Madame Nahed mengingatkan. “Biarkan. Nggak apa-apa!” kataku.

Yang kutempel memang arah hidup sepuluh tahun ke depan. Target-target yang harus kudapat dan apa yang harus kulakukan. Lalu peta hidup satu tahun ini. Ku tempel di depan tempat belajar untuk penyemangat. Dan memang kutulis dengan bahasa Arab.

“Wow. Targetmu dua tahun lagi selesai master. Empat tahun berikutnya selesai doktor dan telah menerjemah lima puluh buku serta memiliki karya minimal lima belas karya. Dan empat tahun berikutnya atau sepuluh tahun dari sekarang targetmu adalah guru besar. Fantastik. Hai Fahri kapan rencanamu kawin. Kenapa tidak kau tulis dalam peta hidupmu?” celoteh Maria. Madame Nahed geleng-geleng kepala.

“Baca yang teliti!” lirihku.

Maria membaca dengan teliti, tak lama kemudian ia berkata, “Okey aku setuju. Ketika kau menulis tesis magister. Ya, untuk menemani perjuanganmu yang melelahkan!”

“Berarti sudah dekat. Mungkin tahun ini mungkin tahun depan. Karena dia sudah lulus ujian dan sudah diminta universitas membuat proposal tesis.” sahut Saiful. Serta merta Tuan Boutros, Madame Nahed, dan Maria mengucapkan selamat. Mereka senang mendengar aku mulai menulis tesis. Madame Nahed menanyakan apa aku sudah ada calon. Kepalaku nyut-nyut. Kupaksakan untuk tersenyum. Lalu aku bergurau, “Kebetulan tidak ada gadis yang mau dekat denganku. Tak ada yang mau mengenalku dan baik denganku. Yang baik padaku malah Maria. Bagaimana Madame, kalau calonnya Maria?”

Madame Nahed tersenyum, “Boleh saja. Tapi kusarankan tidak sama dia, dia gadis yang kaku. Beda dengan dirimu yang kulihat bisa romantis, bisa membuat kejutan-kejutan yang menyenangkan. Kemarin dalam perjalanan pulang kami mendapat cerita yang banyak tentang dirimu dari Rudi. Dia bercerita tentang kesan-kesannya padamu. Dia juga menjelaskan sesungguhnya yang merancang dan membelikan hadiah ulang tahun untukku dan untuk Yousef itu kamu. Aku takut kau kecewa dapat Maria. Dia gadis manja dan kaku. Saya tak tahu dia bisa romantis apa tidak. Dia itu gadis yang tidak pernah jatuh cinta. Tak suka dikunjungi teman lelaki. Tak suka diajak pergi kencan. Kau harus mendapatkan gadis yang bisa mengimbangi kelembutan hatimu dan kekuatan visimu mengarungi hidup. Kulihat kau pemuda yang sangat berkarakter dan kuat memegang prinsip namun penuh toleransi. Kau jangan sembarangan memilih pasangan hidup, itu saran dari Madame.”

“Terima kasih Madame atas sarannya, doakan saja.” jawabku. Kulirik Maria. Sesaat mukanya merona tapi ia segera dapat menguasai dirinya.

“Fahri, kenapa sih kau buat peta hidup ke depan segala, bukankah hidup ini enaknya mengalir bagaikan air?” tanya Maria.

Kepalaku sebenarnya semakin nyut-nyut tapi aku selalu tidak bisa membiarkan kecewa orang yang bertanya padaku.

“Maaf, setiap orang berbeda dalam memandang hidup ini dan berbeda caranya dalam menempuh hidup ini. Peta masa depan itu saya buat terus terang saja berangkat dari semangat spiritual ayat suci Al-Qur’an yang saya yakini. Dalam surat Ar Ra’ad ayat sebelas Allah berfirman, Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. Jadi nasib saya, masa depan saya, mau jadi apa saya, sayalah yang menentukan. Sukses dan gagalnya saya, sayalah yang menciptakan. Saya sendirilah yang mengaristeki apa yang akan saya raih dalam hidup ini.”

Belum selesai aku bicara Maria menyela, “Kalau begitu di mana takdir Tuhan?”

“Takdir Tuhan ada di ujung usaha manusia. Tuhan Mahaadil, Dia akan memberikan sesuatu kepada umat-Nya sesuai dengan kadar usaha dan ikhtiarnya. Dan agar saya tidak tersesat atau melangkah tidak tentu arah dalam berikhtiar dan berusaha maka saya membuat peta masa depan saya. Saya suka dengan kata-kata bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!’ Peta hidup ini saya buat untuk mempertegas arah tujuan hidupku sepuluh tahun ke depan. Ini bagian dari usaha dan ikhtiar dan setelah itu semuanya saya serahkan sepenuhnya kepada Tuhan.”

Maria mengangguk-anggukkan kepala.

“Apa kubilang, Fahri seorang visioner yang tegas. Tidak seperti dirimu Maria, hidup manja tanpa visi. Kau ini sudah berada di jalan yang mulus. Dikaruniai otak yang cerdas, hidup berkecukupan, disayang keluarga. Tapi kau tidak akan membuat kemajuan tanpa visi yang jelas.” sahut Madame Nahed.

Aku tidak enak mendengarnya. Aku tidak tahu seperti apa wajah Maria, mungkin memerah karena malu mendapat teguran dari ibunya yang ceplas-ceplos seperti itu. Aku memejamkan kepala merasakan rasa nyeri di dalam tempurung kepalaku.

