Monday, January 07, 2008

Ketika Hati Bersimpuh Di Hadapan Ilahi

Ma`iz bin Malik datang menemui Rasulullah saw. seraya berkata :”Ya Rasulullah, bersihkanlah saya dari dosa yang telah saya lakukan.” Rasulullah saw. menjawab: “Celaka engkau ! Pulanglah , Mintalah ampun kepada Allah swt. dan bertaubatlah kepada-Nya !”. Ma`iz lalu berpaling, tapi tidak berapa jauh dari tempat itu, ia kembali lagi menghadap Rasulullah saw. dan berkata lagi :”Ya, Rasulullah. Suci kanlah diri saya dari dosa yang telah saya lakukan.” Nabi saw pun berkata seperti sebelumnya, sampai terulang kejadian semacam itu tiga kali. Dan ketika untuk keempat kalinya Ma`iz menghadapnya dan mengulangi perkataannya itu, maka Rasul akhirnya bertanya kepadanya :”Dalam perkara apa ?”, ia menjawab :”Dari perbuatan zina”. Kemudian Rasulullah saw bertanya kepada yang hadir ketika itu: “Apakah ia gila ?”, dan salah seorang sahabat mengabari bahwa Ma`iz sama sekali tidak gila. “Apa ia mabuk khamr ?” tanya Rasulullah saw selanjutnya. Lalu salah seorang di antara para sahabat itu bangkit dan mencium nafas yang keluar dari mulut Ma’iz, namun ia sama sekali tidak mencium bau minuman keras. Kemudian Rasulullah saw. mengintrogasinya :”Apa engkau telah berzina ?”, Ma`iz menjawab: “Benar, ya Ra sulullah.” Segera Rasulullah saw memerintahkan kepada para sahabat untuk merajamnya. Pada saat itu, yang hadir terbagi menjadi dua kelompok, yaitu pihak yang tidak senang atas perbuatan zina dengan berpendapat :”Celakalah, ia telah terjerat oleh dosa-dosanya.” Sedang pihak yang simpati atas pengakuan Ma`iz mengatakan : “Tidak ada taubat yang melebihi taubatnya Ma`iz.” Akhirnya Ma`iz menghampiri Rasulullah saw, dan berjabat tangan dengannya. Kemudian ia berkata :”Lemparilah aku dengan batu-batu sampai aku mati.” Maka ia dirajam dua atau tiga hari, kemudian datanglah Rasul sambil memberikan salam kepada para sahabat yang sedang duduk, dan beliau pun ikut duduk. Lantas Rasulullah saw. berkata :”Mintalah ampunan kepada Allah swt untuk Ma`iz bin Malik, sungguh ia telah benar-benar bertaubat kepada Allah swt, seandainya taubatnya itu kamu bagi-bagikan kepada satu ummat pasti akan mencukupinya.”

Beberapa hari sesudah itu, tiba-tiba datang seorang wanita dari daerah Ghamid menghadap Rasulullah saw seraya berkata :”Ya Rasulullah saw., sucikanlah diriku dari dosa-dosa yang telah aku lakukan.” Rasul menjawab :”Celakalah engkau, pulanglah!, mintalah ampun kepada Allah swt dan bertaubatlah kepada-Nya!”. Namun wanita itu kemudian bertanya :”Apakah tuan akan mengulangi sikap tuan terhadap Ma`iz kemarin kepada saya?”. “Ada apa dengan anda ?” Rasul bertanya kepadanya. Sambil mengusap perutnya yang sedang hamil, wanita itu menjawab :”Kehamilanku ini adalah hasil dari perbuatan mesum yang aku lakukan bersama Ma`iz!”. Dengan terkejut Rasûlullâh saw berkata :”Jadi engkau adalah wanita yang dihamilinya?”. Wanita itu menjawab “Benar!”. Baiklah, tunggu sampai engkau melahirkan anak yang ada dalam perutmu ini.” (Diriwayatkan dari Buraidah). Buraidah selanjutnya berkata :”Kemudian wanita itupun dirawat oleh seorang Anshar sampai akhirnya ia melahirkan anaknya. Kemudian ia pun kembali mendatangi Rasulullah saw dan berkata :”Aku telah melahirkan bayi dalam kandunganku”. Namun Rasulullah saw menjawab :”Tetapi saya tidak akan merajamnya dengan meninggalkan bayinya tanpa seorangpun yang menyusuinya.” Saat itu tampillah seorang dari kaum Anshar seraya berkata :”Saya akan menanggung penyusuannya ya Nabiyullah.” Selanjutnya Buraidah berkata :”Kemudian dirajamnya wanita itu.” (HR.Muslim No.1695).

Dalam riwayat An-Nasa`i, disebutkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan menggali sebuah lubang dan mengubur wanita itu sampai ke dadanya, kemudian memerintahkan kepada kaum muslimin untuk merajamnya. Pada saat itu datanglah Khalid bin al-Walid dengan menggenggam sebuah batu dan melemparkannya ke arah wanita itu, sehingga darahnya memercik mengenai wajah atau dahi Khalid. Melihat itu, Khalid pun menyumpahi wanita itu, Rasulullah saw mendengar umpatan Khalid, dan memperingatinya :”Wahai Khalid, jangan engkau berkata demikian, demi Zat Yang jiwaku berada ditangan-Nya, Sungguh wanita ini telah melakukan taubat yang sebenar-benarnya, yang apabila taubatnya dibagikan kepada satu kaum pasti akan mencukupinya.” Setelah itu Rasulullah saw. memerintahkan mengangkat mayat wanita itu untuk di shalatkan dan dikuburkan. (HR.An-Nasa`i, dalam As-Sunan Al-Kubra, No. 7197). Dari fakta historis Islam ini, kita dapat menangkap betapa tingginya kesadaran kaum muslimin terdahulu terhadap penarapan syariat Islam, kisah Ma`iz bin Malik dan kekasihnya merupakan salah satu dari banyak contoh tentang kesadaran dan semangat penerapan syariat Allah. Meski tidak ada seorang pun mengetahui perbuatan zina yang mereka lakukan, dan sekalipun terbuka berbagai kesempatan untuk terhindar dari jeratan hukum atas perbuatan mesum yang dilakukannya, namun mereka berdua menutup semua pintu dan celah itu bagi dirinya, bahkan sebaliknya ia mengakui segala kesalahannya dan memohon untuk diterapkan hukum pidana Islam atas dirinya. Ungkapan historis yang terlontar dari Ma`iz dan kekasihnya, “Bersihkan diri saya, ya Rasulullah !”, mencerminkan suatu kesadaran yang kuat, mengalahkan keinginan manusiawi mereka berdua untuk tetap survival (bertahan hidup) di dunia yang fana ini. Mereka berdua lebih senang memilih disucikan dari dosa melalui rajam terhadap perbuatan yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Allah swt dan terbebas dari pengadilan akhirat, daripada menutup-nutupi kesalahan dirinya demi untuk tetap mempertahankan keinginan menikmati manisnya kehidupan dunia sambil bermohon ampunan kepada Allah atas kesalahannya, yang siapa tahu akan dapat di ampuni-Nya juga tanpa melalui hukum rajam tersebut.Kekuatan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap yang dimiliki Ma`iz dan kekasihnya, maupun para sahabat lainnya r.a tidak semata-mata muncul begitu saja me lainkan lahir dari sebuah konsepsi yang sama di kalangan mereka mengenai wahyu Allah swt, sebuah konsepsi yang terpatri kuat dalam hati dan pikiran mereka, konsepsi yang ditanamkan oleh Rasulullah saw melalui berbagai peperangan, dakwah, dan berbagai cobaan kehidupan dunia, dan dengan konsepsi ini mereka mampu mene rapkan syariat Islam dan menciptakan keadilan, perluasan wilayah pembebasan dan menjaga stabilitas regional. Bahkan melalui konsepsi ini terbentuklah komunitas Muslim yang pertama secara unik (QS. 3 : 110). Konsepsi itu adalah keharusan bagi mereka untuk menerima al-Qur`an dan melaksanakannya dalam kehidupan keseharian, baik yang berkaitan dengan segala urusan pribadi maupun dalam komunitas yang hidup bersamanya (Q.S. 2 : 285). Sikap mereka kepada al-Qur`an tak ubahnya bagaikan prajurit yang menerima “perintah harian” di lapangan, dengan segera melaksanakannya setelah mendengar perintah tersebut. Dari Ibnu Mas`ud r.a. berkata : “Dahulu kami, jika mempelajari 10 ayat kami tidak melaluinya sehingga kami mengerti maknanya dan mengimplementasikannya”. (Lihat “Tafsir Al Qur`an Al`Azhim” Ibnu Katsir, dalam Muqaddimah At-Tafsir / 22). Konsepsi ini sangat berbeda dengan sistem kajian sebagian orang “Tokoh pembaharu Islam” dalam menelaah al-Qur`an. Mereka tidak menghadap al-Qur`an untuk dimplementasikan melainkan hanya untuk mengkritisi, mengkoreksi bahkan merombak tatanan nilai di dalamnya. Kalau dulu para sahabat sebelum menghadap ke al-Qur`an membuang terlebih dahulu segala persepsi dan ketentuan pribadinya, untuk selanjutnya mengambil jawaban al-Qur`an atas segala pertanyaan yang bergejolak dalam diri mereka, sedang para “Tokoh pembaharu Islam” menghadap al-Qur`an dengan membawa persepsi dan ketentuan personal sebagai parameternya dalam menilai atau menafsirkan al-Qur`an untuk kemudian mencari dalil yang membenarkan apa yang telah ada dalam pemikiran dan benak mereka. Sehingga lebih mudahnya mereka menjadikan akal mereka sebagai timbangan terhadap wahyu. Maka wajar sekali apabila karya-karya mereka banyak mengandung kerancuan dan jauh dari semangat Qur`ani. Sampa-sampai seorang penafsir mengatakan bahwa nash al-Qur`an wajib ditakwilkan agar cocok dengan pemahaman akal !, suatu prinsip yang berbahaya mengingat wahyu dan akal bukanlah merupakan dua hal yang sepadan karena wahyu adalah pokok rujukan bagi akal, yang menimbang dan menguji kesimpulan serta meluruskan kekurangan dan penyimpangan akal. Sesungguhnya menerima otoritas wahyu tidaklah berarti mendepak akal , diantara keduanya tentu saja terdapat kesesuaian dan keserasian, namun akal bukanlah pemegang keputusan terakhir. Ringkasnya, menjadikan kitab Allah swt sebagai sumber petunjuk satu-satunya dalam kehidupan dan mengembalikan segala masalah hanya kepada-Nya merupakan suatu keharusan dari setiap diri kita. Kita sama-sama bersepakat bahwa dalam menanggulangi masalah kerusakan sebuah pesawat terbang, kita harus memanggil seorang insinyur yang membuat pesawat itu, dan kita sama-sama bersepakat bahwa seorang pilot yang akan mengoperasionalkan suatu pesawat terbang harus mengikuti buku petunjuk operasional pesawat yang dikeluarkan dari perusahaan yang memproduksinya. Tetapi mengapa kita tidak mau menerapkan prinsip ini dalam diri kita sendiri. Allah swt lah yang menciptakan kita dan hanya petunjuk-Nya yang benar. Sedang kita mengetahui bahwa pegangan yang mantap dan pengarahan yang benar hanyalah : Katakanlah:”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. (QS. 2:120)

Aisyah, Keutamaan dan Keluasan Ilmunya

Beliau, Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, atau juga biasa dipanggil dengan al-Shiddiqiyah yang dinisbatkan kepada al-Shiddiq yaitu orang tuanya sendiri Abu Bakar, kekasih Rasulullah SAW. Seorang wanita mulia dan istimewa dimana sebagian dari ilmu agama kita ini diambil darinya. Begitu banyak keutamaan dan kemuliaan yang dimilikinya, semoga Allah meridhainya dan mengumpulkannya dengan kekasihnya yang paling dicintainya yaitu Nabi kita Muhammad SAW.

