Tuesday, December 02, 2008

salam cinta dari negeri kinanah

Seperti biasa, selesai shalat Ashar aku talaqqi Qur'an ke Syekh Qordhawi di masjid Al-Azhar. Sebelum berangkat kusiapkan semua barang yang akan kubawa. Seperti; Mushaf kecil, buku catatan, pensil, ponsel, serta tak lupa pula novel kesayanganku, karya Naguib Mahfouz (Lorong Midaq).

Setelah semua sudah siap kuambil tas, kemudian kumasukkan satu persatu. Satu yang tidak kuikutsertakan ke dalamnya, yaitu; Ponsel. Ponsel itu kumasukkan dalam saku celana. Karena di negeri ini banyak sekali pencopet yang berkeliaran. Di bis, di pasar, di terminal, dan di tempat ramai lainnya.

Kemarin lusa ponsel temanku kecopetan di dalam bis. Waktu masih berada di bis, temanku nyantai-nyantai saja pada pemuda Mesir yang ada di dekatnya. Ia juga tidak mengira kalau pemuda tersebut adalah pencopet kelas kakap. Karena dilihat dari tampangnya tidak mencurigakan, malah bertindak sopan dan murah senyum.

Setelah turun dari bis, ia merasakan ada sesuatu yang kurang. Ia periksa semua isi dalam tasnya, ternyata ponselnya sudah tiada. Kemudian ia pun mengeluarkan semua barang-barangnya, tapi tetap saja hasilnya nihil. Ketika itu ia baru sadar, bahwa tidak semua yang berwajah lembut, hatinya juga ikut lembut. Sifat manusia tidak bisa dilihat dari sisi luarnya, karena itu hanyalah topeng kepalsuan dirinya.

Dari kejadian itulah aku selalu berhati-hati. Bahkan sebelum keluar dari pintu rumah kubiasakan untuk berdoa terlebih dahulu, agar perjalananku mendapat perlindungan dan keselamatan dari segala macam marabahaya. Sehabis berdoa aku berangkat menuju Husein. Sekitar pukul 04:30 waktu Kairo, aku sampai di depan masjid Al-Azhar.

Setibanya di sana kuucapkan salam kepada Syekh Qordhawi. Ternyata beliau telah menungguku sejak tadi. Aku terlambat 30 menit, waktu talaqqi biasanya pas pukul 04:00. Keterlambatanku gara-gara di perempatan Rob’ah macet total, peraturan lalu lintas tidak berjalan lancar, bis yang kunaiki terhambat beberapa menit. Para sopir saling memaki antara yang di sana dan di sini. Hingga suaranya terdengar bising di telinga. Untung tadi aku sempat membawa MP3, kalau tidak, hafalanku pasti sudah kabur.

Sebelum aku memulai talaqqi, terlebih dahulu Syekh Qordhawi menanyakan tentang kesiapanku. Karena beliau menginginkan hafalanku benar-benar sudah di luar kepala. Tidak tersendat-sendat dan putus-putus. Tetapi lancar sesuai dengan tata cara pembacaan Al-Qur'an yang benar. Baru kalau aku sudah bilang siap, maka beliau memulainya dengan membaca Basmallah.

Talaqqi pun berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Aku merasa bahagia karena telah selesai mempraktekkan hafalan Al-Qur'an sebanyak 3 Juz. Beliau juga tersenyum bangga melihatku sempurna membaca dan menghafal Al-Qur'an sesuai kaidah.

Kemudian aku pamitan dan pulang menuju rumah di Hay 'Asyir. Maghrib aku sampai di Bawwabah. Sesampainya di sana aku tidak langsung menuju rumah melainkan mampir dulu di masjid As-Salam. Di sana aku shalat Maghrib, sambil lalu mengulang kembali hafalanku. Setelah mantap dan melekat erat di otak, aku beranjak ke luar dari masjid.

Di luar aku merasakan kedamaian. Pikiran pun jadi tenang. Lalu sambil berjalan kunikmati pesona rembulan yang bersinar terang. Sinarnya yang memutih menerangi langit Kairo yang kelam. Kerlap-kerlip bintang-gemintang berpijar seperti lampu kapal. Sang awan mengitari indahnya panorama negeri Kinanah.