Tuan Boutros menanyakan kemana Rudi dan Mishbah, keduanya tidak kelihatan. Hamdi menjelaskan dengan rinci. Pembicaraan lalu beralih kepada Hamdi dan Saiful. Aku mendengarkan dengan mata terpejam. Tangan Saiful masih memijit kakiku. Tak lama kemudian Yousef datang membawa obat dan satu botol ashir mangga. Madame Nahed memberikan petunjuk cara meminum obatnya. Berapa hari sekali. Dia berpesan agar aku istirahat dulu sampai pulih kembali. Mereka lalu pamitan. Saat mau pergi Maria berkata,

“Syukran Fahri, aku mendapatkan ilmu yang mahal sekali. Benar kata pepatah dekat dengan penjual minyak akan mendapatkan wanginya.”

Setelah mereka kembali ke flatnya, aku makan ruz billaban pemberian Maria. Enak. Lalu minum obat dan bersiap tidur. Aku telah meminta Hamdi menyetel beker jam tiga. Aku bersyukur memiliki teman-teman yang baik dan tetangga yang baik. Saiful memijat-mijat diriku sampai aku terlelap. Dalam tidur aku mendengar Maria menangis. Air matanya membasahi kakiku. Jam tiga aku terbangun. Heran dengan mimpiku. Sebelum tidur aku sudah baca shalawat dan doa. Aku tak tahu mimpi itu tafsirnya apa. Kalau Ibnu Sirin masih hidup tentu aku tanyakan padanya. Aku beristighfar berkali-kali memohon ampunan kepada Allah jika guyonanku pada Madame Nahed tadi tidak semestinya aku lakukan. Janganjangan menyakiti hati Maria. Aku bangkit. Kepalaku terasa lebih ringan. Aku tadi memang kepanasan dan kelelahan. Ya Allah, kulihat Saiful tidur di karpet. Ia begitu setia menunggui aku. Ana uhibbuka fillah ya Akhi!(Aku mencintaimu karena Allah, Saudaraku!) Aku harus shalat Isya. Malam terasa sunyi. Aku teringat ayah bunda di kampung sana, di tanah air tercinta. Terbayang mata bening bunda.

selalu saja kurindu
abad-abad terus berlalu
berjuta kali berganti baju
nun jauh di sana mata bening menatapku haru
penuh rindu
mata bundaku
yang selalu kurindu

Dalam sujud kumenangis kepada Tuhan, memohonkan rahmat kesejahteraan tiada berpenghabisan untuk bunda, bunda, bunda dan ayahanda tercinta. Usai shalat Isya dan Witir aku tidur lagi. Aku bermimpi lagi. Bertemu ayah ibu, berpelukan dan menangis haru.

* * *

Pagi hari aku merasa segar kembali. Aku melihat jadwal. Ada janji di National Library. Kalau tak ada janji sebenarnya aku ingin istirahat saja. Kasihan tubuh ini, kepanasan setiap hari. Tapi janji harus ditepati. Meskipun harus merangkak akan aku jalani. Janjinya jam sebelas. Aku harus berangkat jam sepuluh masih ada tiga jam. Lumayan untuk mengejar terjemahan.

Pukul sepuluh aku berangkat. Matahari sudah mulai menyengat. Sampai di halaman Maria memanggil namaku dari jendelanya. Ia mengingatkan agar aku tidak pergi. Kukatakan padanya aku ada janji. Aku harus menepatinya meskipun untuk itu aku harus mati. Untung aku dapat tempat duduk. Lebih baik daripada berdiri. Di tengah perjalanan seorang pemuda Mesir memakai jubah lusuh naik. Ia membawa karung. Entah apa isinya. Sampai di dalam metro membuka karungnya. Mengeluarkan boneka panda. Ia menawarkan pada penumpang barang dagangannya. Boneka dan mainan anak-anak. Ia menawarkan dari ujung ke ujung. Ia bilang harga promosi jauh lebih murah dari yang di toko resmi. Tak ada yang beli. Ia mendekatiku dan menawatkan boneka panda itu padaku. Kukatakan padanya aku belum punya anak. Penjual mainan itu menjawab,

“Belilah, kudoakan kau mendapatkan isteri yang shalihah dan cantik seperti bidadari dan memiliki anak yang shalih shalihah, juga kudoakan umurmu berkah rizkimu melimpah sehingga kau dan anak cucumu tidak akan perlu berjualan di jalan seperti diriku. Belilah untuk penyemangat hidupku!”

Siapa yang tidak terenyuh mendengar kata-kata penuh muatan doa seperti itu. Hatiku luluh. Aku akhirnya membeli boneka panda dan pistol air. Cuma sepuluh pound. Boneka enam pound dan pistol airnya empat pound. Pemuda itu tampak berbinar matanya, ia mengucapkan terima kasih. Setelah aku membeli ada seorang ibu setengah baya tertarik dan membeli.