Semoga setelah membaca kisah ini hati kita akan tersentuh dan semakin menambah rasa cinta kita kepada istri-istri Beliau. Beberapa keutamaannya tidak dapat dihitung dengan jari sehingga hanya sebagian kecil yang dapat dipaparkan disini, diantarnya adalah sebagai berikut :

1.Kecintaan Rasulullah kepadanya melebihi kecintaannya kepada istri-istri beliau yang lainnya yang semuanya ada 9 orang. Pada suatu ketika Rasulullah ditanya, “Siapakah orang yang paling engkau cintai ?” maka beliau menjawab, “Aisyah” Hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Amr bin ‘Ash, dimana dia datang kepada Nabi seraya bertanya,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling engkau cintai?” beliau menjawab,”Aisyah”, kemudian Amr bin Ash bertanya, “”Siapakah orang lelaki yang paling engkau cintai?” , beliau menjawab “Bapaknya (Abu Bakar)”. Dia bertanya, “Kemudian siapa lagi?” beliau menjawab “Umar”, yakni Ibnu Al Khaththab, semoga Allah meridhai semuanya.

2.Malaikat menyampaikan salam untuknya bukan hanya sekali. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim darinya (Aisyah), dimana Rasulullah telah bersabda, “Sesungguhnya Jibril telah mengucapkan salam untukmu”, maka aku menjawab,”Alaihis as-Salam”.

3. Allah telah menurunkan ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan pembebasan dirinya dari tuduhan dusta sebanyak sepuluh ayat dalam surat An-Nuur, dimana didalamnya Allah menjelaskan bahwa laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik, dan beliau tergolong wanita yang baik, membebaskan mereka dari tuduhan orang-orang yang menyebarkan tuduhan dusta itu, dan memberi kabar gembira bahwa bagi mereka surga, sebagaimana Allah berfirman,..”dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula. Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga) ” An-Nuur:26.

4.Pada saat Rasulullah sakit, beliau minta untuk tinggal dikamarnya (Aisyah), sehingga dia dapat mengurusnya sampai Allah memanggil ke hadirat-Nya (wafat). Rasulullah meninggal di rumah Aisyah, dimana beliau meninggal dalam pangkuannya. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan darinya (Aisyah), dia berkata:” Allah mewafatkan Rasulullah dimana kepala beliau berada diantara paru-paruku dan bagian atas dadaku, sehingga air liur beliau bercampur dengan air liurku” Bagaimana hal itu bisa terjadi, Abdurrahman saudara laki-laki Aisyah masuk ke rumah mereka , dimana ketika itu dia membawa siwak (alat penggosok gigi), lalu Rasulullah melihatnya. Aisyah memahaminya bahwa beliau ingin bersiwak, dan dia mengambil siwak dari Abdurrahman dan melembutkannya, lalu Rasulullah bersiwak dengannya. Setelah Rasulullah meninggal, maka siwak itu dipakai Aisyah. Inilah pengertian yang dimaksud dengan “air liur beliau bercampur dengan air liurku”.

5. Berdasarkan sabda Rasulullah,”Keutamaan Aisyah atas wanita yang lainnya bagaikan keutamaan tsarid (roti yang dibubuhkan dan dimasukkan kedalam kuah) atas makanan-makan yang lainnya”. Berkenaan dengan keluasan dan keunggulan ilmunya, tidak ada seorang ulamapun yang mengingkarinya.Banyak kesaksian dan pengakuan yang dikemukakan para ulama berkenaan dengan kredibilitas keilmuwan Aisyah. Hal ini menunjukkan betapa luas dan mumpuninya ilmu yang dimilikinya.

Kesaksian beberapa pakar ilmu pengetahuan dari kalangan ulama terdahulu :
5.1. Kesaksian putra saudara perempuannya (keponakannya) Urwah bin Zubeir tentang kredibilitas dan keunggulan ilmu yang dimiliki oleh Aisyah, sebagaimana yang diriwayatkan putranya Hisyam,”Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pintar dalam ilmu fiqh (agama), kedokteran dan syair selain Aisyah.
5.2. Kesaksian Az-Zuhri yang juga berkenaan dengan kredibilitas dan keunggulan ilmu yang dimiliki Aisyah, seraya berkata,”Seandainya diperbandingkan antara ilmu Aisyah dengan ilmu seluruh istri Nabi dan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu Aisyah jauh lebih unggul.”
5.3. Kesaksian Masruq berkenaan dengan ilmu yang dimiliki Aisyah yang berkenaan dengan masalah faraidh, sebagaimana yang terungkap dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Darda darinya seraya berkata, “Aku melihat para syeikh dari kalangan sahabat Rasulullah bertanya kepada Aisyah tentang faraidh (ilmu waris)
5.4. Kesaksian Atha’ bin Rabah, dimana ketika Allah berfirman, maka Aisyah merupakan orang yang paling faham, paling mengetahui dan paling bagus pendapatnya dibandingkan dengan yang lainnya secara umum.
5.5. Kesaksian Zubeir bin Awwam, dimana dia berkata sebagaimana hal ini telah diriwayatkan putranya Urwah, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pintar tentang Al-Qur’an , hal-hal yang difardhukan, halal dan haram, syair, cerita Arab dan nasab (silsilah keturunan) selain Aisyah.

Dengan mengemukakan lima kesaksian yang dipaparkan oleh para ulama besar dari kalangan sahabat dan tabi’in cukuplah sebagai bukti yang menunjukkan kredibilitas dan keunggulan ilmu yang dimiliki oleh Aisyah dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh para Sahabat Rasulullah dan para tabi’in lainnya. Aisyah meninggal pada bulan Ramadhan yang agung tepat pada tanggal 17 Ramadhan, pada usia 66 tahun. Dan, dimakamkan di Al-Baqi’ kawasan pemakaman yang terletak di kota Madinah. Hal ini sesuai dengan wasiatnya, dimana beliau berwasiat agar di makamkan di tempat pemakaman istri-istri Rasulullah.
Semoga Allah meridhainya …………amin.

Abdullah Bin Ummi Maktum RA

Siapakah laki laki itu, yang karenanya Nabi yang mulia mendapat teguran dari langit dan menyebabkan beliau sakit ? Siapakah dia, yang karena peristiwanya Jibril Al Amin harus turun membisikkan wahyu Allah ke dalam hati nabi yang mulia.

Dia tiada lain adalah ‘ ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM’ Muadzin Rasulullah. ‘Abdullah bin Ummi Maktum, orang Makkah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasululah saw, yakni anak paman Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid Ridhwa nullah ‘Alaiha. Bapaknya Qais bin Zaid, dan ibunya ‘Atikah binti ‘Abdullah. Ibunya bergelar ” Ummi Maktum ” karena anaknya ‘Abdullah lahir dalam keadaan buta total. ‘Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan ketika cahaya Islam mulai memancar di Makkah. Allah melapangkan dadanya menerima agama baru itu. Karena itu tidak diragukan lagi dia termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam.
Sebagai muslim kelompok pertama, ‘Abdullah turut menanggung segala macam suka duka kaum muslimin di Makkah ketika itu. Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti diderita kawan-kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai tindakan kekerasan lainnya. Tetapi apakah karena tindakan-tindakan kekerasan itu Ibnu ummi Maktum menyerah ? Tidak ! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan dia semakin teguh berpegang pada ajaran Islam dan kitabullah. Dia semakin rajin mempelajari syariat Islam dan sering mendatangi majlis Rasulullah saw. Begitu rajinnya dia mendatangi majlis Rasulullah, menyimak dan menghafal Al Quran, sehingga setiap waktu senggang selalu diisinya, dan setiap kesempatan yang baik selalu direbutnya. Bahkan dia cukup ‘rewel’. Namun karena ‘rewel’nya, dia beruntung memperoleh apa yang diinginkannya dari Rasulullah, di samping keuntungan bagi yang lain juga.

Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, berharap semoga mereka masuk Islam. Pada suatu hari beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahl, Umayyah bin Khalaf dan walid bin Mughirah, ayah saifullah Khalid bin walid. Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang agama Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau. Ketika Rasulullah sedang serius berunding, tiba-tiba ‘Abdullah bin Ummi Maktum datang ‘mengganggu’ minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al Qur’an. Kata ‘Abdullah, “Ya, Rasulullah! Ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepadamu!”. Rasul yang mulia terlengah untuk memperdulikan permintaan ‘Abdullah. Bahkan beliau agak acuh atas interupsi ‘Abdullah itu Lalu beliau membelakangi ‘Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pemimpin Quraisy tersebut. ‘Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar’, rasulullah berharap.

Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau :” Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya, tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran-ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS.’Abasa (80) : 1-16)
Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al Amin ke dalam hati rasulullah sehubungan dengan peristiwa ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Sejak hari itu Rasulullah tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi ‘Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilahkan duduk ditempat duduk beliau. Beliau tanyakan keadaannya dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan ‘Abdullah demikian rupa ; bukankah teguran dari langit itu sangat keras!.

Tatkala tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin berat dan menjadi-jadi, Allah Ta’ala mengizinkan kaum muslimin dan Rasul-Nya hijrah. ‘Abdullah bin Ummi Maktum bergegas meninggalkan tumpah darahnya untuk menyelamatkan agamanya. Dia bersama-sama Mush’ab bin Umar dan sahabat Rasul yang pertama-tama tiba di Madinah. Setibanya di Yatsrib (Madinah ), ‘Abdullah dan Mush’ab segera berdakwah, membacakan ayat ayat Quran dan mengajarkan pengajaran Islam. Dan setelah Rasulullah tiba di Madinah, beliau mengangkat ‘Abdullah bin Ummi Maktum serta Bilal bin Rabah menjadi Muadzin Rasulullah. Mereka berdua bertugas meneriakkan kalimah tauhid lima kali sehari, mengajak orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan. Apabila Bilal adzan, maka ‘Abdullah qamat. Dan bila ‘Abdullah adzan, maka Bilal qamat.
Dalam bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal adzan tengah malam membangunkan kaum muslimin untuk sahur, dan ‘Abdullah adzan ketika fajar menyingsing, memberi tahu kaum muslimin waktu imsak sudah masuk, agar menghentikan makam minum dan segala yang membatalkan puasa.
Untuk memuliakan ‘Abdullah bin Ummi Maktum, Rasulullah mengangkatnya menjadi Wali Kota Madinah menggantikan beliau, apabila meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau kepada Abdullah. Salah satu diantaranya, ketika meninggalkan kota Madinah untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrikin Quraisy.

Setelah perang Badr, Allah menurunkan ayat-ayat Al Quran, mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fisabilillah. Allah melebihkan derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena dia buta. Lalu dia berkata kepada rasulullah,
“Ya, Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang.”
Kemudian dia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannya cacat (udzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut berperang. Dia senantiasa berdoa dengan segala kerendahan hati. Katanya, “Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang uzur seperti aku!”.

Tidak berapa lama kemudian Allah memperkenankan doanya, Zaid bin Tsabit sekretaris Rasulullah yang bertugas menuliskan wahyu menceritakan, “Aku duduk di samping Rasulullah. Tiba tiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha rasulullah ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, “Tulislah, hai Zaid!”. Lalu aku menuliskan, ” Tidak sama orang orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fisabilillah…..” (QS. 4 : 95). Ibnu Ummi berdiri seraya berkata,
“Ya rasulullah! Bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat?”). Selesai pertanyaan ‘Abdullah, rasulullah berdiam dan paha beliau menekan pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah berkata, “Coba baca kembali yang telah engkau tulis!”. Aku membaca, ” Tidak sama orang orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) .” lalu kata beliau. Tulis! ” Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.” Maka turunlah pengecualian yang diharap-harapkan Ibnu Ummi Maktum.
Meskipun Allah SWT telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang uzur seperti dia untuk tidak berjihad, namun dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekat untuk turut berperang fisabilillah. Tekat itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Oleh karena itu dia sangat suka untuk turut berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang. Katanya, “Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memegang erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.

“Tahun keempat belas Hijriyah, Khalifah ‘Umar bin Khaththab memutuskan akan memasuki Persia dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang bertauhid. ‘Umar memerin tahkan kepada segenap Gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, ‘Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang-orang bersenjata, atau orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”. Maka berkumpulah di Madinah kaum Muslimin dari segala penjuru, memenuhi panggilan Khalifah ‘Umar. Diantara mereka itu terdapat seorang prajurit buta, ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Khalifah ‘Umar mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah memberikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada sa’ad. Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah. ‘Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping bendera itu. Pada hari ketiga perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka pindahlah keku asaan kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin. Dan runtuhlah mahligai yang termegah, maka berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala . Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Diantara mereka yang syahid itu terdapat ‘Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk bendera kaum muslimin. Radhiyallahu’anhu!!!! -

Abu Hurairah

Akrab dengan Kelaparan.