Di situlah hatiku bertasbih memuja-muji kebesaran sang Ilahi. Sepanjang jalan mulutku tiada henti melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an. Hingga tak terasa jam 19:20 aku sampai di depan pintu rumah. Sebelum masuk kupuaskan diri memandang wajah sang rembulan. Bias-bias sinarnya menyejukkan palung hati. Udara malam bertiup sepoi-sepoi. Sementara lolongan anjing mengalun bergantian mengisi kesunyian. Sepertinya, ia juga merasakan keindahan malam ini.

Cukup lama aku terpaku memandang pesona rembulan. Tiba-tiba nada pesan ponsel berbunyi di saku celana. Kuambil, kemudian kubuka sms yang masuk dan kubaca. Tidak sampai selesai pesan itu kubaca, aku langsung lari masuk rumah. Sesampainya di dalam, kuambil jaket dan sedikit uang sisanya bayar sewa rumah.

Ketika hendak menutup pintu, Romli datang menghapiriku.

"Saiful, mau kemana lagi. Baru saja masuk ngeloyor lagi keluar. Sibuk banget, ada acara apa sih. Kok sampai buru-buru gitu?" Tanya Romli dengan raut muka keheranan.
"Eh, kamu Rom. Gak ada apa-apa kok. Hanya ingin keluar saja. Emang kenapa!" Aku menimpalinya.
"Oh, tak kirain ada sesuatu yang membuatmu sampai terburu-buru seperti ini." Balasnya.
"Udah makan belum? Kalau belum, makan dulu sana. Udah aku sisain tuh!" Lanjutnya penuh perhatian.
"Makasih Rom. Aku masih kenyang nih! Berangkat dulu ya..." Tanpa menunggu jawaban darinya, aku beranjak menuruni tangga. Sesampainya di bawah, Romli memanggilku lagi.
"Ful, hati-hati."

Kata-katanya yang sangat perhatian itu membuat hatiku ngilu telah membohongi dirinya. Menyembunyikan sesuatu yang semestinya aku ceritakan. Apalagi aku hidup serumah dengannya. Sebagai seorang sahabat yang baik tidak seharusnya aku menutup-nutupi penyakit yang menimpa kekasihku.

Tapi malam ini, ketika rembulan menyemburatkan sinarnya yang memutih. Aku tidak bisa menceritakannya. Entah kenapa, aku tak tahu!

Hanya lambaian tangan inilah yang mengisyaratkan rasa terima kasihku yang terdalam.
"Semoga kebaikannya mendapat balasan yang agung dari-Nya."Bisikku dalam hati.

Jalan setapak kulalui, gang-gang kulewati. Untung malam ini ada rembulan yang menyinari langit Kairo. Kalau tidak, maka jalan setapak dan gang-gang itu sudah pasti banyak perampok yang menunggu orang-orang asing.

Tapi malam ini para perampok, penyamun, dan orang-orang berkulit hitam tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan. Mereka larut menikmati indahnya rembulan di langit Kairo. Bahkan mereka pun ikut serta berpesta foya bersama para gelandangan, anak-anak jalanan, serta penduduk sekitar. Ada yang berpuisi, bernyanyi, dan ada juga yang menari-nari.

Sungguh pesona rembulan ternyata mampu mengetuk pintu hati manusia. Yang jahat menjadi baik. Yang baik tambah menjadi baik. Indah...!

***

Persimpangan jalan rumah megah nan mentereng itu sudah kelihatan. Sebentar lagi aku akan sampai di rumah sang kekasih. Kupercepat langkah kaki, sesekali berlari. Risaunya pikiran terus mengusik ketentraman yang baru kurasakan. SMS itu terus memburu jejak kaki agar cepat-cepat sampai melihat kekasih yang sedang sakit.