Aku memandangi boneka panda warna coklat dan putih di tanganku. Boneka yang cantik. Kepada siapa akan kuberikan? Aku tersenyum sendiri. Biar nanti kugantung di atas tempat tidur. Pemuda itu masih di dalam metro ia belum turun. Mungkin turun di mahatah depan. Keringatnya bercucuran. Aku teringat masa kecilku ketika aku masih SD. Kami keluarga susah. Kakek hanya mewariskan sepetak sawah, kira-kira luasnya setengah bahu. Dibagi dua dengan adil untuk ayah dan paman. Ayah tidak sekolah, dia hanya sampai kelas tiga sekolah SR. Hanya bisa baca dan menulis saja. Demikian juga dengan ibu. Lain dengan paman. Dia disekolahkan oleh kakek dengan bantuan ayah sampai SPG. Dia jadi guru. Karena paman sudah disekolahkan maka rumah kakek diberikan kepada ayah. Selama paman sekolah ayahlah yang menggarap sawah untuk membiayai paman. Dan paman sangat pengertian, sebenarnya dia tidak minta apaapa. Apa yang dia punya sudah cukup. Dia kebetulan mendapatkan isteri teman sekolahnya, anak penilik sekolah jadi lebih tercukupi. Tapi ayah tetap meminta kepada paman agar sawah sepetak itu dibagi dua. Paman tidak boleh menolaknya. Akhirnya yang kami punya adalah rumah peninggalan kakek yang sangat sederhana dan sawah seperempat bahu. Apa yang bisa diharapkan dari sawah setengah bahu. Ayah tetap menggarap sawah itu dengan menanam padi. Hasilnya di makan sendiri. Untuk keperluan lain ibu jualan gorengan di pasar dan ayah jualan tape(Makanan dibuat dari singkong rebus yang telah di beri ragi. Sangat mirip dengan payem Bandung) dengan berkeliling dari kampung ke kampung. Jika hari minggu aku diajak ayah ikut serta. Berjalan berkilo-kilo. Jika telah dekat dengan rumah penduduk ayah akan berteriak, ‘Pe tape! Pe tape! Pe tape!’

Jika ayah lelah maka akulah yang bergantian berteriak menawarkan tape. Jika ada yang beli hati senangnya bukan main. Rasa lelah seperti hilang begitu saja. Apalagi jika ada yang memborong sampai belasan bungkus, kami akan merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Mataku basah mengingat itu semua.

Pukul sebelas kurang lima menit aku sampai di National Library. Aku langsung menuju kafetaria. Alicia dan Aisha sudah ada di sana. Alicia tersenyum padaku entah Aisha aku tidak tahu sebab ia bercadar. Mereka telah memesan minuman. Aku pesan segelas karikade dingin. Alicia menyerahkan dua lembar kertas berisi pertanyaannya. Kubaca sekilas. Pertanyaan yang sangat serius. Aku menjanjikan akan menyerahkan jawabannya hari Sabtu, di tempat dan waktu yang sama. Alicia setuju. Kami lalu berbincang-bincang. Alicia banyak bertanya tentang studiku. Aisha bercerita tentang pamannya yang senang sekali mendapatkan salam dariku, dan mengirim salam balik, juga dua keponakannya yang masih ingat padaku. Katanya si Amena menyebutku “Ammu Fahri Al Andonesy!”(Paman Fahri dari Indonesia) Aisha juga bertanya apakah aku telah berkeluarga? Setelah selesai master apa yang akan aku kerjakan di Indonesia? Apakah aku akan melanjutkan S3? Aku menjawab apa yang bisa kujawab. Sebelum berpisah aku teringat boneka dan pistol air yang aku beli di dalam metro. Kutitipkan pada Aisha untuk keponakannya, Si Amena dan Hasan yang lucu dan menggemaskan. Melihat boneka panda yang cantik mata Aisha membesar dan berkata, “Wow cantik sekali, Amena pasti senang menerimanya dan dia akan terus mengingat pamannya dari Indonesia.”

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Sudah setengah tahun aku tidak bertemu dua jundi kecil itu. Amena mungkin sudah hafal juz dua puluh sembilan. Dan Si Hasan sudah bisa membaca tulisan. Aku tidak tahu sama sekali bahwa boneka panda yang aku beli tanpa sengaja itu suatu saat nanti akan membawaku ke kaki langit cinta yang tiada tara indahnya. Kaki langit cinta orang-orang yang bercinta karena Allah Subhanahu wa Ta ’ala.

Di Cleopatra Restaurant (AAC Page 8)


Di Cleopatra Restaurant

“Dia benar-benar anak pelacur sial! Dia benar-benar anak setan! Anak tak tahu diuntung. Kalau sampai tampak batang hidungnya akan kurajah-rajah mukanya biar tahu rasa!”

Kami mendengar Si Muka Dingin Bahadur menyumpah serapah dari dalam flatnya dengan suara seperti guntur. Entah ada apa lagi. Lalu kami mendengar suara perempuan membentak tak kalah sengitnya. Ia menyalahkan Si Muka Dingin dan memakinya habis-habisan. Itu mungkin suara Madame Syaima, isteri Si Muka Dingin. Madame Syaima tidak terima dibilang pelacur. Lalu terdengar tamparan dan jeritan. Beberapa barang pecah. Kami berlima sudah sampai di halaman. Baru Yousef yang turun menyusul. Pakaiannya fungky betul. Tuan Boutros, Madame Nahed dan Maria belum turun.

“Maaf ya agak terlambat. Biasa, perempuan dandan dulu,” kata Yousef.

Kami manggut-manggut saja. Tak lama kemudian Tuan Boutros, Madame Nahed dan Maria tampak menuruni tangga apartemen satu persatu. Mereka berjalan mendekati kami. Tuan Boutros tampak lebih muda dari biasanya. Ia memakai kemeja warna krem dengan lengan dilingkis. Madame Nahed berpenampilan seperti aristokrat Perancis. Pafumnya menyengat. Ini yang aku tidak suka. Wanita Mesir kalau memakai parfum seolah harus tercium dari jarak seratus meter. Yang paling menawan tentu saja Maria. Dengan gaun malam merah tua dan menggelung rambutnya ia terlihat sangat cantik. Wajah pualamnya seperti bersinar di kegelapan malam. Mereka benar-benar siap ke pesta. Kami berlima berpakaian biasa saja. Si Rudi malah memakai celana trening warna biru muda. Trening yang terkadang buat main sepak bola. Memang benar-benar seadanya.