Tokoh kita ini biasa berpuasa sunah tiga hari setiap awal bulan Qamariah (bulan Arab dalam penanggalan Hijri), mengisi malam harinya dengan membaca Al-Quran dan salat tahajud. Akrab dengan kemiskinan, dia sering mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar. Dalam sejarah ia dikenal paling banyak meriwayatkan hadis. Dialah Bapak Kucing Kecil (Abu Hurairah), begitu orang mengenalnya.
“Aku sudah dengar pergunjingan kalian. Kata kalian, Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadis Nabi. Padahal, para sahabat muhajirin dan anshar sendiri tak ada yang meriwayatkan hadis Nabi sebanyak yang dituturkan Abu Hurairah. Ketahuilah, saudara-saudaraku dari kaum muhajirin disibukkan dengan perniagaan mereka di pasar. Sementara saudara-saudaraku dari anshar disibukkan dengan kegiatan pertanian mereka. Dan aku seorang papa, termasuk golongan kaum miskin shuffah (yang tinggal di pondokan masjid). Aku tinggal dekat Nabi untuk mengisi perutku. Aku hadir (di samping Nabi) ketika mereka tidak ada, dan aku selalu mengingat-ingat ketika mereka melupakan.
Abu Hurairah adalah sahabat yang sangat dekat dengan Nabi. Ia dikenal sebagai salah seorang ahli shuffah, yaitu orang-orang papa yang tinggal di pondokan masjid (pondokan ini juga diperuntukkan buat para musafir yang kemalaman). Begitu dekatnya dengan Nabi, sehingga beliau selalu memanggil Abu Hurairah untuk mengumpulkan ahli shuffah, jika ada makanan yang hendak dibagikan.

Karena kedekatannya itu, Nabi pernah mempercayainya menjaga gudang penyimpan hasil zakat. Suatu malam seseorang mengendap-endap hendak mencuri, tertangkap basah oleh Abu Hurairah. Orang itu sudah hendak dibawa ke Rasulullah. “Ampun tuan, kasihani saya,” pencuri itu memelas. “Saya mencuri ini untuk menghidupi keluarga saya yang kelaparan.
Abu Hurairah tersentuh hatinya, maka dilepasnya pencuri itu. “Baik, tapi jangan kamu ulangi perbuatanmu ini.”
Esoknya hal ini dilaporkan kepada Nabi. Nabi tersenyum. “Lihat saja, nanti malam pasti ia kembali.”
Benar pula, malam harinya pencuri itu datang lagi. “Nah, sekarang kamu tidak akan kulepas lagi.” Sekali lagi, orang itu memelas, hingga Abu Hurairah tersentuh hatinya. Tapi, ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, kembali beliau mengatakan hal yang sama. “Lihat saja, orang itu akan kembali nanti malam.”
Ternyata pencuri sialan itu benar-benar kembali. “Apa pun yang kamu katakan, jangan harap kamu bisa bebas. Sudah dua kali kulepas, kamu tak kapok-kapok juga.
Eh, pencuri itu malah menggurui. “Abu Hurairah, sebelum kamu tidur, bacalah ayat kursi agar setan tidak menyatroni kamu.”
Merasa mendapat pelajaran berharga, Abu Hurairah terharu. Ah, ternyata orang baik-baik, pikirnya.
“Apa yang dikatakan orang itu memang benar,” sabda Nabi ketika dilapori pagi harinya. “Tapi orang itu bukan orang baik-baik. Dia adalah setan. Dia katakan itu supaya dia kamu bebaskan.”

Mengikatkan Batu ke Perut.

Abu Hurairah adalah salah seorang tokoh kaum fakir miskin. Abu Hurairah sering lapar ketimbang kenyang. Ia sosok yang teguh berpegang pada sunah Nabi. Ia kerap menasihati orang agar jangan larut dengan kehidupan dunia dan hawa nafsu. Ia tak membedakan antara kaum kaya dan kaum miskin, petinggi negeri atau rakyat jelata dalam menyampaikan kebenaran. Ia pun selalu bersyukur kepada Allah dalam keadaan susah dan senang.
Orang yang nama lengkapnya Abdur Rahman (versi lain: Abdu Syams) ibn Shakhr Ad-Dausi ini adalah sosok humoris. Banyak anekdot yang berasal darinya. Ia pun suka menghibur anak-anak kecil. Ia pecinta kucing kecil. Ke mana-mana dibawanya binatang ini, sehingga julukan Abu Hurairah (bapak kucing kecil) pun melekat padanya. Dibanding Nabi, umurnya lebih muda sekitar 30 tahun. Dia lahir di Daus, sebuah desa miskin di padang pasir Yaman. Hidup di tengah kabilah Azad, ia sudah yatim sejak kecil, yang membantu ibunya menjadi penggembala kambing.
Dia masuk Islam tak lama setelah pindah ke Madinah pada tahun ketujuh hijriah, bersamaan dengan rencana keberangkatan Nabi ke Perang Khaibar. Tapi ibundanya belum mau masuk Islam. Malah sang ibu pernah menghina Nabi. Ini membuatnya sedih. Untuk itu, ia memohon Nabi berdoa agar ibunya masuk Islam. Kemudian Abu Hurairah kembali menemui ibunya, mengajaknya masuk Islam. Ternyata sang ibu telah berubah, bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat.

Buruh Kasar.

Akan halnya kepindahannya ke Madinah adalah untuk mengadu nasib. Di sana ia bekerja serabutan, menjadi buruh kasar bagi siapa pun yang membutuhkan tenaganya. Acap kali dia harus mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar yang amat sangat. Menurut shahibul hikayat, ia pernah kedapatan berbaring di dekat mimbar masjid. Gara-gara perbuatan aneh itu, orang mengiranya agak kurang waras. Mendengar kasak-kusuk di kalangan sahabat ini, Nabi segera menemui Abu Hurairah. Abu Hurairah bilang, ia tidak gila, hanya ia lapar. Nabi pun segera memberinya makanan.

Suatu kali, dengan masih mengikatkan batu ke perutnya, dia duduk di pinggir jalan, tempat orang biasanya berlalu lalang. Dilihatnya Abu Bakr melintas. Lalu dia minta dibacakan satu ayat Al-Quran. “Aku bertanya begitu supaya dia mengajakku ikut, memberiku pekerjaan,” tutur Abu Hurairah. Tapi Abu Bakr cuma membacakan ayat, lantas berlalu.
Dilihatnya Umar ibn Khattab. “Tolong ajari aku ayat Al-Quran,” kata Abu Hurairah. Kembali ia harus menelan ludah kekecewaan karena Umar berbuat hal yang sama.
Tak lama kemudian Nabi lewat. Nabi tersenyum. “Beliau tahu apa isi hati saya. Beliau bisa membaca raut muka saya secara tepat,” tutur Abu Hurairah.
“Ya Aba Hurairah !” panggil Nabi.
“Labbaik, ya Rasulullah !”
“Ikutlah aku !”
Beliau mengajak Abu Hurairah ke rumahnya. Di dalam rumah didapati sebaskom susu. “Dari mana susu ini ?” tanya Rasulullah. Beliau diberi tahu bahwa seseorang telah memberikan susu itu.
“Ya Aba Hurairah !”
“Labbaik, Ya Rasulullah !”
“Tolong panggilkan ahli shuffah,” kata Nabi. Susu tadi lalu dibagikan kepada ahli shuffah, termasuk Abu Hurairah. Sejak itulah, Abu Hurairah mengabdi kepada Rasulullah, bergabung dengan ahli shuffah di pondokan masjid.

Sepulang dari Perang Khaibar, Nabi melakukan perluasan terhadap Masjid Nabawi, yaitu ke arah barat dengan menambah tiga pilar lagi. Abu Hurairah terlibat pula dalam renovasi ini. Ketika dilihatnya Nabi turut mengangkat batu, ia meminta agar beliau menyerahkan batu itu kepadanya. Nabi menolak seraya bersabda, “Tiada kehidupan sebenarnya, melainkan kehidupan akhirat.”
Abu Hurairah sangat mencintai Nabi. Sampai-sampai dia memilih dipukul Nabi karena melakukan kekeliruan ketimbang mendapatkan makanan yang enak. “Karena Nabi menjanjikan akan memberi syafaat kepada orang yang pernah merasa disakitinya secara sengaja atau tidak,” katanya.
Begitu cintanya kepada Rasulullah sehingga siapa pun yang dicintai Nabi, ia ikut mencintainya. Misalnya, ia suka mencium Hasan dan Husain, karena melihat Rasulullah mencium kedua cucunya itu.

Ada cerita menarik menyangkut kehidupan Abu Hurairah dan masyarakat Islam zaman itu. Meski Abu Hurairah seorang papa, boleh dibilang tuna wisma, salah seorang majikannya yang lumayan kaya menikahkan putrinya, Bisrah binti Gazwan, dengan lelaki itu. Ini menunjukkan betapa Islam telah mengubah persepsi orang dari membedakan kelas kepada persamaan. Abu Hurairah dipandang mulia karena kealiman dan kesalihannya. Perilaku islami telah memuliakannya, lebih dari kemuliaan pada masa jahiliah yang memandang kebangsawanan dan kekayaan sebagai ukuran kemuliaan.

Sejak menikah, Abu Hurairah membagi malamnya atas tiga bagian : untuk membaca Al-Quran, untuk tidur dan keluarga, dan untuk mengulang-ulang hadis. Ia dan keluarganya meskipun kemudian menjadi orang berada tetap hidup sederhana. Ia suka bersedekah, menjamu tamu, bahkan menyedekahkan rumahnya di Madinah untuk pembantu-pembantunya.
Tugas penting pernah diembannya dari Rasulullah. Yaitu ketika ia bersama Al-Ala ibn Abdillah Al-Hadrami diutus berdakwah ke Bahrain. Belakangan, ia juga bersama Quddamah diutus menarik jizyah (pajak) ke Bahrain, sambil membawa surat ke Amir Al-Munzir ibn Sawa At-Tamimi.

Menolak Jabatan.

Mungkin karena itu, ketika Umar menjadi amirul mukminin, Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Bahrain. Tapi pada 23 Hijri Umar memecatnya gara-gara sang gubernur kedapatan menyimpan banyak uang (menurut satu versi, sampai 10.000 dinar). Dalam proses pengusutan, ia mengemukakan upaya pembuktian terbalik, bahwa harta itu diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu ia diminta menduduki jabatan gubernur lagi, tapi ia menolak.
Penolakan itu diiringi lima alasan. “Aku takut berkata tanpa pengetahuan; aku takut memutuskan perkara bertentangan dengan hukum (agama); aku ogah dicambuk; aku tak mau harta benda hasil jerih payahku disita; dan aku takut nama baikku tercemar,” kilahnya. Ia memilih tinggal di Madinah, menjadi warga biasa yang memperlihatkan kesetiaan kepada Umar, dan para pemimpin sesudahnya.

Tatkala kediaman Amirul Mukminin Ustman ibn Affan dikepung pemberontak, dalam peristiwa yang dikenal sebagai al-fitnatul kubra (bencana besar), Abu Hurairah bersama 700 orang Muhajirin dan Anshar tampil mengawal rumah tersebut. Meski dalam posisi siap tempur, Khalifah melarang pengikut setianya itu memerangi kaum pemberontak.

Pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah ditawari menjadi gubernur di Madinah. Ia menolak. Ketika terjadi pertemuan antara Khalifah Ali dan lawannya, Muawiyah ibn Abi Sufyan, ia bersikap netral dan menghindari fitnah. Sampai kemudian Muawiyah berkuasa, Abu Hurairah bersedia menjadi gubernur di Madinah. Tapi versi lain mengatakan, Marwan ibn Hakamlah yang menunjuk Abu Hurairah sebagai pembantunya di kantor gebernuran Madinah. Di Kota Penuh Cahaya (Al-Madinatul Munawwarah) ini pula ia mengembuskan nafas terakhir pada 57 atau 58 H. (676-678 M.) dalam usia 78 tahun. Meninggalkan warisan yang sangat berharga, yakni hadis-hadis Nabi, bak butiran-butiran ratna mutu manikam, yang jumlahnya 5.374 hadis.