Setelah sampai di depan pintu rumahnya, tanganku hendak memencet tombol bel. Namun tiba-tiba suara adzan Isya' berkumandang dengan lembut nan syahdu. Takbir dan tahmid menusuk lubuk hatiku. Riasaunya pikiran hanyut terbawa lantunan itu, dan seketika menjadi tenang. Sinar rembulan menerpa wajah senduku. Dan aku larut menikmatinya.

Tadinya aku terburu-buru ingin melihat kondisi sang kekasih, tetapi suara adzan telah menenggelamkan niat awalku. Akhirnya tanganku gagal memencet tombol bel yang di pajang dekat pintu rumahnya. Suara batinku mengajak diri untuk shalat berjema'ah terlebih dahulu. Aku pun beranjak menuju masjid.

Sesampainya di halaman masjid, aku menuju hammam terus berwudlu. Selesai, aku masuk ke dalam masjid. Di dalam para jema'ah sudah menunggu sang Imam. Dari sudut ruangan sang Imam keluar dengan jubah putih, sorban merah. Kelihatan dari jenggot dan rambutnya yang putih menandakan orang tua itu sudah berumur tujuh puluhan tahun. Tapi wajahnya tetap tampak berseri.

Setalah sang Imam berada di baris paling depan, serentak para jema'ah berjajar rapat. Membentuk shaf. Salah satu diantaranya ada yang beriqomat. Shalat Isya' pun dimulai. Aku berada di shaf ketiga. Pada raka'at keempat nada panggilan tiba-tiba berbunyi. Aku tersentak, namun kubiarkan begitu saja.

Selesai shalat, seperti biasa aku berdoa meminta ampunan atas segala khilaf yang ada. Cukup lama aku bersujud sampai tak terasa air mata menetes membasahi sajadah. Cucuran air mata terhenti ketika nada panggilan berbunyi lagi. Kuambil, dan kulihat siapa orang yang sedang menelponku. Mataku terbelalak, ketika kulihat panggilan tersebut datang dari satu orang yang tadinya juga mengirim SMS kepadaku.

Ketika hendak kuangkat, panggilannya sudah dimatikan. Sepertinya aku terlalu lama untuk menjawab panggilannya. Saat itu juga perasaanku kembali kacau. Pikiran terus berkecamuk.
"Ada apa gerangan malam ini." bisikku dalam hati. "Kenapa orang itu terus menghubungiku. Jangan-jangan...?" Lanjutku dengan perasaan bimbang.

Tanpa berpikir panjang lagi aku keluar dari dalam masjid. Kupercepat langkah kaki, sesekali berlari sepanjang jalan yang kulewati. Orang-orang pada melihatku keheranan. Mungkin aku dikira orang sinting. Karena tidak seperti biasanya jalan setapak yang kulalui ada seseorang lari tergesa-gesa. Baru kali ini aku yang lari terbirit-birit seperti sedang dikejar anjing.

Aku tidak mempedulikan keadaan di sekitar, karena aku ingin cepat-cepat sampai di rumah sang kekasih. Aku takut telah terjadi sesuatu pada dirinya. Karena saat ini dia lagi sakit parah. Apalagi orang itu sudah beberapa kali mencoba menghubungiku.

Dari sebrang jalan, aku melihat ambulans berada di depan rumahnya. Di sekelilingnya banyak orang-orang Indonesia kelihatan pada berwajah sedih. Sepertinya sudah terjadi sesuatu dalam rumah itu.

"Benarkah kekasihku...," tiba-tiba mulutku tersumbat. Dari bawah sinar lampu neon aku melihat sosok tubuh Romli berdiri di depan pintu rumah kekasihku. Wajahnya yang selalu ceria sekarang malah tampak murung.

Perasaanku tambah kacau balau. Di benakku wajah sang kekasih terlintas seperti kunang-kunang melintasi bias kelam. Pikiran pun tambah tidak tenang. Kupercepat langkah kaki, sesekali berlari, hingga sampailah di halaman depan rumah sang kekasih.