Tuan Boutros mengatur siapa yang ikut mobilnya dan siapa yang ikut mobil Yousef. Keluarga itu memang memiliki dua mobil. Jeep Cheroke hijau metalik yang biasa dibawa Tuan Boutos kerja dan sedan forsa hitam yang seringkali dibawa Yousef. Empat orang dari kami ikut mobil Yousef. Madame Nahed dan Maria ikut Tuan Boutros. Aku melangkah ke arah mobil Yousef. Namun Tuan Boutros memanggil, “Fahri, kau ikut aku!”

“Ya, kau naik sini Fahri!” seru Madame Nahed.

Terpaksa aku belok ke mobil Cheeroke. Madame Nahed naik di depan dan duduk di samping Tuan Boutros. Maria di belakang. Masak aku harus duduk di samping Maria. Dan parfumnya itu. Nuraniku tidak setuju. Satu mobil tak apa, tapi selama tempat duduk bisa di atur lebih aman di hati kenapa tidak. Aku mendekati Madame Nahed dan berbicara dengan halus,

“Maaf Madame, boleh saya duduk di depan. Saya ingin berbincangbincang dengan Tuan Boutros selama dalam perjalanan.”

Madame Nahed tersenyum, “Oh ya, dengan senang hati.”

Dia lalu turun dan pindah ke belakang duduk di samping puterinya. Aku naik dan duduk di samping Tuan Boutros. Belum sempat Tuan Boutros menyalakan mesin terdengar suara Si Muka Dingin memanggil dengan suara mengguntur,

“Hai Boutros tunggu!”

Kami semua menoleh ke asal suara. Si Muka Dingin datang dengan tergopoh.

“Di mana Noura kau sembunyikan, Boutros!”

Kami berpandangan. Si Muka Dingin telah berdiri di dekat Tuan Boutros. Dengan tenang Tuan Boutros menjawab, “Apa saya tidak memiliki urusan yang lebih penting dari mengurusi anakmu, heh?”

“Kau pasti tahu di mana Noura berada?”

“Siapa yang peduli dengan anakmu?”

“Malam itu sebelum tidur Mona melihat Maria turun menghibur Noura di jalan. Kalian pasti tahu sekarang di mana Noura berada!”

“Malam itu malam itu apa? Aku tidak tahu! Kalau begitu tanya saja sama Maria. Jangan tanya aku!”

“Hai Maria bicara kau! Kalau tidak kusumpal mulutmu dengan sandal!” si Muka Dingin menyalak keras seperti anjing.

Dadaku panas sekali mendengar kalimat Si Muka Dingin yang tidak tahu sopan santun ini. Tuan Boutros kulihat menggerutukkan giginya, ia tentu marah puterinya dibentak kasar begitu, tapi mukanya tetap tenang memandang ke depan. Ia tidak menjawab sepatah kata pun.

“Tuan Bahadur, memang benar, malam itu aku turun menghibur Noura. Tapi Noura tidak bisa dihibur. Ia menangis terus dan tidak berbicara sepatah kata pun padaku. Aku jengkel, lalu ya kutinggal dia. Setelah itu aku tidak tahu kemana dia. Kukira dia kembali ke rumah Anda.”

“Hmm.. .jadi begitu. Anak itu memang keras kepala dan menjengkelkan bukan? Kau saja dibuat jengkel. Aku ayahnya dibuat jengkel setiap hari. Kalau ketemu akan kubunuh anak itu biar tidak membuat jengkel lagi !”

“Sudah cukup bicaramu Bahadur? Kami ada urusan!” Kata Tuan Boutros.

Si Muka Dingin tidak menjawab. Ia hanya pergi begitu saja sambil mengepalkan tinjunya, ia mendesis “Kalau kembali anak itu akan kukuliti biar tahu rasa!”

“Puji pada Tuhan, Si Brengsek itu tidak macam-macam.” Madame Nahed mendesah lega. Tuan Boutros cepat-cepat menyalakan mesin. Lalu perlahan menjalankan mobil meninggalkan halaman apartemen dibuntuti oleh Yousef. Selama dalam perjalanan Tuan Boutros banyak bercerita tentang hal menjengkelkan Si Muka Dingin. Aku meminta beliau tidak usah meneruskan. Aku minta topik pembicaraan yang menarik, yang mengasyikkan, yang menyenangkan seirama dengan malam kebahagiaan Madame Nahed. Maria memuji usulku. Madame Nahed lalu bercerita tentang Maria kecil. Hal-hal kecil yang Maria lakukan. Maria sesekali menjerit manja minta mamanya tidak meneruskan. Ia malu katanya. Tapi Madame Nahed malah seperti tertantang untuk menceritakan semakin banyak. Tuan Boutros sekali menimpal kisah yang diceritakan isterinya. Maria jadi lakon. Aku diam saja. Hanya sesekali bertanya, benarkah? Maria akan langsung menyahut, tidak benar, mama bohong! Madame Nahed dan Tuan Boutros akan menyahutnya dengan tawa terpingkal-pingkal.

“Maria ini waktu kecil sampai umur empat tahun masih menetek. Umur lima tahun masih ngompol apa nggak menyebalkan!” kata Madame Nahed memperolok puterinya.