Khalifah Umar Bin Khatab, Pemimpin Yang Penuh Tanggung Jawab

Khalifah Umar bin Khatab dikenal sebagai pemimpin yang sangat disayangi rakyatnya karena perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa pada rakyatnya. Salah satu kebiasaannya adalah melakukan pengawasan langsung dan sendirian berkeliling kota mengawasi kehidupan rakyatnya. Inilah beberapa kisahnya.

Pada suatu malam hartawan Abdurrahman bin Auf dipanggil oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk diajak pergi ke pinggir kota Madinah.
“Malam ini akan ada serombongan kafilah yang hendak bermalam di pinggir kota, dalam perjalanan pulang”, kata Khalifah Umar kepada Abdurrahman bin Auf.
“Lalu apa masalahnya?” tanya Abdurrahman.
“Kafilah ini akan membawa barang dagangan yang banyak, maka kita sebaiknya ikut menjaga keselamatan barang dari gangguan tangan-tangan usil. Jadi nanti malam kita bersama-sama harus mengawal mereka”, sahut sang Khalifah. Abdurahman dengan senang hati membantu dan siap mengorbankan jiwa raganya menemani tugas khalifah yang ia cintai ini.

Demikianlah sang khalifah menjalankan tugasnya, turun tangan langsung untuk memastikan rakyatnya tidur dan hidup dengan tenang. Bahkan malam itu khalifah Umar mendesak Abdurahman untuk tidur sambil siaga sementara ia sendiri tetap terjaga hingga pagi hari.

Khalifah Umar bin Khattab memang dikenal sebagai seorang pemimpin yang selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik secara diam-diam. Orang yang ditolongnya sering tidak tahu, bahwa penolongnya adalah khalifah yang sangat mereka cintai.

Pernah suatu malam Auza’iy pernah ‘memergoki’ Khalifah Umar masuk rumah seseorang. Ketika keesokan harinya Auza’iy datang ke rumah itu, ternyata penghuninya seorang janda tua yang buta dan sedang menderita sakit. Janda itu mengatakan, bahwa tiap malam ada orang yang datang ke rumahnya untuk mengirim makanan dan obat-obatan. Tetapi janda tua itu tidak pernah tahu siapa orang tersebut! Padahal orang yang mengunjunginya tiap malam tersebut tak lain adalah adalah khalifah yang sangat ia kagumi selama ini.

Pada suatu malam lainnya ketika Khalifah Umar berjalan-jalan di pinggir kota, tiba-tiba ia mendengar rintihan seorang wanita dari dalam sebuah kemah yang lusuh. Ternyata yang merintih itu seorang wanita yang akan melahirkan . Di sampingnya, duduk suaminya yang kebingungan. Maka pulanglah sang Khalifah ke rumahnya untuk membawa isterinya, Ummu Kalsum, untuk menolong wanita yang akan melahirkan anak itu. Tetapi wanita yang ditolongnya itu pun tidak tahu bahwa orang yang menolongnya dirinya adalah Khalifah Umar, Amirul Mukminin yang mereka cintai.

Pada kisah lainnya, ketika sang Khalifah sedang ’meronda’, ia mendengar tangisan anak-anak dari sebuah rumah kumuh. Dari pinggiran jendela ia mendengar, sang ibu sedang berusaha menenangkan anaknya. Rupanya anaknya menangis karena kelaparan sementara sang ibu tidak memiliki apapun untuk dimasak malam itu. Sang ibupun berusaha menenangkan sang anak dengan berpura-pura merebus sesuatu yang tak lain adalah batu, agar anaknya tenang dan berharap anaknya tertidur karena kelelahan menunggu. Sambil merebus batu dan tanpa mengetahui kehadiran Khalifah Umar diluar jendela, sang ibupun bergumam mengenai betapa enaknya hidup khalifah negeri ini dibanding hidupnya yang serba susah. Khalifah Umar yang mendengar hal ini tak dapat menahan tangisnya, iapun pergi saat itu juga meninggalkan rumah itu. Malam itu juga ia menuju ke gudang makanan yang ada di kota, dan mengambil sekarung bahan makanan untuk diberikan kepada keluarga yang sedang kelaparan itu. Bahkan ia sendiri yang memanggul karung makanan itu dan tidak mengizinkan seorang pegawainya yang menemaninya untuk membantunya. Ia sendiri pula yang memasak makanan itu, kemudian menemani keluarga itu makan, dan bahkan masih sempat pula menghibur sang anak hingga tertidur sebelum ia pamit untuk pulang. Dan keluarga itu tak pernah tahu bahwa yang datang mempersiapkan makanan buat mereka malam itu adalah khalifah Umar bin Khatab !

Abu Bakar Ash-Shidiq ra

Namanya ialah Abdullah Bin Utsman bin ‘Aamir Al Quraisyi Abu Bakar Bin Abi Qahafah Attaymi. Ia merupakan Khalifah Ar-Rasyidin yang pertama dan salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga tanpa dihisab. Ia termasuk orang-orang yg paling pertama masuk islam dan orang dewasa laki-laki pertama yang masuk Islam.

Dia mengerahkan tenaga dan hartanya untuk Islam. Ia selalu membela Nabi Saw. dengan gagah berani. Allah menjadikannya sebagai pelindung agama Islam, juga memberikan rezeki keimanan dan keyakinan kepadanya. Ia adalah salah satu pembesar kaum muslimin dan sebagai pedang yang menebas leher orang-orang munafik dan murtad.

Ia dilahirkan dua tahun setengah sebelum kejadian ‘Aamul Fiil. Ia tumbuh dan berkembang menjadi seorang pemuda yang lurus dan tidak pernah melakukan tindakan yang menyimpang dan lalim. Ia menjauhkan diri dari keburukan masa jahiliyah dan menghiasi dirinya dengan sisi baik dari akhlak bangsa Arab.

Ia merupakan orang yang suka bergaul sekaligus seorang teman bicara yang menyenangkan. Ia selalu menepati janji dan selalu mencintai orang lain. Ia telah mengharamkan minuman keras bagi dirinya sebelum Islam sendiri mengharamkannya. Selain itu, ia gemar melakukan perbuatan kebaikan dan selalu menghargai orang lain. Ia juga selalu memberikan makan kepada orang-orang miskin dan membela orang-orang yang lemah. Ia memiliki Nasab yang terkenal, baik dari nenek moyangya atau pun para keturunannya. Ia juga selalu membela orang-orang yang lemah dan dan menyukai orang-orang yang kuat.

Ia adalah tuan para pembesar dan dia sering membayarkan diyat orang lain. Jika ada orang yang meminjam uang kepadanya untuk membayar diyat, ia sedekahkan uang itu. Jika ada orang yang hendak membayar diyat kepadanya, ia akan menolak diyat itu.

Ia memiliki kedudukan yang tinggi, kata-katanya didengarkan. Ia adalah seorang saudagar yang besar yang ahli dalam perniagaan yang piawai. Ia pandai menafsirkan ru’yah dan mimpi serta semua hal yang ia lihat oleh seseorang dalam tidurnya.

Ia diberi julukan ‘Atiiq karena ketampanan wajahnya, kebagusan nasabnya, dan kesucian nenek moyangnya. Dirinya tidak memiliki cela sedikitpun. Ia memiliki akal yang sangat cerdas dan jernih. Ia adalah orang yang tampan dan gagah, memiliki kulit yang putih dan tubuh yang ramping, kelopak mata yang cekung, tubuh yang langsing, dahi yang menonjol dan wajah yang rampin.

Ia mencintai Nabi Muhammad Saw dan selalu merasa rindu kepada beliau. Ia memeluk Islam tanpa ragu-ragu. Ia memeluk keimanan dengan erat. Ia keluarkan hartanya untuk mendukung agama dan membebeskan para budak muslimyang lemah. Ia selalu berlaku sabar terhadap perbuatan aniaya kaum musyrik. Manakala aniaya mereka menjadi-jadi hingga menjadikannya sulit bernafas, maka dia berhijrah meninggalkan kota mekkah.

Ia mempercayai cerita kejadian Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw tanpa keraguan sedikitpun dan membela Nabi Saw dengan sekuat tenaga . Oleh karena itu, Nabi Saw menjulukinya Ash-Shiddiq. Ia adalah kekasih dan sahabat Nabi Saw. Ia kawinkan putrinya, Siti Aisyah ra, yang suci, bersih, perawan, yang memilki keturunan yang mulia, kepada Nabi Saw.

Ia ikut keluar hijrah dengan Nabi Saw pada waktu menjelang shubuh dan setelah itu keduanya bersembunyi di Gua Hira. Ia menyaksikan berbagai peristiwa bersama-sama Nabi Saw dan bersama-sama menghadapi berbagai tantangan, serta ikut berbagai pertempuran yang dijanjikan akan mendapatkan kemenangan oleh Allah SWT.

Pada waktu malam, ia selalu bangun untuk melaksanakan shalat, sedangkan pada waktu siangnya, ia berpuasa. Bila berada ditengah-tengah, ia selalu menunjukan sikap yang tawadhu. Ia juga giat mencari dunia sekaligus bersikap zuhud. Ia memiliki pengetahuan yang luas mengenai ilmu agama dan selalu mempraktikkannya. Ia memiliki berbagai kumpulan sifat yang utama.

Ia selalu mengetuk dan memasuki pintu kebaikan, selalu mengikuti jalan kebaikan. Ia sangat peka dengan lingkungannya, mudah menitikkan air mata, selalu berusaha menyenangkan orang lain, dan menghormati orang-orang yang baik. Nabi Saw. memberitahukan kepadanya bahwa ia telah dibebaskan dari api neraka dan dia akan berada disurga dengan orang-orang yang terpilih.

Ketiika ia dibai’at untuk menjadi khalifah, maka ia tidak mau. Ia terus mnyembunyikan dirinya dirumah karena tidak mau memegang jabatan kekhalifahan. Manakala ia bersedia untuk memegang kekhalifahan, ia kirim tentara yang dipimpin oleh Usamah untuk memerangi orang-orang yang murtad dan orang-orang yang bersikeras menolak membayar zakat.

Ia mengirimkan tentara keberbagai belahan dunia hingga menjadikan guncang berbagai kerajaan. Ia menciptakan berbagai kemenangan dalam peperangan itu, sehingga wilayah Islam semakin terbuka luas. Ia satukan Al-Qur’an serta menyebarkan agama dan keimanan.

Ia adalah seorang orator, khalifahyang bijaksana yang dikenal dengan sifat yang sangat lembut, ramah, bertaqwa dan berilmu. Ia adalah orang pertama yang masuk Islam, orang pertama yang menyebarkan kedamaian, orang pertama yang menjadi imam shalat, dan orang pertama yang menjadi khalifah.

Ia selalu menghormati orang dewasa sekaligus menyayangi anak kecil. Orang yang lemah menjadi kuat dihadapannya hingga mereka dapat mengembalikan haknya. Orang yang kuat menjadi lemah dihadapannya hingga dapat diambil hak orang lain dari mereka. Ketika para panglimanya menaiki kuda, ia berjalan kaki di samping mereka. Ia perah susu dari sapi untuk diminum oleh anak-anak tetangganya. Ia menikah sebanyak enam kali dan dari perkawinannya itu ia dikaruniai enam orang anak .

Ia merupakan orang yang lembut dan berwibawa. Ia menemani Nabi Saw baik didunia maupun di kuburan. Ia juga yang menemaninya di kolam surga pada hari kiamat. Abu bakar r.a. wafat di Madinah, tiga belas tahun setelah Hijrahnya Rasulullah SAW ke kota Madinah. Ia dimakamkan disisi Makam Rasulullah SAW.

Hati Yang Baik

Suatu hari pada musim haji, Abdullah bin Mubarak yang sedang
melaksanakan ibadah haji di tanah suci tertidur di Masjidil Haram. Dalam
tidurnya beliau bermimpi bertemu dengan seorang malaikat yang
memberitahunya bahwa ibadah haji umat Islam tahun itu diterima Allah
hanya karena kebaikan seorang tukang sepatu. Sehabis itu Mubarak
terbangun. Betapa penasarannya beliau dengan mimpi itu dan betapa
penasarannya beliau dengan tukang sepatu yang diceritakan malaikat dalam
mimpinya itu. Apa gerangan yang dilakukan tukang sepatu itu sehingga
menyebabkan ibadah haji seluruh umat Islam tahun itu diterima Allah?
Beliau lalu mencari tahu siapa gerangan tukang sepatu itu dan dimana
tempatnya. Hingga akhirnya beliau berhasil menemui tukang sepatu dan
meminta cerita apa amalan yang dilakukannya sehingga mengantarkan
diterimanya ibadah haji seluurh umat Islam tahun itu? Lalu tukang sepatu
itu pun menceritakan ihwalnya, bahwa dia bersama isterinya selama 30
tahun berencana untuk naik haji. Selama itu tiap hari, minggu dan bulan
dia menabung dan mengumpulkan uang untuk biaya naik haji dari jasa
membuat dan memperbaiki sepatu.

Tahun ini tabungan hajinya bersama isteri sudah cukup dan dia berencana
untuk naik haji. Namun apa yang terjadi?

Suatu hari isterinya mencium bau harum masakan dari tetangganya. Karena
penasaran dengan harum masakan itu isteri tukang sepatu itu memberanikan
diri menghampiri tetangga dengan maksud ingin meminta sedikit masakan
sekedar ignin mencicipinya .

“Wahai tetangga yang baik, hari ini saya mencium harumnya masakanmu,
bolehkah saya mencicipi barang sedikit?” pinta isteri tukang sepatu itu
kepada tetangganya.

“Tuan puteri yang baik, masakan ini tidak halal bagimu”, jawab tetangga.

“Mengapa tidak halal?” tanya isteri tukang sepatu itu dengan penasaran.

“Daging yang kami masak adalah bangkai yang kami temukan di jalan. Kami
tidak tega melihat anak-anak kami kelaparan. Kami sudah banting tulang
mencari makanan yang lebih baik, tapi kami tidak menemukannya. Akhirnya
hanya bangkai ini yang kami temukan, lalu kami masak biar anak-anak dan
keluarga kami tidak semakin menderita”

Mendengar cerita itu, isteri tukang sepatu itu sepontan pulang dan
menceritakannya kepada suaminya. Si tukang sepatu tanpa banyak bicara
segera membuka tabungan haji yang dikumpulkannya selama 30 tahun dan
dibawanya ke rumah tetangga. “Wahai tetangga yang baik, ambillah semua
uang ini untuk keperluan makan kamu dan keluargamu, ini lah haji kami”,
kata tukang sepatu itu.

Perbuatan mulia tukang sepatu itulah yang dijadikan Allah sebagai
penyebab diterimanya amalan ibadah haji seluruh jamaah haji tahun itu.

****

Kisah di atas, menceritakan betapa hati yang mulia dan baik selalu
mendapatkan tempat yang mulia di mata Allah. Hati yang baik mengantarkan
kepada pemiliknya kepada perbuatan yang baik dan terpuji. Hati yang baik
mendatangkan pahala dan karunia Allah tidak hanya untuk si pemiliknya,
namun juga untuk seluruh umat manusia. Benarlah kata Rasulullah
“Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah, kalau itu baik, maka
baiklah seluruh anggota tubuh”.

Hati yang baik bukanlah sekedar karunia dari Allah yang diberikan kepada
orang-orang tertentu saja, namun hati yang baik juga bisa didapatkan
dengan latihan dan pendidikan. Salah satu cara untuk mendapatkan hati
yang baik adalah dengan senantiasa membuka komunikasi hati dan Allah.
Allah adalah Dzat Yang Maha Baik, maka siapapun yang selalu
berkomunikasi kepdaNya akan mendapatkan pancaran kebaikan. Semoga kita
diberi karunia hati yang baik.

Hukum Memakan Semut yang Tercampur di Makanan

Akhi Fillah,saya mau tanya apa hukumnya makan :
1. Semut (mengingat sering makanan kita tercampur oleh semut)
2. Lalat
3. Jangkrik
4. Lebah

Tanya Jawab (448): Memakan Semut yang Tercampur di Makanan

Ass. Wr. Wb

Akhi Fillah, saya mau tanya apa hukumnya makan :
1. Semut (mengingat sering makanan kita tercampur oleh semut)
2. Lalat
3. Jangkrik
4. Lebah

Di forum tanya jawab sudah dijelaskan ada beberapa serangga yang boleh
dibunuh & yang tidak boleh dibunuh. Tapi di situ tdk dijelaskan
kehalalannya jika dimakan. Jadi saya minta penjelasannya lagi tentang
serangga-serangga yg saya sebutkan di atas apakah halal dimakan?
Terima kasih atas jawabannya

Wass.Wr.Wb
M Syahril M - Mojokerto

Jabab:

Sdr. Sharil
Assalamualaikum war. wab

Mayoritas ulama mengatakan bahwa hewan yang dilarang membunuhnya, maka dilarang juga mengkonsumsi atau memakannya. Seperti hadist yang melarang membunuh katak ditafsirkan bahwa itu juga mengindikasikan larangan memakannya, maka para ulama sepakat melarang makan katak.

Semut:

Dalam hadist riwayat Ibnu Abbas Rasulullah s.a.w. melarang membunuh empat jenis hewan melata, yaitu semut, lebah, burung hud-hud dan burung sejenis jalak. (h.r. Abu Dawud sahih sesuai syarat sahihain). Khatabi dan Baghawi menegaskan bahwa semut di sini bukan semua jenis semut, tapi semut Sulaimaniyah, yaitu semut besar yang tidak membahayakan dan tidak menyerang manusia. Adapun semut-semut kecil yang kadang termasuk wabah dan mengganggu serta menyerang manusia, maka boleh dibunuh. Imam Malik mengatakan makruh hukumnya membunuh semut yang tidak membahayakan. Namun meskipun boleh membunuh semut, tapi sebaiknya mebunuh semut dengan cara tidak membakarnya, karena ada hadist yang menegaskan bahwa yang berhak menyiksa dengan api adalah Tuhan api. (h.r. Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud).

Bagaimana dengan semut yang kadang masuk di makanan kita? Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj, Syah Minhaj (40/403) karangan Imam Zakariya al-Anshori dijelaskan bahwa apabila semut jatuh ke madu kemudian madu itu dimasak, maka boleh memakan semut tadi bersama madu, tetapi kalau jatuh di daging yang memungkinkan memisahkan bangkai semut tadi, maka tidak boleh memakannya dan harus dipisahkan dari daging yang dimasak. Sangat jelas, alasan diperbolehkan makan bangkai semut bersama makanan yang tercampur adalah karena sulit memisahkannya, sejauh bisa dipisahkan dan mungkin untuk mengeluarkannya dari makanan, maka harus dilakukan dan tidak boleh memakannya. Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumuddin (1/438) juga menegaskan bahwa apabila semut atau lalat terjatuh ke dalam periuk makanan, maka tidak harus menumpahkan dan membuang semua makanan yang ada dalam periuk makanan tadi, karena yang dianggap menjijikkan adalah fisik bangkai semut atau lalat tadi, sejauh keduanya tidak mempunyai darah maka tidak najis, ini juga menunjukkan bahwa larangan makan keduanya karena dianggap menjijikkan.

Lebah

Kebanyakan ulama mengatakan hukum lebah sama dengan semut dengan landasan hadist di atas, yaitu larangan membunuhnya dan larangan memakannya. Namun para ulama menerangkan bahwa larangan membunuh lebah karena menghasilkan madu yang berguna bagi manusia. Meskipun demikian ada beberapa pendapat lemah yang mengatakan boleh memakan lebah karena disamakan dengan belalang dan begitu juga boleh membunuh lebah karena bisa menyengat, apalagi lebah yang membahayakan dan tidak memproduksi madu.

Lalat

Melihat keterangan di atas, sangat jelas bahwa lalat haram dikonsumsi meskipun bangkainya tidak najis karena tidak mempunyai darah. Saat ini banyak ilmu kesehatan menjelaskan bahwa lalat membawa penyakit, ini semakin memperkuat keharaman lalat. Hadist Bukhari yang mengatakan bahwa apabila ada lalat jatuh di makanan kita maka benamkanlah lalu buanglah, oleh para ulama dianggal tidak menunjukkan kehalalan lalat.

Jangkrik

Hewan dari jenis ini yang halal adalah belalang. Dalam satu hadist Rasulullah menegaskan, ada dua bangkai yang halal yaitu bangkai ikan dan bangkai belalang. Selain belalang, maka hukum memakannya dikembalikan kapada apakah hewan membahayakan atau menjijikkan, bila itu membahayakan dan menjijikkan, maka jelas diharamkan.

Wallahu a’lam bissowab

Semoga membantu

Wassalam

Muhammad Niam

*Sumber Jawaban ini dikumpulkan menggunakan Software Maktabah Syamilah

Detik-Detik Maulid Nabi Saw

Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah swt telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi pentingâ€? kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad saw hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain. Diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab r.a., beliau berkata : saya bersama Rasulullah s.a.w sedang duduk-duduk. Rasul s.a.w. bertanya kepada para sahabat, “Katakan kepadaku, siapakah yang paling besar imannya?” Para sahabat menjawab; ‘Para malaikat, wahai Rasul‘. Nabi s.a.w bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab, “Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah s.w.t, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab lagi, “Para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”.

Lalu siapa, wahai Rasul?”, tanya para sahabat.

Lalu Nabi s.a.w. bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”. [Musnad Abî Ya’lâ, hadits nomor 160].

Waktu yang ditunggu-tunggu itu belum datang juga, namun beberapa orang masih terus mencari. Mereka menelusuri ujung-ujung kota Mekkah. Dari satu tempat ke tempat lain, orang-orang yang merindukan kehadiran seorang pembebas itu tak lupa bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di setiap tempat. Mereka bertanya begini kepada setiap orang, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Namun tak seorang pun mengiyakan pertanyaannya. Orang awam tentu tidak memahami maksud pertanyaan itu, namun orang-orang itu tidak juga berhenti untuk mencari dan menanyakan dimana gerangan bayi laki-laki yang dilahirkan. Semuanya ini dilakukan untuk membuktikan kepercayaan yang selama ini diyakininya. Bahwa dunia yang telah rusak sedang menanti kedatangannya.

Hingga pada suatu pagi.

Sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan. Ini tidak lain untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak terkecuali bagi seorang sayyid Abdul Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah tujuh kali sambil berdoa kepada Allah s.w.t.

***

Tepat sesaat setelah sayyid Muththalib memasuki rumah setelah men-thawaf-kan cucunya, lewatlah seseorang yang selama beberapa hari ini mencari kelahiran seorang bayi laki-laki. Saat itu, orang yang sudah cukup tua tersebut masih menanyai kepada setiap orang yang dia temui, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Pada saat itulah sayyid Muththalib menyadari ada seorang tua yang mencari bayi laki-laki.

Dipanggilnya orang tua itu, lalu beliau berkata kepadanya, “Saya punya bayi laki-laki, tapi, tolong katakan, apa kepentingan anda mencari bayi laki-laki?”.

Saya ingin melihat bayi laki-laki yang baru lahir. Itu saja”, jawab orang tua tersebut yang sekonyong-konyong muncul semangat baru dalam dirinya. Tanpa memberikan kesulitan apapun, sayyid Muththalib mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumahnya untuk melihat bayi yang dimaksud.

Apa yang terjadi saat orang tua itu melihat bayi yang ditanyakannya, adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh sayyid Muththalib. Sang sayyid memang tidak pernah berpikir apa pun. Sebagai layaknya seorang kakek yang berbahagia mempunyai cucu, beliau cukup bersyukur sang cucu dilahirkan dalam keadaan sehat wal afiat. Namun, bagi orang tua yang sedang mencari sesuatu itu tidak demikian. Begitu melihat bayi dan menemukan ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam kitab yang dia baca, serta informasi dari orang-orang terdahulu, orang tua itu berseru, “Benar, benar sekali ciri-cirinya, inilah bayi yang akan menjadi Nabi akhir zaman kelak…”. Dalam kebengongan sayyid Muththalib, pingsanlah orang tua yang selama ini mencari-cari bayi laki-laki tersebut, lalu wafat pada saat itu juga.

***

Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pingsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahwa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.

Sedang sang bayi yang ditunggu adalah bayi Muhammad Shalla-llâhu ‘alayhi wa sallama, bayi yang kelak menjadi nabi terakhir.

Demikianlah, akhir dari kisah pencarian pendeta-pendeta serta segenap agamawan pada zaman pra Nabi Muhammad s.a.w. Pencarian atas apa yang diisyaratkan dalam kitab-kitab mereka, bahwa akan diutusnya nabi akhir zaman untuk meluruskan kembali aqidah-aqidah yang telah bengkok.

Dari kisah ini, kita mengetahui betapa pada waktu itu masyarakat mengelu-elukan kehadiran Nabi Muhammad s.a.w. ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’. (QS. 9:128). Hampir setiap kaum tahu bahwa ketika situasi sudah sangat rusak, nabi akhir zaman akan muncul. Namun, dari mana dia lahir, hal itu yang tidak pernah diketahui secara pasti. Yang diketahui pada saat itu adalah ciri-ciri tempat, posisi bintang, ciri-ciri bayi, dan lain sebagainya.

Dalam kitab-kitab lama, ciri-ciri tersebut ditulis secara jelas. Hingga masyarakat yang membaca kitab-kitab itu pun akan mengetahui pula. Tidak sekedar mengetahui, tapi mereka juga berkeinginan untuk dekat dengan nabi akhir zaman tersebut.

Salah satu yang diimpikan oleh berbagai kaum saat itu, adalah harapan agar nabi akhir zaman itu muncul dari keturunannya. Hal demikian tentu sangat manusiawi. Maka, untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.

Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman. Salah satu dari tiga tempat itu diyakini menjadi tempat nabi akhir zaman dilahirkan. Banyak juga para agamawan yang menduga nabi akhir zaman masih akan muncul dari kawasan Jerusalem atau Damaskus.

***

Untuk kasus Mekkah, orang-orang atau kaum non Quraisy yang minoritas adalah kaum pendatang yang sengaja tinggal di Mekkah untuk menanti kedatangan nabi akhir zaman. Sedangkan kasus migrasi di Madinah, orang-orang Yahudi-lah yang banyak menempati kota tersebut waktu itu. Suku bangsa seperti Bani Nadhir, Quraizah, Qainuqa’ dan suku-suku kecil lainnya, yang sering muamalahnya menghiasi sejarah Islam dan târîkhbarokah tadi. Migrasi ke Madinah ini dilakukan sudah cukup lama, setidaknya mereka telah mendiami Madinah sekitar 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Nabi s.a.w, adalah keluarga-keluarga Yahudi yang bermigrasi dari berbagai kawasan, baik dari Jerusalem, Yaman, maupun yang lainnya, ke daerah Madinah untuk menanti nabi akhir zaman. Migrasi-migrasi itu terjadi dengan harapan nabi akhir zaman muncul dari keturunan mereka, selain, tentunya, mengharapkan

Banyak sekali suku-bangsa yang percaya akan datangnya nabi akhir zaman. Mulai dari Ethiopia (Al-Habsyi) hingga Damaskus (Dimasyqa), serta dari Yaman hingga negeri-negeri Rusia. Semuanya menanti kedatangannya.

***

Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah s.w.t telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi kunci” kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad s.a.w. hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.

Memang, kasus-kasus wafatnya para agamawan setelah melihat tanda-tanda adanya kenabian, seperti yang terjadi pada orang tua itu, bukanlah yang pertama kali. Dalam rekaman sejarah, banyak sekali informasi yang membahasnya, bahkan sejak zaman sayyid Abdullah—ayahanda Nabi Muhammad s.a.w.—belum menikah dengan sayyidah Aminah, dan juga pada masa-masa dalam kandungan sayyidah Aminah. Hingga pada suatu waktu di kemudian hari, tepatnya 40 tahun setelah kelahiran nabi, sejarah juga kehilangan seorang agamawan-monotheis yang informasi spiritualnya sangat berharga bagi keberlangsungan keyakinan terhadap adanya nabi akhir zaman.

Dalam hadits yang diriwayatkan sayyidah ‘Aisyah r.a. disebutkan bahwa setelah mendapatkan wahyu, sayyidah Khadîjah r.a.—bersama nabi—mendatangi pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk meminta advis atas apa yang baru saja terjadi pada nabi. Waraqah bin Naufal adalah seorang agamawan ahli kitab suci.

Setelah Nabi Muhammad s.a.w. menceritakan semua yang terjadi kepada beliau—di gua hira itu—langsung saja Waraqah terperanjat dan menjawabnya,”Itu adalah Namûs yang diturunkan Allah s.w.t. kepada Musa a.s. Ya Tuhan, semoga saja aku masih hidup ketika orang-orang mengusir nabi ini…”.

Waraqah tahu, bahwa yang menemui Nabi Muhammad s.a.w adalah Namûs, alias malaikat Jibril a.s., yang pernah menemui Nabi Musa a.s. dulu. Pengakuan Waraqah ini mirip dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, saat Nabi Muhammad s.a.w. membacakan ayat al-Qur’an di hadapan jin, maka jin itu berkomentar, “Mereka berkata, ’Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (yaitu al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [QS. 46:30].

Dan Waraqah tahu, bahwa yang ada di depannya saat itu adalah seorang nabi, yang di kemudian hari akan diusir oleh kaumnya sendiri dari tanah kelahirannya. Tapi, harapan Waraqah untuk menjadi saksi perilaku orang-orang terhadap Nabi Muhammad s.a.w. tidak kesampaian. Beberapa hari setelah itu, beliau wafat. Untuk ke sekian kalinya, Allah s.w.t memanggil hambanya yang bisa menjadi “saksi spritiual” atas kenabian Muhammad s.a.w. Tapi, itulah, Allah s.w.t tentu memiliki kehendak-kehendak tersendiri yang tidak pernah kita ketahui.

***

Dengan wafatnya beberapa agamawan yang menjadi saksi kebenaran kelahiran sang nabi, terputus pula informasi-informasi ini. Situasi informasi tentang nabi akhir zaman kembali ke titik nol. Namun inti berita yang ada dalam kitab-kitab tentang akan diutusnya nabi akhir zaman saat itu masih ada. Karena realitas teologis memang membutuhkannya. Hanya berita ini yang telah diketahui oleh para agamawan di berbagai tempat, sebagaimana berita akan kelahirannya. Dan mereka hanya bisa memegang keyakinannya, tanpa ada kemampuan untuk mencarinya, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka menemukan waktu saat-saat dilahirkannya Nabi Muhammad s.a.w. Nampaknya, agamawan yang baru membaca kitab-kitab suci itu lebih percaya bahwa nabi akhir zaman sudah benar-benar lahir di dunia ini.

Memang banyak ditemukan beberapa anak laki-laki yang memiliki nama Ahmad atau Muhammad pada masa pra kenabian. Menamakan Ahmad atau Muhammad karena orang tuanya sangat berharap anaknya menjadi nabi. Tetapi, para agamawan tentu sudah memiliki wasilah atau cara tersendiri untuk menentukan “validitas stempel” yang ada pada seorang nabi, apa lagi nabi akhir zaman. Maka, mereka tinggal menanti detik-detik kedatangan risalah dan deklarasi kenabian sang nabi akhir zaman itu.

***

Secara umum, bisa dikatakan bahwa kebanyakan para agamawan saat itu sudah mengetahui bahwa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahwa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, kemana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.

Saat beliau menemui seorang agamawan di Yaman, dan beliau ditanya tentang asal daerah serta dari keluarga apa, maka setelah mendapatkan jawaban, sang agamawan itu menyatakan, “Nanti akan ada nabi akhir zaman dari daerah kamu dan dari keluarga kamu”. Beliau—Atîq—percaya atas informasi yang disampaikan agamawan Yaman itu. Begitu sang nabi muncul dan mendakwahkan kembali ajaran-ajaran Tauhîd [monotheisme] yang hilang, dia –Atîq– pun segera bersaksi atas kebenaran ajaran itu. Beliau menjadi laki-laki pertama yang membenarkan risalah yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Saat masuk Islam itu, beliau mengganti nama menjadi Abû Bakar, yang kelak menjadi sahabat utama sang nabi akhir zaman dan mendapatkan gelar Ash-Shiddîq, yang senantiasa membenarkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan, kenapa Abû Bakar r.a. selalu saja membenarkan kebenaran Muhammad.

***

Dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?”. Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. 3:81]

Para nabi berjanji kepada Allah s.w.t. bahwa bilamana datang seorang Rasul bernama Muhammad mereka akan iman kepadanya dan menolongnya. Perjanjian nabi-nabi ini mengikat pula para ummatnya. Namun, manusia selalu melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan Allah s.w.t. Para manusia itu ingkar, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka—maksudnya kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya—, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.(QS. 2:89)

Itulah manusia yang sangat tidak beruntung dengan melakukan penolakan terhadap kenabian Muhammad s.a.w. Maka, sangat tepat jika Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits yang penulis nukil pada permulaan di atas. Bahwa orang yang menjadi saudara Nabi s.a.w. adalah orang yang tidak pernah melihat Nabi s.a.w. namun percaya akan kenabian dan selalu membenarkan sabda-sabda beliau. Orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi s.a.w. tapi selalu membenarkan beliau itulah yang merupakan orang-orang paling utama di antara orang-orang beriman. Ya Allah, tetapkanlah kami untuk selalu beriman kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.

Âmîn.

(Disarikan dari beberapa buku, terutama kitab Syarah Al-Barzanjî)

PENTINGNYA MEMAHAMI SIRAH NABI (SAW)

Rasulullah (saw) adalah seorang contoh manusia yang paling dimuliakan oleh Allah. Seorang tokoh idola yang seharusnya ditiru. Terutama, bagi siapa saja yang ingin menjadi ahli surga. Nabi (saw) adalah seseorang dengan seluruh perilakunya mengandung kebaikan. membawa kebahagiaan, memberi ketenangan dan menciptakan keharmonisan. Allah SWT memilih Muhammad sebagai rasul-Nya untuk diikuti akhlaknya. Karena hanya dengan mengikuti Muhammad (saw), kebahagaiaan dunia-akhirat bisa tercapai.Rasulullah (saw) adalah seorang contoh manusia yang paling dimuliakan oleh Allah. Seorang tokoh idola yang seharusnya ditiru. Terutama, bagi siapa saja yang ingin menjadi ahli surga. Nabi (saw) adalah seseorang dengan seluruh perilakunya mengandung kebaikan. membawa kebahagiaan, memberi ketenangan dan menciptakan keharmonisan. Allah SWT memilih Muhammad sebagai rasul-Nya untuk diikuti akhlaknya. Karena hanya dengan mengikuti Muhammad (saw), kebahagaiaan dunia-akhirat bisa tercapai. Mari kita ringkas mengenai pentingnya memahami Sirah Nabi dalam beberapa hal berikut ini :

Pertama : Sirah (perjalanan hidup) Rasulullah (saw), merupakan terjemahan hidup Al-Qur’an yang paling lengkap. Firman Allah : “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka ” ( QS.16:44 ). Begitu juga, Allah SWT menurunkan Al-Qur’an secara barangsur-angsur, sesuai dengan kejadian yang terekam dalam sirah Nabi (saw). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa untuk memahami isi Al-Qur’an, kita harus memahami sirah Nabi (saw).

Kedua, Sirah Rasulullah (saw) adalah sirah yang paling agung dan paling lengkap. Terjaga dari penyimpangan dan penyelewengan. Para ulama sepanjang sejarah telah mempertahankan keaslian sirah ini dengan mempertahankan urutan sanad secara ketat. Ketat dalam arti bahwa para perawi sirah ini harus mempunyai kejujuran yang tinggi, dan diantara mereka harus sambung menyambung tanpa putus. Berbeda dengan periwayatan nabi-nabi sebelumnya, kita kesulitan untuk menemukan kisah yang lengkap tentang mereka. Misalnya mengenai masa kecil seorang nabi sebelum Muhammad (saw) dan seterusnya. Kalaupun ada – sebagaimana yang terdapat dalam buku Injil - seringkali periwayatannya sulit dipertanggung-jawabkan keasliannya, bahkan kerap menodai derajat kenabian mereka yang pada dasarnya identik dengan kesucian dan kemuliaan akhlak.

Ketiga, perjalanan hidup Rasulullah sangat transparan, tidak ada yang rahasia, dan tidak ada yang disembunyikan. Dari sejak masuk kamar mandi, cara tidur, cara masuk dan keluar rumah, cara bergaul dengan istri-istri, hingga kepribadaian sebagai seorang ayah, sebagai seorang teman dari sahabat-sahabatnya, seorang penglima perang, seorang pemuka agama, dan sebagai seorang pemimpin negara.

Dan yang menarik, bahwa semua sisi dari dimensi hidup yang baru saja kita sebutkan, merupakan cerminan kebaikan, contoh akhlak yang paling mulia, dan tauladan yang patut diikuti. Allah berfirman : ” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan ( kedatangan ) hari Kiamat dan di banyak menyebut Allah ” ( QS.33:21 ). Keempat, siapapun yang membaca sirah Rasulullah (saw) pasti akan menemukan bahwa beliau adalah manusia biasa. Makan dan minum seperti kita. Mendapatkan ujian dan kesulitan hidup. Diusir dari kampung halamannya. Dihina dan disiksa oleh orang-orang yang membencinya. Seringkali kelaparan kerena kefakirannya. Namun, karena ketabahan yang sangat tinggi, Muhammad (saw) sanggup menahan lapar dengan penuh izzah (kehormatan). Dan karena kesabaran, beliau tidak pernah mengeluh sekalipun harus melakukan hijrah. Lantaran kegigihan, beliau sanggup menghadapi segala cobaan yang dihadapi. Karena keteguhan iman beliau tidak pernah putus asa. Dan berkat kesungguhan menjalani sunnatullah, Nabi (saw) mengambil segala sebab dan proses yang benar, dan bertawakkal kepada Allah secara mendalam. Akhirnya, Nabi (saw) mencapai kemenangan.

Sungguh tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengatakan bahwa rahasia keberhasilan Muhammad dalam berda’wah adalah karena semata kerasulannya, seperti halnya seorang jagoan dalam sebuah film, yang sutradara telah menentukan ia pasti menang, kendati ia dengan atau tanpa berusaha. Tidak, Rasulullah bukan – dan tidak bisa diumpamakan sama sekali dengan - seorang jagoan dunia film. Beliau hidup di alam nyata. Beliau pernah kalah, dalam perang Uhud karena sebab-sebab tertentu. Dengan demikian, anggapan salah jika mengatakan, “wajar kalau Muhammad (saw) berhasil. Beliau kan Rasulullah, tidak bisa diumpamakan dengan kita”. Pernyataan seperti itu, ternyata tidak hanya memperlemah keimanan dan kesungguhan kita untuk mengikuit jejak Rasulullah (saw) dengan sesungguh-sungguhnya dalam perjuangan menegakkan Islam di muka bumi. Melainkan justru dari sinilah munculnya berbagai penyakit umat yang kemudian menyebabkan kelumpuhan, keterpurukan, saling menggerogoti kekuatan yang ada, perpecahan berantai dalam tubuh masyarakat Muslim yang berujung dengan kemunduran umat Islam.

Wallalhu a’lam bisshowab.

Metode Menghafal Qur’an

Metode Menghafal Qur’an Bersama Mudhawi Ma’arif I. Pendahuluan Ada 3 prinsip (Three P) yang harus difungsikan oleh ikhwan/akhwat kapan dan dimana saja berada sebagai sarana pendukung keberhasilan dalam menghafal al qur’an. 3P (Three P) tersebut adalah: 1. Persiapan (Isti’dad) Kewajiban utama penghafal al-qur’an adalah ia harus menghafalkan setiap harinya minimal satu halam dengan tepat dan benar dengan memilih waktu yang tepat untuk menghafal seperti: a. Sebelum tidur malam lakukan persiapan terlebih dahulu dengan membaca dan menghafal satu halaman secara grambyangan (jangan langsung dihafal secara mendalam) b. Setelah bangun tidur hafalkan satu halaman tersebut dengan hafalan yang mendalam dengan tenang lagi konsentrasi c. Ulangi terus hafalan tersebut (satu halaman) sampai benar-benar hafal diluar kepala 2. Pengesahan (Tashih/setor) Setelah dilakukan persiapan secara matang dengan selalu mengingat-ingat satu halaman tersebu, berikutnya tashihkan (setorkan) hafalan antum kepada ustad/ustadzah. Setiap kesalahan yang telah ditunjukkan oleh ustad, hendaknya penghafal melakukan hal-hal berikut: a. Memberi tanda kesalahan dengan mencatatnya (dibawah atau diatas huruf yang lupa) b. Mengulang kesalahan sampai dianggap benar uoleh ustad. c. Bersabar untuk tidak menambah materi dan hafalan baru kecuali materi dan hafalan lama benar-benar sudah dikuasai dan disahkan 3. Pengulangan (Muroja’ah/Penjagaan) Setelah setor jangan meninggalkan tempat (majlis) untuk pulang sebelum hafalan yang telah disetorkan diulang beberapa kali terlebih dahulu (sesuai dengan anjuran ustad/ustadzah) sampai ustad benar-benar mengijinkannya II. Syarat Utama Untuk Memudahkan Hafalan 1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah 2. Berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan menjadi hamba-hamba pilihanNya yang menjaga al-qur’an 3. Istiqomah sampai ajal musamma 4. Menguasai bacaan al-qur’an dengan benar (tajwid dan makharij al huruf) 5. Adanya seorang pembimbing dari ustad/ustadzah (al-hafidz/al-hafidzah) 6. Minimal sudah pernah khatam al-qur’an 20 kali (dengan membaca setiap ayat 5 kali) 7. Gunakan satu jenis mushaf al-qur’an (al-qur’an pojok) 8. Menggunakan pensil/bolpen/stabilo sebagai pembantu 9. Memahami ayat yang akan dihafal III. Macam-macam Metode Menghafal A. Sistem Fardhi Ikuti langkah ini dengan tartib (urut): 1. Tenang dan tersenyumlah, jangan tegang 2. Bacalah ayat yang akan dihafal hingga terbayang dengan jelas kedalam pikiran dan hati 3. Hafalkan ayat tersebut dengan menghafalkan bentuk tulisan huruf-huruf dan tempat-tempatnya 4. Setelah itu pejamkan kedua mata dan 5. Bacalah dengan suara pelan lagi konsentrasi (posisi mata tetap terpejam dan santai) 6. Kemudian baca ayat tersebut dengan suara keras (posisimata tetap terpejam dan jangan tergesa-gesa) 7. Ulangi sampai 3x atau sampai benar-benar hafal 8. Beri tanda pada kalimat yang dianggap sulit dan bermasalah (garis bawah/distabilo) 9. Jangan pindah kepada hafalan baru sebelum hafalan lama sudah menjadi kuat Penggabungan ayat-ayat yang sudah dihafal Setelah anda hafal ayat pertama dan kedua jangan pindah kepada ayat ketiga akan tetapi harus digabungkan terlebih dahulu antara keduanya dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini: 1. Bacalah ayat pertama dan kedua sekaligus dengan suara pelan lagi konsentrasi 2. Kemudian bacalah keduanya dengan suara keras lagi konsentrasi dan tenang 3. Ulani kedua ayat tersebut minimal 3x sehingga hafalan benar-benar kuat. Begitulah seterusnya, pada tiap-iap dua tambahan ayat baru harus digabungkan dengan ayat sebelumnya sehingga terjadi kesinambungan hafalan 4. Mengulang dari ayat belakang ke depan. Dan dari depan ke belakang 5. Semuanya dibaca dengan suara hati terlebih dahulu kemudian dengan suara keras (mata dalam keadaan tertutup) 6. Begitu seterusnya. Setiap mendapatkan hafalan baru, harus digabungkan dengan ayat/halaman/juz sebelumya. B. Sistem Jama’i Sistem ini menggunakan metode baca bersama, yaitu dua/tiga orang (partnernya) membaca hafalan bersama-sama secara jahri (keras) dengan: a. Bersama-sama baca keras b. Bergantian membaca ayat-an dengan jahri. Keika partnernya membaca jahr dia harus membaca khafi (pelan) begitulah seterusnya dengan gantian. Sistem ini dalam satu majlis diikuti oleh maksimal 12 peserta, dan minimal 2 peserta. Settingannya sebagai berikut: a. Persiapan: 1. Peserta mengambil tempat duduk mengitari ustad/ustadzah 2. Ustad/ustadzah menetapkan partner bagi masing-masing peserta 3. Masing-masing pasangan menghafalkan bersama partnernya sayat baru dan lama sesuai dengan instruksi ustad/ustadzah 4. Setiap pasangan maju bergiliran menghadap ustad/ustadzah untuk setor halaman baru dan muroja’ah hafalan lama b. Setoran ke ustad/ ustadzah: 1. Muroja’ah: 5 halaman dibaca dengan sistem syst-an (sistem gantian). Muroja’ah dimulai dari halaman belakang (halaman baru) kearah halaman lama 2. Setor hafalan baru: a. Membaca seluruh ayat-ayat yang baru dihafal secara bersama-sama b. Bergiliran baca (ayatan) dengan dua putaran. Putaran pertama dimulai dari yang duduk disebelah kanan dan putaran kedua dimulai dari sebelah kiri. c. Membaca bersama-sama lagi, hafalan baru yang telah dibaca secara bergantian tadi. 3. Muroja’ah tes juz 1, dengan sistem acakan (2-3x soal). Dibaca bergiliran oleh masing-masing pasangan. Ketika peserta sendirian tidak punya partner, atau partnernya sedang berhalangan hadir, maka ustad wajibmenggabungkannya dengan kelompok lain yang kebetulan juz, halaman dan urutannya sama, jika hafalannya tidak sama dengan kelompok lain maka ustad hendaknya menunjuk salah seorang peserta yang berkemampuan untuk suka rela menemani. c. Muroja’ah ditempat: 1. Kembali ketempat semula. 2. Mengulang bersama-sama seluruh bacaan yang disetorkan baik muroja’ah maupun hafalan baru, dengan sistem yang sama dengan setoran 3. Menambah hafalan baru bersama-sama untuk disetorkan pada pertemuan berikutnya 4. Jangan tinggalkan majlis sebelum mendapat izin ustad/ustadzah. IV. Keistimewaan sistem jama’i 1. Cepat menguasai bacaan al-qur’an dengan benar 2. Menghilangkan perasaan grogi dan tidak PD ketika baca al-qur’an didepan orang lain 3. Melatih diri agar tidak gampang tergesa-gesa dalam membaca 4. Mengurangi beban berat menghafal al-qur’an 5. Melatih untuk menjadi guru dan murid yang baik 6. Menguatkan hafalan lama dan baru 7. Semangat muroja’ah dan menambah hafalan baru 8. Meringankan beban ustad 9. Kesibukannya selalu termotivasi dengan al-qur’an 10. Mampu berda’wah dengan hikmah wa al-mau’idhah al-hasanah 11. Siap untuk dites dengan sistem acakan 12. Siap menjadi hamba-hamba Allah yang berlomba menuju kebaikan V. Jaminan 1. Hafalan al-qur’an lanyah dan lancar dalam masa tempo yang sesingkat-singkatnya 2. Sukses dan bahagia di dunia dan akhirat 3. Pilihan Allah dan memperoleh surga ‘adn diakhirat nanti (surah fatir: 23-24) VI. Metode Muroja’ah (Pengulangan dan penjagaan fardhi atau jama’i) Ayat-ayat al-qur’an hanya akan tetap bersemayam didalam hati utu al-‘ilm jika ayat-ayat yang dihafal selalu diingat, diulang dan dimuroja’ah. Berikut ini cara muroja’ah: 1. Setelah hafal setengah juz/satu juz, harus mampu membaca sendiri didepan ustad/ustadzah dan penampilan. 2. Setiap hari membaca dengan suara pelan 2 juz. Membaca dengan suara keras (tartil) minimal 2 juz setiap hari. 3. Simakkan minimal setengah juz setiap hari kepada teman/murid/jama’ah/istri/suami dst 4. Ketika lupa dalam muroja’ah maka lakukan berikut ini: · Jangan langsung melihat mushaf, tapi usahakan mengingat-ingat terlebih dahulu · Ketika tidak lagi mampu mengingat-ingat, maka silahkan melihat mushaf dan · Catat penyebab kesalahan. Jika kesalahan terletak karena lupa maka berilah tanda garis bawah. Jika kesalahan terletak karena faktor ayat mutasyabihat (serupa dengan ayat lain) maka tulislah nama surat/no./juz ayat yang serupa itu di halaman pinggir (hasyiyah)

Sepucuk Surat Cinta (AAC Page 11)

Sepucuk Surat Cinta

Ini malam Sabtu. Besok pagi aku harus pergi. Memasukkan proposal tesis ke kampus. Menemui Alicia dan Aisha di National Library. Dan mengirimkan naskah terjemahan ke redaksi sebuah penerbit di Jakarta melalui email. Perjalanan yang agak melelahkan kelihatannya. Semua telah siap, kecuali naskah terjemahan. Belum selesai di edit. Aku ingin besok pagi semuanya berjalan seperti rencana. Sekali melakukan perjalanan banyak yang diselesaikan. Malam ini mau tidak mau aku harus sedikit keras pada diriku sendiri. Aku harus kerja lembut mengedit hasil terjemahanku sampai benar-benar matang.

Untuk persiapan lembur ini, aku telah menyiapkan dopping andalan. Madu murni, susu kambing murni yang dibelikan oleh Hamdi dari para penggembala kambing yang biasa lewat di Wadi Hof, dan telur ayam kampung. Agar suasana segar aku membuka jendela dan pintu kamar terbuka lebar-lebar. Pelan-pelan kusetel nasyid Athfal Filistin. Semangat bocah-bocah cilik Palestina yang membara dengan celoteh mereka yang menggemaskan menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan intifadhah membuat diriku bersemangat dan tidak mengantuk. Aku sudah minta izin teman-teman untuk membunyikan nasyid ini sampai tengah malam. Aku minta mereka menutup pintu kamar masing-masing agar tidak terganggu tidurnya.

Ternyata mereka malah asyik meminjam film Ashabul Kahfi dari seorang teman di Nasr City. Dan menontonnya di kamar Rudi. Mereka memerlukan waktu 16 jam untuk menonton film yang dibuat Iran dan Lebanon itu. Sebab film Ashabul Kahfi adalah film yang diputar bersambung oleh stasiun TV Lebanon selama bulan Ramadhan tahun kemarin. Hanya yang memiliki parabola yang bisa menontonnya. Malam ini mereka menyediakan waktu khusus untuk menontonnya. Aku belum pernah menontonnya, sebetulnya sangat ingin. Tapi apakah semua keinginan harus dipenuhi? Komentar teman-teman yang sudah menontonnya, film Ashabul Kahfi luar biasa indahnya, mampu menambah keimanan dan memperhalus jiwa. Lain kali semoga ada kesempatan menontonnya. Malam ini adalah malam kerja.

Malam ini, sementara teman-teman terbang ke zaman Ashabul Kahfi, mereka berdialog dengan pemuda-pemuda pilihan itu, aku malah berlayar di lautan kata-kata yang disusun Ibnu Qayyim. Aku harus membaca dengan teliti dan mengedit tulisan sebanyak 357 halaman. Tengah malam aku kelelahan. Aku istirahat dengan melakukan shalat. Ketika sujud kepala terasa enak. Darah mengalir ke kepala. Syaraf-syarafnya menjadi lebih segar. Kudengar teman-teman bertasbih atas apa yang mereka lihat di film itu. Aku melemaskan otot-otot dengan menelentangkan badan di atas kasur. Menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Aku bangkit hendak meneruskan pekerjaan. Tak sengaja aku melihat sepucuk surat permintaan mengisi pelatihan terjemah dari sebuah kelompok studi. Aku jadi teringat dengan sepucuk surat dari Noura yang masih berada di saku baju koko yang tergantung di dalam almari. Aku belum membacanya. Segera kuambil surat itu dan kubaca.

Kepada

Fahri bin Abdillah, seorang mahasiswa

dari Indonesia yang lembut hatinya dan berbudi mulia

Assalamu ’alaikum warahmatullah wa barakatuh.

Kepadamu kukirimkan salam terindah, salam sejahtera para penghuni surga. Salam yang harumnya melebihi kesturi, sejuknya melebihi embun pagi. Salam hangat sehangat sinar mentari waktu dhuha. Salam suci sesuci air telaga Kautsar yang jika direguk akan menghilangkan dahaga selama-lamanya. Salam penghormatan, kasih dan cinta yang tiada pernah pudar dan berubah dalam segala musim dan peristiwa.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Entah dari mana aku mulai dan menyusun kata-kata untuk mengungkapkan segala sedu sedan dan perasaan yang ada di dalam dada. Saat kau baca suratku ini anggaplah aku ada dihadapanmu dan menangis sambil mencium telapak kakimu karena rasa terima kasihku padamu yang tiada taranya.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Sejak aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian tiada memiliki siapa-siapa kecuali Allah di dalam dada, kaulah orang yang pertama datang memberikan rasa simpatimu dan kasih sayangmu. Aku tahu kau telah menitikkan air mata untukku ketika orang-orang tidak menitikkan air mata untukku.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Ketika orang-orang di sekitarku nyaris hilang kepekaan mereka dan masa bodoh dengan apa yang menimpa pada diriku karena mereka diselimuti rasa bosan dan jengkel atas kejadian yang sering berulang menimpa diriku, kau tidak hilang rasa pedulimu. Aku tidak memintamu untuk mengakui hal itu. Karena orang ikhlas tidak akan pernah mau mengingat kebajikan yang telah dilakukannya. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang saat ini kudera dalam relung jiwa.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Malam itu aku mengira aku akan jadi gelandangan dan tidak memiliki siapa-siapa. Aku nyaris putus asa. Aku nyaris mau mengetuk pintu neraka dan menjual segala kehormatan diriku karena aku tiada kuat lagi menahan derita. Ketika setan nyaris membalik keteguhan imanku, datanglah Maria menghibur dengan segala kelembutan hatinya. Ia datang bagaikan malaikat Jibril menurunkan hujan pada ladang-ladang yang sedang sekarat menanti kematian. Di kamar Maria aku terharu akan ketulusan hatinya dan keberaniannya. Aku ingin mencium telapak kakinya atas elusan lembut tangannya pada punggungku yang sakit tiada tara. Namun apa yang terjadi Fahri?

Maria malah menangis dan memelukku erat-erat. Dengan jujur ia menceritakan semuanya. Ia sama sekali tidak berani turun dan tidak berniat turun malam itu. Ia telah menutup kedua telinganya dengan segala keributan yang ditimbulkan oleh ayahku yang kejam itu. Dan datanglah permintaanmu melalui sms kepada Maria agar berkenan turun menyeka air mata dukaku. Maria tidak mau. Kau terus memaksanya. Maria tetap tidak mau. Kau mengatakan pada Maria: ‘Kumohon tuturlah dan usaplah air mata. Aku menangis jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan membawanya ke tempat yang

jauh dari linangan air mata selama-lamanya. Maria tetap tidak mau.” Dia menjawab: “Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa. ” Kemudian dengan nama Isa Al Masih kau memaksa Maria, kau katakan, “Kumohon, demi rasa cintamu pada Al Masih. ” Lalu Maria turun dan kau mengawasi dari jendela. Aku tahu semua karena Maria membeberkan semua. Ia memperlihatkan semua kata-katamu yang masih tersimpan dalam handphone-nya. Maria tidak mau aku cium kakinya. Sebab menurut dia sebenarnya yang pantas aku cium kakinya dan kubasahi dengan air mata haruku atas kemuliaan hatinya adalah kau. Sejak itu aku tidak lagi merasa sendiri. Aku merasa ada orang yang menyayangiku. Aku tidak sendirian di muka bumi ini.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Anggaplah saat ini aku sedang mencium kedua telapak kakimu dengan air mata haruku. Kalau kau berkenan dan Tuhan mengizinkan aku ingin jadi abdi dan budakmu dengan penuh rasa cinta. Menjadi abdi dan budak bagi orang shaleh yang takut kepada Allah tiada jauh berbeda rasanya dengan menjadi puteri di istana raja. Orang shaleh selalu memanusiakan manusia dan tidak akan menzhaliminya. Saat ini aku masih dirundung kecemasan dan ketakutan jika ayahku mencariku dan akhirnya menemukanku. Aku takut dijadikan santapan serigala.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Sebenarnya aku merasa tiada pantas sedikit pun menuliskan ini semua. Tapi rasa hormat dan cintaku padamu yang tiap detik semakin membesar di dalam dada terus memaksanya dan aku tiada mampu menahannya. Aku sebenarnya merasa tiada pantas mencintaimu tapi apa yang bisa dibuat oleh makhluk dhaif seperti diriku.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Dalam hatiku, keinginanku sekarang ini adalah aku ingin halal bagimu. Islam memang telah menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu yang tiada terkira dalamnya terhunjam di dada aku ingin menjadi budakmu. Budak yang halal bagimu, yang bisa kau seka air matanya, kau belai rambutnya dan kau kecup keningnya. Aku tiada berani berharap lebih dari itu. Sangat tidak pantas bagi gadis miskin yang nista seperti diriku berharap menjadi isterimu. Aku merasa dengan itu aku akan menemukan hidup baru yang jauh dari cambukan, makian, kecemasan, ketakutan dan kehinaan. Yang ada dalam benakku adalah meninggalkan Mesir. Aku sangat mencintai Mesir tanah kelahiranku. Tapi aku merasa tidak bisa hidup tenang dalam satu bumi dengan orang-orang yang sangat membenciku dan selalu menginginkan kesengsaraan, kehancuran dan kehinaan diriku. Meskipun saat ini aku berada di tempat yang tenang dan aman di tengah keluarga Syaikh Ahmad, jauh dari ayah dan dua kakakku yang kejam, tapi aku masih merasa selalu diintai bahaya. Aku takut mereka akan menemukan diriku. Kau tentu tahu di Mesir ini angin dan tembok bisa berbicara.

Wahai orang yang lem but hatinya,

Apakah aku salah menulis ini semua? Segala yang saat ini menderu di dalam dada dan jiwa. Sudah lama aku selalu menanggung nestapa. Hatiku selalu kelam oleh penderitaan. Aku merasa kau datang dengan seberkas cahaya kasih sayang. Belum pernah aku merasakan rasa cinta pada seseorang sekuat rasa cintaku pada dirimu. Aku tidak ingin mengganggu dirimu dengan kenistaan katakataku yang tertoreh dalam lembaran kertas ini. Jika ada yang bernuansa dosa semoga Allah mengampuninya. Aku sudah siap seandainya aku harus terbakar oleh panasnya api cinta yang pernah membakar Laila dan Majnun. Biarlah aku jadi Laila yang mati karena kobaran cintanya, namun aku tidak berharap kau jadi Majnun. Kau orang baik, orang baik selalu disertai Allah.

Doakan Allah mengampuni diriku. Maafkan atas kelancanganku. Wassalamu ’alaikum,

Yang dirundung nestapa,

Noura

Tak terasa mataku basah. Bukan karena inilah untuk pertama kalinya aku menerima surat cinta yang menyala dari seorang gadis. Bukan karena kata-kata Noura yang mengutarakan apa dirasakannya terhadapku. Aku menangis karena betapa selama ini Noura menderita tekanan batin yang luar biasa. Ia sangat ketakutan, merasa tidak memiliki tempat yang aman. Ia merasa berada dalam kegelapan yang berkepanjangan. Tanpa cahaya cinta dan kasih dari keluarganya. Ia merasa tidak ada yang peduli padanya. Ia telah kehilangan kepercayaan dirinya sebagai manusia merdeka tanpa belenggu nestapa. Sesungguhnya tekanan psikis

yang menderanya selama ini lebih berat dari siksaan fisik yang ia terima. Maka ketika ada sedikit saja cahaya yang masuk ke dalam hatinya, ada rasa simpati yang diberikan orang lain kepadanya, ia merasa cahaya dan rasa simpati itu adalah segalanya baginya. Ia langsung memegangnya erat-erat dan tidak mau kehilangan cahaya itu, tidak mau kehilangan simpati itu dan ia sangat percaya dan menemukan hidupnya pada diri orang yang ia rasa telah memberikan cahaya dan rasa simpati.

Aku menyeka air mata kulipat kertas surat itu dan kumasukkan ke dalam amplopnya. Setelah shalat shubuh aku harus menyampaikan hal ini pada Syaikh Ahmad. Gadis itu perlu terus diberi semangat hidup dan dikokohkan ruhaninya. Gadis itu perlu diyakinkan bahwa dia akan mendapatkan rasa aman dan kasih sayang selama berada di tengah-tengah orang yang beriman. Aku mengambil air wudhu untuk menenangkan hati dan pikiran. Aku harus kembali menyelesaikan pekerjaan. Ketika azan shubuh berkumandang seluruh terjemahan telah selesai aku edit. Langsung kupecah menjadi empat file. Kumasukkan ke dalam disket. Mataku terasa berat dan perih. Seperti ada kerikil mengganjal di sana. Aku belum memicingkan mata sama sekali. Aku bangkit kuajak teman-teman untuk turun ke masjid.