Setibanya di sana, Romli datang menghampiriku sambil berbisik lirih. "Ful, kamu tenang ya. Dan tabahkan hati kamu. Si..." Belum selesai bicara, dia menangis dan memelukku.
"Eh, ada apa ini. Kok tiba-tiba kamu dan teman-teman ada di sini, menangis lagi. Mulai sejak kapan kamu jadi cengeng seperti ini?" Tanyaku dengan nada suara tinggi. Hingga orang-orang Indonesia yang berada di situ pada menatapku iba.

Kemudian, seseorang nyeletuk hendak memberi tahu apa yang tengah terjadi. "Mas Saiful, Nayla sudah..." Tapi suara itu terpotong.
"Hei... Diam kamu!" Bentak Romli pada orang yang hendak memberitahuku. Orang itu pun tidak berani meneruskan kata-katanya, kemudian ia mundur ketakutan melihat wajah Romli yang naik darah.

Setelah itu Romli bersuara lembut kepadaku.
"Ful, sahabatku yang terbaik," pujinya. "Sabar ya... Kekasihmu telah berpulang ke Rahmatullah. Tadi selepas adzan Isya' meninggal dunia. Katanya kamu sudah ditelpon oleh teman serumahnya, tapi gak ada jawaban." Jelasnya, seraya tangan kekar itu menepuk-nepuk pundakku.
"Aku dan semua teman-teman di sini ikut berduka cita atas kematian kekasihmu, si Nayla." Sambungnya penuh perhatian.

Suara Romli terdengar seperti petir menyambar telingaku, menyayat hatiku, mengelupas kulit luarku, mengiris sendi urat nadiku. Perih. Pedih.

Entahlah, walau petir telah memporak-porandakan batinku, membakar hangus jiwaku. Aku tetap tidak percaya akan hal itu, hingga aku pun memberontak penuh amarah.
"Rom, kamu jangan main-main, kekasihku masih hidup. Dia sekarang masih menunggu sekuntum bunga mawar ini." Ucapku dengan mata melotot tajam.

Lalu bunga yang aku pegang, kuperlihatkan pas di depan matanya. Namun Romli tidak bergeming melihat ulahku itu. Mungkin aku dikira shock mendengar berita yang disampaikannya. Tiba-tiba dia memelukku untuk kedua kalinya. Kali ini pelukannya erat sekali. Terasa air matanya menetes membasahi pundakku.

"Rom, lepaskan...! Aku mau menjenguk kekasihku. Kasihan sejak tadi dia menungguku." Teriakku. Tangan kekar itu pun lepas dari tubuhku. Kemudian aku berbalik arah hendak masuk ke rumah sang kekasih.

Tapi saat itu juga aku terpengarah, bola mataku terbelalak, nafasku memburu, dadaku berdegub kencang, pikiranku sesak, kedua kaki pun menjadi lentur. Dari dalam rumah kekasihku muncul beberapa orang yang memikul keranda. Di barisan depan orang yang membawa ambulans, sedang di barisan belakang teman-temanku yang dari Malaysia. Di dekatku Romli beranjak membantu memikulnya.

Melihat kenyataan itu aku pun lemas tak berdaya. Semua kekuatan dalam tubuhku runtuh. Kelopak mataku nanar memandang tubuh yang terbungkus kain kafan. Seolah-olah tidak percaya jika itu adalah kekasihku. Tak terasa bunga mawar yang ingin kuberikan kepadanya lepas dari genggaman tanganku. Jatuh di dekat kakiku.

Dengan cepat bunga itu diambil seorang perempuan yang berjalan mendekatiku. Perempuan itu adalah teman karib kekasihku, namanya Nesha. Dialah yang SMS dan hendak menelponku tadi.

Nesha berkata kepadaku. "Mas Saiful, aku turut berduka cita atas kematian kekasihmu, Nayla. Semoga amal perbuatannya diterima di sisi-Nya. Dan bunga mawar ini akan aku letakkan di kamarnya. Karena dia selalu menyimpannya. Bahkan dia memajang setiap bunga-bunga yang kau berikan kepadanya."

Mendengar ungkapan itu hatiku perih. Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Jiwaku terkoyak, batinku tenggelam dalam tangis. Mulut hanya diam membisu. Mata tak kuat memandang tubuh yang terbujur lurus di dalam keranda itu. Wajah tertunduk lusuh meratap sedih.