“Benarkah itu?” sahutku santai sambil memandang sinar purnama yang keperakan di atas riak sungai Nil yang memanjang di samping kiri jalan.

“Ah itu bohong. Tak mungkin itu terjadi!” tukas Maria cepat setengah teriak.

“Itu benar. Kalau tidak percaya nanti kalau bibinya yang bernama Latefa datang tanyakan padanya,” kata Tuan Boutros membela isterinya.

“Itu bukan sesuatu yang tidak baik. Tidak apa-apa. Menetek pada ibu dalam waktu yang lama malah membuat cerdas. Begitu yang kubaca pada sebuah majalah,” sahutku.

Maria berterima kasih padaku karena aku membelanya.

Akhirnya Tuan Boutros memarkir mobilnya di halaman sebuah restaurant mewah. Cleopatra Restaurant. Terletak di pinngir sungai Nile. Bersebelahan dengan Good Shot dan Maadi Yacht Club. Pantas saja mereka berpakaian dan berpenampilan serius. Kami berlima berpandang-pandangan.

“Santai saja. Kita ini turis. Turis ‘kan biasa berpakaian santai?” bisik Hamdi dalam bahasa Indonesia.

“Tapi masak pakai trening yang sudar pudar warnanya begitu?” lirih Saiful sambil meringis memandang Rudi. Aku tersenyum. Baru kali ini kulihat Rudi tidak percaya diri. Muka anak Medan ini seperti kepiting rebus. Di antara kami berlima yang berpakaian paling mengenaskan memang dia. Hamdi lumayan necis, tapi sandal kulit bututnya membuat hati yang melihatnya tidak tahan. Sudah berkali-kali aku mengingatkan agar keduanya membuang jauh-jauh adat klowor yang mereka bawa dari pesantren tradisional. Tapi mereka masih saja suka klowor, padahal baginda Nabi mencontohkan kerapian, kebersihan dan penampilan yang meyakinkan. Memang tidak mudah merubah watak dan gaya hidup. Namun Rudi dan Hamdi jauh lebih baik dari saat pertama kali aku mengenal dan serumah dengannya. Sekarang sudah mulai bisa membagi waktu dan disiplin. Kalau mau diskusi mau menyeterika baju biar sedikit rapi. Tapi aku sangat menyayangkan mereka tadi tidak mau mendengar nasihatku agar berpenampilan sedikit necis. Mereka hanya menyahut, “Alah cuma mau makan saja kok repot-repot!”

Untung Saiful dan Mishbah mengerti nasihatku. Aku sendiri berpakaian tidak bagus sekali namun juga tidak akan memalukan. Kaos katun hijau muda dan rompi santai hijau tua, warna kesayangan. Tak kalah fungkynya dengan Yousef .

Tuan Boutros membawa kami masuk restoran dan memilihkan tempat duduk yang paling menjorok ke sungai Nil seperti dek kapal. Terbuka tanpa atap, bintang-bintang kelihatan. Restauran ini ada dua bagian. Bagian tertutup dan bagian terbuka. Mejanya juga beraneka. Namun warnanya sama. Ada yang untuk dua orang. Empat orang. Dan ada yang bundar untuk enam orang. Kami memilih dua meja bundar yang berdekatan. Tuan Boutros, Madan Nahed, dan Maria telah duduk satu meja terlebih dahulu. Aku mengajak Yousef duduk di meja yang satunya. Teman-teman mengikuti aku. Pas enam orang. Tuan Boutros meminta satu di antara kami duduk satu meja dengan mereka. Kusuruh Rudi. Dia tidak mau. Kupaksa Saiful. Dengan agak ragu-ragu akhirnya dia beranjak juga. Kulihat para pengunjung yang ada. Mereka berpakaian bagus-bagus. Ada sepasang orang bule. Yang lelaki pakai jas yang perempuan pakai gaun malam resmi. Di pojok kanan orang Mesir gemuk botak dengan isterinya. Keduanya rapi. Yousef berbisik kepadaku, “Ini restauran orang besar. Para diplomat dan bisnisman sering kemari. Lihat siapa yang ada di meja dekat lampu hias itu, kau pasti mengenalnya!”

Aku melihat ke arah yang ditunjukkan Yousef. Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kulihat. Di sana ada Adel Imam dan Yusra sedang menyantap makanan dan berbincang. Dua artis Mesir itu makan malam di restauran ini. Teman-teman melongok ke arah keduanya. Yousef mengingatkan, “Jangan terlalu kelihatan heboh! Restauran ini menjaga ketenangan dan kenyamanan pelanggannya.”

Seorang pelayan menanyakan menu. Madame Nahed berkata kepada kami, “Silakan pilih sendiri menunya. Jangan malu-malu. Hai Hamdi, kau pilih apa?”

Hamdi bingung. Ini baru pertama kalinya dia makan di restauran elite. Menunya juga asing semua.

“Semua masakan khas Timur Tengah ada,” bisik Yousef.

Tiba-tiba Saiful beranjak mendekati aku dan berbisik, “Mas, tolong kau saja yang satu meja dengan Tuan Boutros, aku tidak enak. Aku tidak bisa bicara banyak.”

Wajahnya kulihat pucat. Aku merasa kasihan juga melihatnya. Kalau dia sampai malu, dan pulang masih lapar padahal baru saja dari restauran besar, apa tidak kasihan. Aku jadi teringat dengan cerita teman satu pondok dulu. Namanya Bayu. Pakdenya dari ibu dapat isteri kalangan keraton Kasunanan dan tinggal di kawasan elite Jakarta. Suatu kali ia liburan ke tempat Pakdenya itu. Di sana semua

serba teratur. Waktu tidur, waktu belajar, waktu istirahat, baju tidur, baju santai, dan makannya juga teratur waktu dan tata caranya. Saat itu dia kelas tiga SMP. Dia yang biasa di desa serba tidak teratur jadi grogi. Biasa makan tanpa sendok tanpa meja makan, tanpa garpu dan lain sebagainya jadi serba grogi. Dia sebenarnya ingin tambah karena masih lapar, tapi tidak berani. Padahal menunya sangat nikmat. Menu yang jarang sekali ia makan di desanya. Ia takut untuk tambah. Ketika hendak tidur ia merasa masih lapar. Ia tidak bisa tidur dengan perut lapar. Akhirnya ia minta izin pada Pakdenya untuk keluar rumah sebentar. Ia pergi ke warteg dan makan sampai kenyang. Ternyata anak pakdenya yang paling besar melihatnya saat baru pulang dari rumah temannya. Ia pun ditanya sama budenya kenapa jajan padahal telah tersedia banyak makanan, apa makanan di rumah budenya tidak enak? Ia tidak bisa menjelaskan, malah menangis. Aku tidak mau teman-teman mengalami nasib tragis seperti Bayu kecil itu.

Sebelum beranjak ke meja Tuan Boutros, aku berpesan pada teman-teman dengan bahasa Indonesia, “Nanti makan yang banyak santai saja. Jika masih ingin tambah ya tambah saja seperti di rumah sendiri.”

Tuan Boutros heran Saiful pindah tempat duduk. Kubilang ia ingin berbincang dengan Yousef. Tuan Boutros menganggukkan kepala.

Pelayan restauran beralih mendekati aku dan bilang,

“Anda pesan apa? Teman-teman Anda ikut Anda?”

Madame Nahed tersenyum. Maria kelihatannya ingin tahu aku suka menu apa. Untung aku pernah diajak makan malam ke sebuah restauran tak kalah elitenya di Mohandesen oleh Bapak Atdikbud yang jadi ketua takmir masjid Indonesia di Cairo. Jadi, aku tidak merasa asing sekali dengan menu yang tertulis.

“Minumnya Seasonal Fresh Fruits. Makannya Chicken Mugharabieh with Valanciane Rice dan menu penutupnya minta Pineapple Gateau,” kataku mantap. Itu adalah menu yang dipilih Ibu Atdikbud yang waktu itu tidak aku rasakan. Sebab waktu itu aku memilih menu utama Onion and Cheese Omelette yang tak jauh beda dengan telur dadar, cuma lebih besar dan tebal. Waktu itu aku sedikit menyesal memilih menu yang keliru. Ih jadi geli mengingatnya. Sekarang aku yakin sekali, aku tidak keliru pilih menu.

“Fathi, kau memilih menu kesukaanku,” komentar Maria, ia lalu bilang pada pelayan, “aku sama dengan dia.” Tuan Boutros pilih Lamb Stew sedangkan Madame Nahed pesan Chicken Kofta with Tomato Sauce dan Yousef suka Kabab Lahmul Ghanam(Sate kambing). Begitu hidangan tersedia kami menyantap dengan tenang sambil menikmati semilir angin sungai Nil dan sesekali melihat riang gelombangnya yang keperakan diterpa sinar rembulan. Ketika kami sedang asyik makan seorang lelaki berdasi menghampiri Tuan Boutros. Tuan Boutros berdiri dan berjabat tangan.

“Fahri, this is Mr. Rudolf from German, and Mr. Rudolf, this is Fahri from Indonesia!” Tuan Boutros memperkenalkan kenalannya dengan pengucapan yang sangat berlogat Arab.

Mr. Rudolf menjabat tanganku erat.

“Pleased to meet you Mr. Rudolf.” Sapaku pada bule di hadapanku dengan tersenyum. Lalu aku berbasa-basi padanya dengan bahasa Jerman, “Sin Sie Tourist?”(Apakah Anda turis?)

Mr. Rudolf agaknya terkejut mendengar pertanyaanku.

“Nein. Sprechen Sie Deutsch?”(Tidak, kau bisa bicara bahasa Jerman? ) Mr. Rudolf balik bertanya dengan nada heran apa aku bisa berbahasa Jerman.

“Ja.” Jawabku sambil tersenyum. Lalu kami berbincang sesaat lamanya dengan bahasa Jerman. Ia menerangkan dirinya adalah staf ahli atase perdagangan Jerman di Kairo. Dia bertanya apa aku seorang diplomat. Kujelaskan statusku di Mesir. Tuan Boutros menawarkan pada Mr. Rudolf untuk duduk bersama kami. Mr. Rudolf mengucapkan terima kasih, ia ditunggu isterinya di meja yang lain, lalu beranjak pergi. Madame Nahed menanyakan di mana aku belajar bahasa Jerman. Dan menyayangkan Tuan Boutros yang tidak bisa berbahasa Jerman padahal banyak koleganya yang berasal dari Jerman. Maria mengusulkan agar ayahnya belajar bahasa Jerman padaku saja. Tuan Boutros hanya tersenyum mendengar celoteh isteri dan puterinya.

Usai makan kami tidak langsung pulang. Madame Nahed memesan koktail dan mengajak kami semua ke bagian dalam, di sana ada hiburan musik klasik. Aku sebenarnya ingin langsung pulang. Tapi Madame Nahed dan Tuan Boutros memaksa, “Kita lihat sebentar saja.”

Di bagian dalam, di tengah ruangan ada panggung kecil setinggi setengah meter. Bentuknya bundar. Di atas panggung bundar itu ada seorang perempuan muda berambut pirang menggesekkan biola dengan penuh penghayatan.

“Yang ia mainkan sekarang ini karya Bedhoven. Perempuan itu pemain biola terkenal dari Rumania.” Seorang pelayan restoran berkata pada seorang wanita setengah baya yang berada tak begitu jauh dariku.

Satu lagu selesai. Pengunjung bertepuk tangan. Pemain biola perempuan itu kembali menggesek biolanya. Kali ini bernada riang. Beberapa orang pengunjung berdiri dari kursinya menuju ke dekat panggung. Mereka berdansa. Orang Me sir botak yang tadi kulihat juga berdansa dengan isterinya.

Tuan Boutros meraih tangan Madame Nahed. Madame Nahed tersenyum dan menengok pada Maria, “Maria, ayo cobalah kau berdansa. Sekali ini saja. Coba ajak Fahri atau siapa terserah!”

Aku terkejut mendengarnya. Tuan Boutros menimpal, “Ya Fahri, Maria itu tidak pernah mau berdansa. Coba kau ajak dia! Mungkin kalau kau yang mengajak dia mau.”

Aku diam. Kulirik teman-teman. Mereka senyam-senyum. Tuan Boutros dan Madame Nahed sudah larut dalam irama musik dan berdansa mesra. Maria mendekatiku.

“Fahri, mau coba berdansa denganku? Ini kali pertama aku mencoba berdansa,” lirihnya malu. Aku harus berbuat apa. Apakah aku harus ikut budaya Eropa. Aku teringat kisah awal-awal Syaikh Abdul Halim Mahmud muda saat belajar di Perancis. Beliau juga mendapat godaan yang tidak jauh berbeda dengan aku saat ini. Dan Syaikh Abdul Halim Mahmud muda mampu melewati ujian itu dengan baik. Beliau yang dikenal sebagai ulama sufi modern yang arif billah itu akhirnya dipilih sebagai Grand Syaikh Al Azhar. Jika ada ahli ibadah dan wali di puncak gunung tanpa godaan itu bukan sesuatu yang mengagumkan. Tapi jika ada ahli ibadah bisa berinteraksi dengan baik di tengah kota metropolitan dengan segala hiruk pikuk budaya hedonisnya itu mengagumkan. Begitu Syaikh Ahmad berkata padaku. Tawaran Maria bagi seorang pemuda adalah tawaran menarik.

Siapa tidak suka bergandeng tangan dan berdansa dengan gadis secantik dia. Di sinilah letak ujiannya.

“Maaf aku tidak bisa,” jawabku sambil tersenyum dan menangkupkan dua tangan di depan dada.

“Sama, aku juga tidak bisa. Kita belajar bersama pelan-pelan. Mari kita coba!” sahut Maria yang belum memahami sepenuhnya penolakanku.

“Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran Al-Qur’an dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia isteri atau mahramku. Kuharap kau mengerti dan tidak kecewa!” terangku tegas. Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang keraguan yang membuat setan masuk ke dalam aliran darah.

“Oh begitu. Maaf, aku tidak tahu. Kalau tahu, aku tak mungkin menawarkan hal ini kepadamu. Aku salut atas ketegasanmu menjaga apa yang kau yakini,” kata Maria. Tak ada gurat kecewa di wajahnya.

“Maria aku keluar dulu. Aku mau menikmati keindahan sungai Nil. Jika ayahmu sudah selesai panggil saja aku di luar,” pesanku pada Maria sebelum aku melangkah keluar. Yousef dan teman-teman membuntutiku. Lima belas menit kemudian Maria memanggil kami untuk pulang. Pukul 22.45 kami sampai di halaman apartemen. Teman-teman memuji menu yang kupilihkan. Aku yakin mereka kenyang.

* * *

Sampai di flat teman-teman tidak langsung tidur, mereka berbincang di ruang tamu. Sementara aku masuk kamar dan membaca surat Nurul yang mengisahkan apa yang dialami oleh Noura yang malang.

Nurul menulis, bahwa Noura mengaku sampai berumur delapan tahun sangat bahagia dan disayang ayah ibunya yaitu Si Muka Dingin Bahadur dan Madame Syaima. Keduanya bahkan sangat menyayanginya melebihi dua kakaknya. Dia memang berbeda dengan kedua kakaknya. Sejak kecil dikenal cerdas, berkulit putih bersih, berambut pirang, lincah dan cantik. Tidak seperti dua kakaknya yang hitam seperti orang Sudan. Petaka itu datang ketika kakak sulungnya Mona pulang dari sekolah dan menangis sejadi-jadinya. Setelah dibujuk ayah dan ibunya Mona mengaku dihina oleh teman satu bangkunya di

sekolah. Mona dihina sebagai anak syarmuthah. Hinaan itu disebar ke seluruh kelas. Temannya itu mengatakan, ‘Tidak mungkin ibumu itu tidak melacur. Buktinya adik bungsumu berkulit putih bersih dan berambut pirang. Dari mana bisa begitu kalau tidak melacur dengan orang lain. Ayahmu ‘kan kulitnya hitam dan negro seperti kamu dan ibumu!” tak ayal itu adalah penghinaan yang sangat menyakitkan. Pada hari yang sama ayahnya sedang dipecat dari kerjanya di pabrik baja. Dan pecahlah prahara itu. Malam harinya ayahnya memaki-maki ibunya dan mencelanya sebagai pelacur. Ayahnya sejak itu tidak lagi menyayanginya. Apalagi sebelumnya memang seringkali orang heran dengan ketidaksamaan Noura dengan kedua orang tua dan kakaknya. Sejak itu Noura jadi bulan-bulanan kedua kakaknya dan ayahnya. Ibunya seringkali melindungi dirinya. Namun ketika ayahnya membawa perempuan lain yang cantik dan tidak hitam ke rumah, ibunya menjadi terganggu pikirannya. Ia jadi seperti orang tidak waras. Kadang menangis, marah, ngomel sendiri dan lain sebagainya. Kadang menyayangi Noura dan terkadang tidak jarang ikut menyakitinya. Ayahnya akhirnya dapat pekerjaan sebagai tukang pukul di sebuah Nigh Club yang mengapung di atas sungai Nil. Mona, kakak sulungnya ikut kerja di sana. Sedangkan Suzan katanya kerja di sebuah losmen di Sayyeda Zaenab. Berangkat menjelang maghrib dan pulang sekitar jam dua dini hari. Menurut bisik-bisik para gadis tetangga kedua kakak Noura itu kerjanya tak lain adalah menjual diri. Beberapa kali Noura melihat Mona membawa teman lelaki ke rumah dan diajak tidur di kamarnya. Ayahnya malah senang, sedangkan ibunya sudah semakin buruk ingatannya meskipun sesekali datang kesadarannya dan menatapi nasib dirinya dan nasib Noura. Di rumah itu Noura diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga. Memasak, mencuci, mengepel semua tanggung jawab Noura. Untungnya Noura masih dibolehkan ayahnya sekolah di Ma ’had Al Azhar, itu pun karena sekolah di sana gratis dan kalau pulang agak terlambat akan mendapatkan hukuman dari ayah dan kedua kakaknya. Beragam bentuk siksaan ia terima dari orang yang ia anggap keluarganya. Puncak derita Noura adalah enam bulan terakhir ini, ketika ayahnya memaksanya dia agar ikut bekerja di Night Club seperti kakaknya. Bahkan ayahnya dapat tawaran dari manajernya agar Noura mau jadi penari perut tetap di Night Clubnya. Bos ayahnya memang pernah ke rumahnya sekali dan melihat

Noura. Ayahnya pada waktu itu cerita pada bosnya kalau Noura saat TK dulu pernah menang lomba menari. Jelas Noura tidak bisa memenuhi keinginan ayahnya itu. Sejak itu ia sangat menderita. Puncaknya adalah malam itu. Sore sebelum berangkat kerja, ayahnya memaksanya untuk ikut Mona berangkat setelah maghrib, ada turis asing yang memesan perawan Mesir. Noura dihargai sepuluh ribu pound. Harga yang menurut ayah dan kedua kakaknya sangat tinggi. Ia menolak. Ayahnya lalu mencambuk punggungnya berkali-kali. Ia tidak tahan, akhirnya ia pura-pura mau. Ayahnya berangkat. Tapi begitu shalat maghrib ia mengurung diri di kamar. Tidak mau keluar. Tidak mau membukakan pintu. Bagaimana mungkin dia yang muslimah dan sekolah di Al Azhar akan melakukan perbuatan dosa besar itu. Mona tidak bisa berbuat apa-apa. Tengah malam ayahnya pulang dan terjadilah penyiksaan dan pengusiran itu. Ayah menyumpahinya sebagai anak setan, anak haram, anak tidak tahu diuntung. Mona menampar mukanya dengan sandal berkali-kali sambil berkata, “Kau ini siapa? Kau anak siapa hah? Kau bukan adik kami dan bukan keluarga kami? Aku akan buktikan nanti lewat test DNA kau bagian dari keluarga kami!”

Aku menitikkan air mata membaca kisah penderitaan yang dialami Noura. Aku tidak melihat bekas-bekas cambukan di punggungnya, tapi aku bisa merasakan sakitnya. Aku tidak melihat wajahnya saat itu tapi hatiku bisa menangkap rintihan batinnya yang remuk redam. Aku seolah ikut merasakan kecemasan, ketakukan dan kesendiriannya selama ini dalam neraka yang dicipta Si Muka Dingin Bahadur. Aku tiba-tiba merasa Noura itu seperti adik kandungku sendiri. Entah bagaimana aku bisa merasakan begitu, padahal aku tidak memiliki adik. Aku anak tunggal. Tapi aku seperti merasakan apa yang dirasakan Noura. Seandainya dia adikku tentu tidak akan aku biarkan ada orang jahat menyentuh kulitnya. Akan aku korbankan nyawaku untuk melindunginya.

Aku kembali menitikkan air mata. Oh Noura, semoga Allah menjagamu di dunia dan di akhirat. Gadis berwajah putih dan innocence itu selalu berjalan menunduk. Jika berpapasan kami hanya bersapa dengan tatapan mata sekilas. Tanpa kata-kata. Tapi kami merasa dekat dan saling kenal. Aku tidak mungkin membiarkan Noura terus jadi bulan-bulanan para serigala berkepala manusia. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Dan sampai sejauh mana langkahku? Aku

adalah orang asing di sini. Aku menarik nafas panjang. Diam memejamkan mata dengan pikiran terus mengembara mencari jalan keluar. Aku tidak bisa, dan tidak akan mampu bertindak sendiri. Akan aku serahkan masalah ini pada Syaikh Ahmad, dia adalah intelektual muda yang sangat peduli pada siapa saja. Beliau pasti mau membantu Noura.