"Mas Saiful... Tadi sebelum meninggal, dia menitipkan kertas kecil ini kepadaku. Terus dia berucap lirih; 'Berikan kertas ini pada Aa’ Saiful. Dan bilangin jangan bersedih hati'. Setelah berkata demikian dia tersenyum, kemudian dua bola matanya tertutup rapat." Ungkap Nesha, menirukan gaya bahasa yang disampaikan oleh kekasihku.

Mendengar pesan itu sedih dan tangisku reda seketika. Entah kenapa, seperti ada jemari-jemari halus nan lembut yang sedang membelaiku. Mengelus-elus rambut tipisku. Terasa memberi kedamain dan ketentraman dalam batinku. Kemudian wajahku terangkat, dan Nesha yang sejak tadi berada di dekatku memberikan kertas itu. Kuterima, dan ia pun pergi mengantar jenazah kekasihku.

Kini tinggal aku sendirian di tempat itu. Jejak-jejak kaki yang beriringan memikul jenazah kekasihku lambat laun terdengar menjauh. Jauh dan jauh...

Sorot mataku tak mampu lagi menatapnya. Lenyap dan tidak kelihatan. Hanya bayang-bayang semu yang masih menempel di benakku. Kalimat-kalimat tauhid yang dibaca oleh orang-orang yang memikul dan mengantar jenazah kekasihku masih terngiang di telingaku. Secara bersamaan mulutku pun ikut menirukannya.

Sehabis membaca kalimat tersebut, kupandangi kertas kecil itu.

Dengan linangan air mata, tangan yang gemetar, dan hati yang teriris luka, kubuka pelan-pelan isi suratnya.

"Aa', Setiap yang ada akhirnya akan tiada. Begitu pula dengan kita sebagai manusia, nantinya akan kembali berselimut tanah. Di dunia ini tidak ada yang abadi, cepat atau lambat semua yang hidup akan mati. Dan orang mati tidak butuh tangisan, tetapi yang dibutuhkan hanyalah keikhlasan, ketabahan, dan doa. Jadi relakanlah kepergianku ini, biar aku bisa tenang di sisi-Nya." Ttd: Kekasihmu, Nayla.

Selesai membaca surat itu, mukaku tengadah ke atas. Kulihat awan yang putih, kupandangi bintang yang berpijar, kusaksikan rembulan yang bersinar. Tiba-tiba wajah kekasihku muncul di antara awan, bintang, dan rembulan.

Di langit Kairo itulah kutitipkan salam pada dirinya.

"Neng... Aa' telah merelakan kepergian Neng. Semoga Neng tenang di alam sana."

***

Itulah nasib, ditulis takdir di catatan ajal manusia. Kehidupan seperti puing terbakar, jadi lelatu melayang jauh. Terhempas ke mana tak tahu. Ada kalanya bagai butiran tasbih, untaiannya lepas berderai, kemudian sangsai.

Selamat tinggal semua yang bernama kenangan...

Rabea El-Adawea, 04 Maret 2007

Keterangan:
(1). Talaqqi : Memperaktekkan hafalan Al-Qur'an.
(2). Husein : Nama Sayyidina Husein yang dijadikan nama sebuah daerah.
(3). Rob'ah : Nama Robi'ah Al-Adawiyah yang juga di jadikan nama daerah.
(4). Hay 'Asyir : Daerah yang banyak di diami oleh orang-orang Indonesia.
(5). Bawwabah : Sebuah tempat yang letaknya berada di kawasan Hay 'Asyir.
(6). Hammam : Kamar mandi. Orang-orang Mesir nyebutnya demikian.
(7). Masjid As-Salam : Masjid yang dikenal dengan masjidnya orang-orang Indonesia.
(8). Masjid Al-Azhar : Masjid pertama yang didirikan oleh Universitas Al-Azhar.
(9). Negeri Kinanah : Julukan negara Mesir. Seperti negri Seribu Menara, negri Pyramida, dll.

No comments: